Setelah turun gunung ia tidak lantas bergegas menuju kota Uzziah, gurunya memberi saran kalau sebaiknya ia bergerak perlahan sambil mengamati sekitar. Akan baik untuk latihannya sambil merenungkan elemen keduanya yaitu air, ia belum benar-benar pernah menggunakan elemen keduanya, memahami dan menyatukan kedalam tubuhnya lebih sulit dari yang ia duga. Ia segera sampai disebuah desa kecil bernama Kuwat kemarin sore, ia berniat untuk mencari penginapan namun tidak sengaja melihat sekelompok orang berkumpul di pendopo serius membicarakan sesuatu. Setelah mendengarkan sedikit tentang keberadaan Naga ia menjadi sedikit tertarik. Belum pernah ia melihat seekor Ular Naga di dalam hidupnya, ia lalu memutuskan untuk mengikuti kelompok ini dan melihat apa yang akan terjadi.
Sang surya baru menampakan sedikit cahanya, namun pagi itu beberapa orang sudah sibuk dengan berbagai macam hal termasuk memasang jebakan di dalam desa, lalu kemudian mereka pergi untuk mempersiapkan jebakan lainnya. "Tempat ini cukup baik, kita mencari bahan-bahan untuk jebakan disini." Guntur memimpin para pendekar lainnya dengan cukup baik dan para pendekar juga patuh mendengarkan instruksi. Hanya seorang gadis berpakaian ungu yang tidak ikut campur duduk memperhatikan dan seorang pemuda berbaju biru hitam yang tertidur malas diatas pohon.
"Embun." Bisik Darma sambil memperhatikan tetesan air di daun pohon tempatnya duduk. Ia terus memperhatikan terbentuknya embun dari tadi, elemen anginnya membuatnya dapat melihat lebih jelas; udara yang dingin, setelah itu uap air di udara semakin banyak lalu pada akhirnya udara tidak mampu menampungnya sehingga berubah menjadi titik-titik air dan menempel di dedaunan. "Betapa hal yang luar biasa."
Gadis berpakaian ungu mendongak ke atas mendengar kata-kata Darma, "Hei bocah, apa kau tidak akan membantu para pria itu?" tanya nya.
Darma menoleh ke bawah. "Seperti yang mereka bilang, aku cuma bocah kecil dan tidak paham soal jebakan. Sebaiknya menyingkir dan tidak mengganggu."
Seperti yang Darma bilang karena ia bagaimanapun masih anak berusia 14 tahun, semua orang memandangnya agak rendah. Pakaian yang di pakainya juga seperti pakaian anak yang berkecukupan, biasanya anak-anak seperti ini tergolong malas dan lemah. Semalam saat pertemuan selesai aparat desa mendata siapa saja yang akan ikut dalam penangkapan ini agar kemudian nanti mudah untuk diberikan hadiah. Dari 12 pendekar yang hadir dua orang memutuskan untuk mundur dan 10 lainnya bergabung termasuk gadis berbaju ungu dan pria tua yang sudah dalam tingkat Mula dan tentu saja Guntur yang menjadi pemimpinnya. Darma yang baru bergabung juga memutuskan untuk ikut, namun para pendekar lain tidak setuju.
"Kau masih muda, sebaiknya menyingkir kalau tidak mau kehilangan nyawa. Perburuan ini bukan untuk main-main." Ucap aparat desa.
Namun darma bersikukuh untuk bergabung. "Aku tidak akan mengganggu, bagaimana kalau aku hanya melihat dari jauh? jika ada sesuatu yang buruk terjadi aku bisa kabur dan melaporkan situasi."
Para pendekar akhirnya setuju, mereka memang memerlukan seseorang untuk melapor jika sesuatu yangburuk terjadi. Darma hanya tersenyum kecil saat mereka berbicara, ia memang tidak ingin mencari perhatian, jika memang tidak perlu ia tidak akan memperlihatkan kemampuannya.
Gadis berbaju ungu menatap pemuda itu sekali lagi, ia berpikir betapa polosnya pemuda itu, mungkin ia hanya anak manja dari keluarga kaya. "Terserah kamu, sebaiknya kau bisa berlari dengan cepat jika ada hal buruk terjadi."
"Baik Bibi. Baik sekali menghawatirkanku."
"Bi . . . Bibi? Kau panggil aku bibi?"
"Oh Maaf, boleh aku tahu siapa nama Bibi?"
Semakin kesal gadis berbahu ungu itu berteriak cukup keras. "Bukan itu maksudnya! memang aku bibimu hah? begini-begini aku baru 20 tahun!"
Suara keras gadis berbaju ungu membuat Darma tersentak dan para pendekar disekitarnya melirik. Merasa sedikit canggung Darma lalu melompat turun. "Hehe maaf kalau menyinggung Bibi, memang tidak sopan menanyakan nama tanpa memberitahu nama tanpa memberi tahu nama sendiri. Nama saya Mata."
"Bukan itu maksudnya! kenapa kau tidak paham dan tetap memanggilku Bibi?"
"Lalu aku harus panggil apa?"
Cemberut kesal gadis berbaju ungu itu akhirnya diam. Tidak begitu lama ia lalu menjawab "Namaku Laksmi dan panggil aku kakak!"
Menganguk kecil Darma tersenyum polos, ia memang banyak tidak paham mengenai masalah hubungan sosial, Ia sepertinya terlalu lama tinggal di lembah dan tidak berhubungan dengan manusia selain gurunya.
"Jadi namamu Mata?"
Darma mengangguk lagi, "Matahari, itu adalah namaku."
"Nama yang terlalu besar untuk pemuda sepertimu. Bagaimana kau bisa sampai di desa ini? kulihat kau hanya sendirian. Agak sedikit aneh melihat seseorang yang terlihat seperti 'Tuan Muda' sepertimu bepergian sendirian."
Menyender ke batang pohon Darma menatap ke atas. "Ceritanya cukup panjang."
Melihat ekspresi Darma, Laksmi menyenderkan tubuhnya juga ke pohon, ia juga menyadari kondisinya tidak begitu baik dan rumit. Saat ini mereka menyadari tidak dalam hubungan untuk menceritakan rahasia satu sama lain. Oleh karena itu selanjutnya tidak ada obrolan lagi yang terdengar, mereka terdiam menyaksikan kesibukan orang-orang di depannya.