"Kusnadi?" Laksmi mengerutkan keningnya.
"Ya, kenapa?" Ilzabu asal sebut saja, tidak terpikir olehnya nama yang lain, alasan ia memakai nama Kusnadi adalah karena itu adalah nama seorang peternak yang ia bunuh beberapa hari yang lalu. Kekasih dari peternak itu terus-menerus meneriakan namanya sambil berusaha melawan hingga membuatnya kesal dan cukup untuk di ingat.
"Tidak apa-apa, hanya saja . . . kau tidak seperti Kusnadi?"
Terdiam sejenak Ilzabu hampir-hampir mencoba mengarang cerita dan mengubah namanya lagi, namun ia urungkan begitu sadar kalau hal itu hanya akan membuatnya lebih dicurigai, "Memang wajah Kusnadi seharusnya bagaimana? Apakah aku terlalu tampan?" Ia tersenyum sedikit menggoda saat mengatakan hal itu.
Menahan diri untuk menjulurkan lidahnya, Laksmi memilih untuk berbalik, "Sepertinya hampir semua orang sudah masuk kedalam lorong, bukankah sebaiknya kita juga pergi?"
Suara langkah Laksmi agak lebih berat dan cepat, ia melangkah duluan dan memimpin kelompok itu memasuki lorong paling kanan. Lorong itu ternyata semakin mengecil kedalam, lebarnya mungkin hanya cukup untuk dilewati oleh dua orang secara bersamaan namun cukup tinggi ke atas. Semakin dalam semakin banyak batu-batuan di atasnya dan beberapa bahkan bersinar berwarna biru keunguan dan beberapa seperti batu kristal bening yang terbentuk dengan indah.
"Apa kita menuju ke bawah?" Laksmi masih di depan berjalan berdampingan dengan Darma.
"Jalannya memang menurun, tapi tadi juga sedikit menanjak dan belokan-belokan tadi cukup membuat kita kebingungan dengan arah."
"Kau sangat cakap dan pandai nak, berapa umurmu?" Talim yang berbicara.
Melirik sekilas Darma lalu menjawab dengan nada rendah, "Empat belas."
"Dan kalu tidak salah kau Mula menengah?"
Tidak menjawab dengan kata-kata Darma hanya mengangguk kecil, Talim menatap takjub punggung pemuda di depannya. "Kaum muda memang luar biasa, aku perlu berlatih tiga puluh tahun hingga akhirnya mencapai Mula Menengah dan di usia empat puluhan ini hanya bisa mencapai Mula tingkat akhir, aku bahkan ragu bisa mencapai Madya sebelum mati."
Lorong itu memang agak terang karena cahaya bebatuan dari langit-langit, namun cukup untuk menembunyikan senyuman dan suara Ilzabu yang ingin menahan tawa. Baginya yang mengejar dunia alam para Satria yang melegenda, menjadi Madya hanyalah pijakan kecil. Yang ia perlukan adalah mengetahui keberadaan sang naga. Namun kondisi sekarang berbeda, secara tidak sengaja ia juga jadi terlibat dalam pencarian harta, dan ini cukup menarik minatnya. Mungkin saja, mungkin ia juga akan mendapatkan suatu kebetulan lainnya yang bisa membuatnya menjadi lebih kuat.
"Mata, tidak kah kau merasa aneh? Kita sudah berjalan sejauh ini tapi tidak ada apa-apa?" ucap Laksmi.
"Bukan hanya tidak ada apa-apa, tapi tempat ini juga sangat sepi." Talim menambahkan.
Darma lalu berhenti dan di ikuti yang lainnya. "Ini memang aneh, jelas-jelas ketika aku memilih lorong ini aku dapat merasakan ada udara yang mengalir ke ruang yang lebih besar dan juga aku dapat mendengar suara gemuruh angin dan aliran air. Tapi semakin berjalan rasanya kita menjadi semakin jauh."
"Kau mungkin salah." Ilzabu berbicara dengan nada mengejek.
"Hei jangan memulai! kau yang meminta untuk mengikuti kami." Laksmi meninggikan suaranya saat mengatakan hal itu.
Mengabaikan Laksmi yang mulai bertengkar dengan pria berpakaian serba merah itu Darma mulai berjalan mendekati dinding dan memegang sebuah batu berwarna biru di dekatnya. Seketika batu itu menyala dan sebuah percikan seperti aliran listrik menyambar tangannya dan melemparkan tubuhnya kearah yang berlawanan.
Dua orang yang beselisih dan Talim mendadak diam, Ilzabu mendadak mundur menghindari batu di dekatnya yang juga mulai bersinar "Hei apa yang terjadi?"