"Dengar anakku"
Jantung Darma berdetak kencang ketika berjalan mendekati ayahnya perlahan, "Ayahanda Prabu" ucapnya pelan. Darma mungkin seorang pangeran tapi ia tetap harus merendahkan suaranya, tak berani menyamakan volume, jangan mengatakan apapun untuk berteriak. Ia memiliki banyak pertanyaan malam ini, situasinya cukup membingungkan, ayahnya tidak pernah dengan sengaja memanggilnya untuk berbicara berdua malam-malam, apa lagi di dalam hutan belakang istana.
Ayahnya Prabu Wiryo menatapnya dengan wajah sedih, menghela nafas lalu menggelengkan kepala. "Maafkan ayahmu ini. Kau masih muda . . . terlalu muda. . ."
Darma hanya duduk terdiam, ia baru saja berumur 8 tahun beberapa minggu yang lalu namun dalam pandangannya ia sudah jauh lebih dewasa. Seorang pangeran telah di didik dengan berbagai aturan dan pengetahuan semenjak usia 4 tahun tingkat kedewasaannya tentu saja tidak dapat dibandingkan dengan anak-anak yang lain.
"Ayahanda, apa yang terjadi?" Darma memberanikan diri untuk bertanya.
Prabu Wiryo berjalan sedikit, mengusap wajahnya lalu menghela nafas sebelum akhirnya mulai bicara. "Kau tahu Darma, kerajaan Tengger sudah berumur lebih dari ratusan tahun dan sudah dipimpin lebih dari 8 raja termasuk ayahmu ini."
Darma mengangguk, dalam hatinya ia selalu mengingat hal ini, 'ia akan menjadi raja selanjutnya, raja Tengger ke 9!'
Wajah Prabu Wiryo semakin terlihat resah, "Sepertinya Darma . . ." Prabu Wiryo diam sejenak sebelum melanjutkan, "Ayahandamu ini akan menjadi raja yang terakhir."
Jantung Darma berdetak kencang, ia mengenal ayahnya bukan sebagai sosok yang suka bercada apa lagi mengenai masalah yang serius. Darma ingin membuka mulut dan bertanya tapi ia urungkan, saat ini lebih baik mendengarkan apa sebenarnya yang terjadi.
Prabu Wiryo menggenggam bahu putranya dengan kencang, "Kau akan menjadi harapan kami selanjutnya, tidak ada waktu lagi untuk menceritakan yang terjadi, ini adalah salahku, dosaku, tapi seluruh kerajaan kami yang menanggung akibatnya. Dengarlah, sekarang juga pergilah dengan paman Sanca, ia sudah tau apa yang harus dilakukan, kau dapat mendengar semuanya kemudian."
"Tapi ayahanda . . . ." Darma berubah panik, meskipun ia cukup dewasa secara pemikiran, ia tetap seorang anak kecil.
"Tidak ada tapi" Wajah Prabu Wiryo berubah keras, ia mengambil sebuah tongkat, memukulnya tiga kali ketanah. Sesosok ular besar muncul dari kekosongan lalu berubah menjadi seorang petapa tua.
"Sanca . . ." Prabu Wiryo melirik Darma sejenak, perpisahan sangat sulit, ia tahu itu, itu sebabnya sang ratu tidak berada disini, lebih cepat lebih baik. "Sanca, kau tahu apa yang harus dilakukan."
"Daulat Gusti, hamba akan melaksanakan tugas dengan nyawa hamba taruhannya."
Sang Prabu mengangguk, ia sudah mengenal Sanca sejak kecil, Sanca sang siluman ular telah melayani kejaraan semenjak tiga generasi sebelumnya. ia ditangkap oleh raja Wiraatmaja dan bersumpah akan menjadi budak kerajaan hingga akhir hayatnya. Sumpah siluman tidak seperti manusia, sumpah itu terikat ke nadi hingga jantungnya, jika ia melanggarnya maka hukuman langit akan turun, menyiksanya hingga ia mangharapkan kematian. Siksaan ini tidak selalu sama dan rentangnya berbeda, tingkatannya seimbang dengan seberapa besar penghianatannya akan sumpah tersebut dan tentu saja semuanya berujung kematian. "Pergilah" ucap sang prabu.
"Baiklah tuan Darma, silahkan ikuti saya."
Sang pangeran menggelengkan kepala, bagaimana bisa ia menerima begitu saja "Ayahanda . . .", hatinya dipenuhi keraguan, ia masih memiliki banyak pertanyaan. Di detik yang sama tiba-tiba suara menggelegar berbuyi di langit, api terlihat dari kejauhan menyambar dengan cepat memenuhi kerajaan. Sang Prabu menghela nafas "akhirnya mereka datang, Sanca cepat pergilah! aku harus kembali, jika mereka sadar aku tidak ada disana, mereka mungkin akan mengejar kalian."
Sang prabu menatap istana dari kejauhan, Darma hanya terdiam, menatap punggung ayahnya dengan siluet api menyala-nyala di depannya, sedetik kemudian sang raja telah menghilang.
"Ayahandaaaaa!" Darma berteriak sekencang-kencangnya dan berlari berusaha mengejar, namun Sanca muncul di depannya dan menghalangi, "Minggir paman Saca! ayahanda pasti dalam bahaya, ibunda juga dalam bahaya, aku harus kesana!"