Siluman harimau itu tertawa riang melihat sang pemuda meraung kesakitan. "Bagaimana rasanya? itulah perasaanku selama ini, kau cukup beruntung tubuhmu tidak dapat memulihkan diri sepertiku, mungkin dalam waktu seharian kau akan mati. Tapi aku cukup puas, balas dendamku sudah terbalas." Ia lantas melirik siluman kucing. "Kita tunda dulu soal makanannya. Aku ingin melihat manusia ini mati dengan mataku sendiri, menyenangkan bukan melihatnya kesakitan?"
Mengangguk pelan wajah Naya tidak memancarkan kesenangan. Sebenarnya ia bukanlah siluman yang jahat, ia bahkan tidak tega kalau ada semut yang terinjak, jangan katakan soal manusia yang meraung kesakitan. Hal ini bukanlah pemandangan menyenangkan, ia lebih suka kalau membunuh manusia ini dengan cepat.
Pemuda berbaju coklat itu berguling-guling di tanah sambil berteriak dengan amat keras, aura putih dan hijau saling beradu di sekelilingnya. Namun tiba-tiba sebuah cahaya melewatinya dan pedang yang tergeletak tak begitu jauh dengan pemuda itu. Kemudian mereka menghilang.
Wajah Siluman harimau seketika berubah pucat. "Seharusnya aku mengetahuinya . . ."
"Tuan, apa yang barusan terjadi? apa sesuatu baru saja muncul dan menyelamatkan pemuda itu?" Naya menjadi panik dan berlari kearah tuannya.
"Lupakan soal makan, bawa barang-barang yang penting. Kita harus bergegas pergi dari bukit ini!"
"Pergi? tapi kenapa? apa tuan tidak akan mengejar pemuda tadi?"
Macan menggeleng pelan. "Kau tidak mengerti Naya, aku juga begitu dulu. Aku pernah bertemu dengan pemuda tadi beberapa tahun yang lalu, saat itu ia masih anak biasa. Hanya dalam beberapa tahun itu ia sudah mencapai tingkat Mula menengah, betapa monster yang mengerikan. Jika saja ia selamat kali ini, aku tidak dapat membayangkan kekuatannya saat kembali nanti, mungkin sama dengan ku atau bahkan lebih kuat. Belum lagi jika sosok yang menyelamatkannya ikut campur, dulu aku tidak bisa merasakannya namun kini sudah jelas sosok itu sangat jauh diatasku. Mungkin aku bisa mati olehnya hanya dalam sekali pukul."
"Be . . . benarkah sekuat itu?"
"Tidak ada waktu lagi, kita akan meninggalkan tempat ini sekarang juga!"
Langit sudah menjadi gelap, awan tidak terlihat jelas silau oleh cahaya bintang-bintang. Disebuah padang bunga diapit oleh dua tebing seorang pemuda terbaring lemas penuh dengan bekas luka. Sesekali pemuda itu merintih kesakitan, lalu kemudian hanya terdiam.
Pria berbaju putih didekatnya menatap iba lalu bergegas mendudukan pemuda itu dan duduk bersila tepat dibelakangnya. Pria berbaju putih itu melakukan sebuah gerakan tangan khusus dan menempelkan salah satu telapak tanganya ke punggung sang pemuda. Darma berteriak dengan keras lalu darah menyembur dari mulutnya. Selama kurang kebih satu jam Yohan menyalurkan energi pada muridnya, perlahan energi itu menembus kulit lalu menyebar menekan racun di dalam tubuh dan menyembuhkan luka-luka Darma.
Tidak lagi terdengar suara teriakan di lembah itu, Darma kini sudah semakin tenang, tentu saja ia masih sangat kesakitan, namun masih dalam batas wajar untuknya bisa menahan. Yohan melepaskan telapak tangannya dan berdiri "Semua lukamu sudah disembuhkan, namun racun ditubuhmu sangat sulit, hampir tidak mungkin untuk menyembuhkannya tanpa penawar."
Darma akhirnya memiliki kekuatan untuk berbicara, "Guru, kau menyelamatkanku?"
"Anak bodoh, kau pikir aku benar-benar akan membiarkanmu mati?"
"Aku benar-benar berpikir akan mati tadi."
"Kau sudah tahu siluman itu jauh lebih kuat darimu, kenapa tidak kabur dari awal?"
"Bukankah guru bilang kalau aku harus bertarung dengannya atau tidak boleh kembali?"
Yohan memasang wajah kesal, "Ya, aku tidak tahu kalau siluman itu berhasil mencapai tingkat Madya, jika hanya Mula akhir aku yakin kau bisa bertahan cukup lama dan melarikan diri. Jadi apa kau dapat sesuatu dari pertarungan tadi?"
Terdiam sejenak Darma lalu mengangguk. "Aku dapat merasakan betapa lemah dan kurangnya pengetahuan maupun latihan yang ku miliki." Darma lantas menatap langit dan berkata "aku sekarang mengerti istilah diatas langit ada langit yang lebih tinggi."