Tak berapa lama mereka memasuki area Pondok Pesantren. Abdul membaca sekilas gapura besar yang baru saja dia lewati.
"Pondok Pesantren As-Syifa?" gumam Abdul pelan.
Setiap orang yang dilalui mereka selalu menundukkan kepala sebagai rasa hormat mereka kepada Pak Kyai.
Abdul merasa Pak Kyai ini jelas bukan orang biasa, tapi dia malah berani mencengkeram sisi kanan kiri gamis panjang beliau selama perjalanan tadi.
Perlahan dia mulai melepaskan cenkeramannya, supaya gamis Pak Kyai tidak kusut dibuatnya.
Tak berapa lama motor berhenti di sebuah rumah besar di belakang Pondok Pesantren.
"Alhamdulillah," seru Pak Kyai setelah menghentikan motornya. Beliau menunggu Abdul turun dari motor lebnih dulu baru kemudian menstandar motornya.
Abdul masih saja memeluk tasnya sembari melihat halaman PonPes yang luas itu.
"Assalamualaikum," salam Pak Kyai saat memasuki teras rumahnya.
"Waalaikumussalam, Abah," jawab gadis jelita berkerudung putih baru saja membukakan pintu dan mencium tangan ayahandanya itu.
"Ayo, masuk," ucap Pak Kyai setelah melihat Abdul masih berdiri mematung di dekat motor.
"I-Iya, Pak Kyai," jawab Abdul lalu bergegas mendekat.
Pak Kyai melihat putrinya sudah menghilang ke dalam rumah sebelum beliau masuk ke dalam.
Abdul kikuk merasa tak pantas memasuki rumah semegah itu. Seluruh lantai dan dinding berlapiskan marmer. Sangat mewah.
Tak berapa lama, Abdul telah duduk dengan canggung di ruang tamu. Tasnya telah berpindah tangan ke seorang pembantu yang disebut Bi Inah oleh Pak Kyai.
"Aisyah," panggil Pak Kyai, "Tolong buatkan minum buat tamu kita!"
"Iya, Bah," jawab Aisyah dari dalam.
Abdul semakin canggung. Jarang sekali dia bertamu ke rumah orang dan disuguhi minuman pula. Selama ini dunianya adalah rumah, sekolah, kebun, rumah, sekolah, kebun, dan seterusnya seperti itu.
"Jadi, kenapa kamu tidak sekolah?" tanya Pak Kyai tiba-tiba mengagetkan Abdul.
Sambil meremas-remas tangannya sendiri, dia bingung harus mulai dari mana.
"Apa kamu bolos?" tanya Pak Kyai tanpa nada menuduh.
"Saya terlambat, Pak Kyai," jawab Abdul masih meremas-remas tangan.
"Subhanallah," kata Pak Kyai lagi, "Kenapa hanya karena terlambat kamu bolos?"
"Saya sudah sering terlambat, Pak Kyai," sambil menunduk. Kedua tangannya mulai terasa sakit.
"Kenapa bisa sering terlambat?" tanya Pak Kyai penasaran.
Tapi seorang gadis berkerudung panjang datang membawa nampan berisikan secangkir minuman.
Pak Kyai dan Abdul terpaksa menghentikan pembicaraan.