Dunia Persilatan

Abel Adeline
Chapter #20

Bab 20. Tiga Lorong

Begitu pintu menuju ruangan tertutup dengan sendirinya kedua pengawal Loekman saling berpandangan, mereka sudah hafal betul dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. "Har, Berapa banyak kau pikir yang akan selamat?"

"Maksudmu dari ruangan pertama Abb? mungkin hanya setengah? ku pikir cukup banyak dari mereka yang sudah menjadi mula menengah atau akhir."

"Apa yang kalian bicarakan?" Loekman memotong obrolan,"Ruangan pertama bukan masalah, yang selanjutnya dan seterusnya akan sangat berbahaya, terlebih lagi tempat itu."

Har dan Abb saling berpandangan lagi, mereka tentu saja mengingatnya dengan jelas. "Pencuri itu benar-benar licik." Ucap Har.

Abb mengangguk, "Kita tertahan karena tempat itu, tempat yang mungkin hanya bisa dilewati dengan memiliki fisik di tingkat Madya tapi justru hanya bisa di lewati oleh seorang Mula."

"Apa ada yang akan berhasil?" Har yang bertanya.

Tidak ada yang berani menjawab, Loekman mengalihkan pandangan ke arah pintu lalu berkata. "Jika mereka gagal, kita hanya perlu mencari yang lainnya. Apapun yang terjadi, aku harus mendapatkan benda itu."

Sudah beberpa jam lagi berlalu namun di dalam hujan masih sangat deras, Jika di lihat sekilas hujan itu nampak seperti hujan biasa, namun di waktu tertentu beberapa tetes berubah membentuk sebuah garis lurus dan melesat dengan kecepatan yang sangat tinggi. Garis-garis itu terus berusaha menembus pertahanan Darma namun begitu mendekat 'mereka' menjadi sangat lambat dan memercik ke berbagai arah. Laksmi masih menatap kagum setiap menyaksikan hal itu terjadi, ia bermulai berpikir jika ia menguasai elemen angin mungkin ia akan mendapatkan wawasan dari apa yang terjadi.

"Air ini . . . dan udara . . ." Darma memaksa dirinya untuk benar-benar fokus sambil mempertahankan perlindungan, setiap kali serangan berusaha mengoyak perlindungannya saat itu pula wawasannya terus bertambah, awalnya ia hanya mengontrol kecepatan air dan mengalihkan alirannya. Namun kemudian ia mencoba untuk menciptakan aliaran yang lain untuk melawan serangan yang datang. "Air ini . . . setajam pedang . . . bukan . . . ini memang pedang, pedang air . . . "

Membuka Matanya darma lantas berdiri dan menarik pedang. Laksmi tersentak kaget dan berusaha memberi ruang, "Apa yang terjadi?" tanya nya.

Tanpa menghiraukan gadis di sebelahnya Darma menebas hujan di depannya dan melakukan berbagai gerakan seperti menari, setelah itu manariknya kembali. Kubah perlindungan angin milik Darma seketika meluas, Kristal hati di dalam tubuhnya menjadi berwarna biru gelap, kini ia hanya setengah langkah lagi untuk mencapai mula tingkat akhir. "Padahal sedikit lagi . . ." entah kenapa wawasannya masih terasa sangat kurang, mungkin yang ia perlukan adalah pengalaman, atau sebuah kondisi tertentu, atau memang kondisinya masih belum memungkinkan untuknya agar bisa menembus tahapan berikutnya.

"Apa kau berhasil menembus?" Laksmi tidak bisa tidak penasaran, sudah luar biasa baginya melihat seorang mula Menengah yang masih sangat muda, kini ia akan menembus tingkat akhir pula? kebanggaan sebelumnya sebagai salah satu jenius di perguruannya hilang seketika.

"Hanya sedikit lagi . . ." Jawab Darma kecewa.

"Itu sudah sangat luar biasa, ku lihat kau bahkan tidak kesulitan untuk mempertahankan kubah perlindungan ini. Aku baru saja mendengar teriakan lagi, entah ada beberapa orang yang tewas karena hujan ini. Kalau aku sendiri . . . mungkin tidak akan bertahan dengan lama."

"Kakak . . . aku sudah tidak kuat." Ucap seorang wanita berkepang rapi, kelompoknya tidak cukup beruntung, hanya terdiri dari tiga orang dan hanya di tinggal Mula awal, kekuatan fisik mereka amatlah terbatas.

Seorang pria bertubuh gemuk dan tinggi diantara mereka memegang bahu wanita itu. "Bertahanlah, kita tidak boleh mati disini."

"Benar, aku masih cukup kuat menahannya beberapa jam lagi. Semoga hujan ini segera berhenti." kali ini orang ketiga seorang pria kurus dengan pakaian yang kusam yang bicara.

Wanita itu terlihat murung dan lemah, tiba-tiba kepalanya terasa berputar dan pandangan matanya mulai kabur, ia merasa bisa pingsan kapan saja. sebuah lubang kecil pada kubah perlindungan mereka terbuka, seolah mengerti air melesat melalui lubang tersebut dan menembus kulit kaki si pria kurus. Spontan pria itu berteriak sambil berusaha menutupi darah yang menyembur dari kakinya.

Sang wanita tersontak kaget, berusaha kembali pada kesadarannya, namun lubang yang terbuka tidak bisa tertutup malah terbuka semakin lebar. Saat itulah ke tiga orang itu sudah merasa pasrah, hujan mengguyur sebagian tubuh mereka namun ini bukanlah seperti hujan yang tadi, tetesannya mulai jarang dan akhirnya menghilang. Bahkan lantai ruangan itu tidak basah, seolah hujan tidak pernah ada dan bahkan tidak ada mayat dimanapun. Ruangan itu kembali bersih dan tenang seperti saat mereka memasukinya. Ketiga orang tadi terkulai lemas namun merasa lega lalu berusaha membantu kawannya yang terluka. Begitu pula dengan semua orang yang tersisa, satu demi satu kemudian mereka melepaskan pelindung setelah yakin kalau situasinya telah aman.

Lihat selengkapnya