"Melawan siluman harimau?" Bahu Darma sedikit bergidik saat mengatakannya.
"Kenapa? apa kau takut?"
"Tidak Guru, hanya saja jika mengingat kejadian dulu . . . masih agak sedikit berbekas."
"Ha ha ha, kalau begitu waktunya mengatasi ketakutanmu."
"Aku . . . Tidak takut Guru."
"Itu terserah padamu, istirahatlah hari ini. Besok pagi-pagi sekali kau boleh segera masuk hutan dan mencari siluman harimau itu. Tidak perlu khawatir dengan siluman yang lain, semuanya ada ditingkatan yang lebih rendah darimu."
"Saya mengerti Guru."
Esoknya semenjak subuh Darma telah terbangun dan menemui paman Sanca, ia menceritakan apa yang akan dilakukannya lalu berpamitan. Gurunya rupanya juga telah menanti di pekarangan rumah. "Anda sudah bangun Guru?"
"Tentu saja, aku bukan tukang tidur sepertimu. Apa kau sudah siap?"
"Saya sudah guru."
"Baik, sebelum kau pergi guru akan mengingatkanl, setelah kau masuk kedalam hutan ada 2 aturan. Yang pertama kau tidak akan bisa kembali kemari sebelum berhasil mengalahkan siluman harimau, gurumu ini tidak akan membiarkanmu melewati pelindung. Yang kedua kau harus dapat menyelamatkan dirimu sendiri jika dalam bahaya, aku tidak akan ikut campur meski akhirnya kau kehilangan nyawa."
Jantung Darma berdetak begitu kencang, ekspresi gurunya tidak pernah seserius ini sebelumnya, namun ia segera mengerti bahwa yang gurunya lakukan semata-mata adalah untuknya. "Saya mengerti guru" ucapnya dengan tegas.
"Bocah pintar, pergilah kalau begitu."
Sang Fajar mulai terlihat, secepat angin berhembus Darma melewati kebun bunga lalu memanjat tebing memasuki hutan. Sebuah pedang terpasang rapi di pinggangnya tampak mengkilat saat menyentuh cahaya matahari. Beberapa pasang mata memperhatikan dari kejauhan namun tidak berani mendekat karena menyadari sang pemuda berbaju coklat adalah ancaman.
"Nah, bagaimana aku harus mencari siluman harimau itu?" Pemuda berbaju coklat itu mulai bergerak perlahan melompati pohon satu ke pohon lainnya. Ia baru menyadari bahwa bukit Siluman cukup luas, selama ini ia hanya tinggal di lembah dan tidak pernah sedikitpun membayangkan akan menjelajahi tempat ini. Matanya segera menangkap seekor Kijang melompat takut di kejauhan, "Hanya Kijang biasa, mungkin kalau lapar nanti aku bisa menangkapnya, tapi memakan kijang sendirian . . . terlalu banyak kurasa."
Merasa bukan waktunya untuk makan ia lantas mengabaikan binatang tersebut, terus melompati pohon hingga ia menemukan sesuatu. Samar-samar ia dapat merasakan ada yang bersembunyi di belakang pohon tidak jauh dari tempatnya melompat, tanpa basa-basi ia memakai elemen anginya, kecepatannya bertambah cepat dan menghentikan sosok tersebut bahkan sebelum sosok anak kecil itu menyadarinya.
"Kau bersembunyi cukup baik" ucap Darma.
"Tidak cukup baik kalau kau menemukanku" balasnya.
"Ha ha, kau ini apa siluman tikus?" Darma melirik ekor dibelakang sang anak.
"Tupai! Tuuu Paaaaai" balas anak itu dengan ketus.
"Oh, baik, baik, nah tikus kecil apa kau tahu dimana lokasi siluman harimau?"
Siluman tupai itu mendongak tidak senang, "Tupai, aku tupai bukan tikus, jangan samakan aku dengan pengerat jorok itu!"
Merasa kesal darma lalu melepaskan auranya, seketika sang siluman mengerutkan kening, panik, keringat mulai bercucuran diwajahnya ”Ka . . kau. . manusia sekecil ini, sebenarnya sudah menjadi ‘Mula’ tingkat menengah."
"Anak yang sebenarnya lebih kecil dariku memanggilku anak kecil?"
"Oh, wahai . . . jangan melihat siluman dari tubuh fisiknya, meski begini usiaku sudah lebih dari seratus tahun, berapa usiamu nak, tiga belas?"
"Empat belas."
"Oh, tetap masih lebih muda."
"Baiklah, cukup disana basa-basinya, kau tahu dimana tempat aku bisa menemukan siluman harimau?"
"Oh tuan, jangan sombong, kau masih belum pantas menjadi lawan Macan."
"Macan? jadi itu nama siluman itu. pantas atau tidak bukan kau yang menentukan, cukup katakan dimana aku bisa menemuinya!"
Siluman itu terdiam sebentar, matanya menyipit menunjuka wajah tidak suka,"Aku tidak tahu."
"Tidak tahu?"
"Aku tidak bohong. Berani sumpah kalau sudah lama aku tidak melihat siluman harimau itu, terakhir ia menunjukan diri siluman itu bertarung habis-habisan dengan siluman ular memperebutkan seorang anak. Keduanya sama-sama terluka parah lalu setelah itu tidak pernah terdengar lagi kabar apapun tentangnya."
Melihat raut wajah siluman tupai yang ketakutan sepertinya tidak ada cara baginya untuk membohongi Darma, lagi pula siluman tidak seperti manusia, jika mereka bersumpah itu adalah tanda kesungguhan, mereka tidak akan berani berbohong kecuali mengharapkan hukuman karma. "Lalu apa ada cara untuk mencarinya?"
Berpikir sejenak tupai itu lalu sedikit tersenyum "Jika aku beritahu apa kau akan melepaskanku?"
"Tentu saja, aku tidak menarik minat pada tikus kecil sepertimu."