Cahaya dari bola gas raksasa yang berjarak kurang lebih 149,6 juta km dari bumi pagi ini begitu menyengat permukaan kulit Lyra. Walaupun jemarinya sudah berlumuran cat, gadis pemilik iris coklat gelap itu masih fokus menatap objek dihadapannya.
Tampak seorang kakek yang sedang terduduk di pinggir jalan dengan wajah tersenyum, tak lupa latar langit senja dengan beberapa lampu jalan yang ikut menghiasinya.
Dua menit, empat menit, tepat tujuh menit lamanya akhirnya Lyra menyerah. Kaus berwarna navy yang ia kenakan sudah banjir oleh keringat, hawa panas di bulan juli sama-sama menyebalkan seperti suara Ibu yang —entah sengaja dibesar-besarkan atau tidak— sedang mengobrol di ruang tamu.
“Lyra mana pernah bantu Ibu. Kerjanya kalau hari libur begini ya tidur, bangunnya nanti pas dzuhur itu juga bangun buat makan sama mandi, abis itu dia masuk kamar lagi.”
Curhatan Ibu dibalas tawa merdu seseorang, Lyra hanya mampu mendengkus.
Ia meraih ponsel yang sudah di charger semalaman, hal yang ia lakukan selanjutnya tentu saja membuka aplikasi bergambar telepon bernuansa hijau. Memang dasarnya jomlo, tak ada satupun pesan pribadi yang Lyra terima. Hanya ada rentetan pesan dari berbagai grup yang memang sengaja tidak disenyapkan.
“Kamu udah makan, sayang? Ibu hari ini masak rendang kesukaan kamu, kita makan bareng Bapak, ya?”