Pagi itu, di sebuah rumah sederhana yang tampak kurang terawat, terdengar suara tangisan seorang balita.
"Sstt, sstt, sstt..." desis Abdul sambil menggendong Zahra, adik perempuannya yang menangis karena lapar. Padahal dia telah mengenakan seragam putih abu-abunya dan bersiap untuk berangkat ke Sekolah. Dia ingat ada ulangan kimia di jam pelajaran pertamanya hari ini. Dan ada PR matematika yang akhirnya rampung hingga lewat tengah malam tadi.
Tapi Zahra sangat rewel pagi itu. Abdul tak tega meninggalkannya.
Disusul kemudian suara wanita terbatuk-batuk dari dalam kamar. "Apa Bapakmu belum pulang, Le?" tanya wanita yang sedang sakit sejak kemarin.
"Belum, Buk," jawab Abdul yang masih berusaha menenangkan Zahra.
"Kemana toh Bapakmu ini?" tanya Ibunya resah, "Sudah berbulan-bulan kok ndak pulang-pulang," tambahnya, "Apa Bapakmu ndak tahu kondisi anak istrinya seperti ini?"
Abdul hanya terdiam dan melihat Fatimah, adik perempuannya yang berusia 5 tahun itu sedang duduk di kursi makan menghadap ke piringnya yang masih kosong.
Sambil menggendong Zahra, Abdul bergegas ke dapur dan melihat persediaan beras di rumahnya. Ternyata kosong.
Abdul teringat sejak kemarin mereka hanya makan singkong rebus.
"Fatimah, tolong jaga Zahra sebentar," seru Abdul sambil menurunkan Zahra dari gendongannya.
"Mas Abdul mau kemana?" tanya Fatimah sambil memeluk Zahra di pangkuannya.
"Mas Abdul mau ke kebun sebentar," lalu Abdul bergegas pergi melalui pintu belakang setelah mengambil sebilah golok.
Dia menuju ke kebun di belakang rumahnya dan mencabut sebatang pohon singkong dengan sekuat tenaganya. Dia potong batang singkongnya agar sedikit lebih pendek dan mudah untuk dibawa.
Tanpa berlama-lama, karena dia sudah terlambat masuk Sekolah, dia bergegas membawa singkong-singkong itu ke dalam rumah.
Setelah merebus singkong-singkong untuk ibu dan adik-adiknya, Abdul bergegas mengambil tas punggungnya di dalam kamarnya.
"Kamu ndak sarapan dulu, Le?" tanya Ibunya yang sudah duduk di kursi makan dengan wajah pucatnya, sambil memangku Zahra.
Abdul tak bisa memungkiri bahwa perutnya sangat lapar, tapi setelah melihat Fatimah dan Zahra sangat lahap menyantap singkong rebus itu, Abdul menjawab, "Nanti saja, Buk, Abdul sudah terlambat ke Sekolah."
Abdul berhenti setelah berlari selama 20 menit menuju ke Sekolahnya. Kini dia telah sampai di depan gerbang sekolahnya yang telah tertutup. SMU Negeri 10 Malang.
Dengan napas terengah-engah, Abdul teringat pesan dari Pak Djarot, guru BK di Sekolahnya. 'Kalau sampai kamu terlambat lagi, tidak usah sekolah, pulang saja!'
Dia berpikir itu sangat berlebihan, tapi dia menyadari karena dia terlalu sering terlambat karena harus membantu ibunya mengurusi adik-adiknya terlebih dahulu sebelum berangkat ke Sekolah.
Dengan sedih, Abdul melangkah menjauhi gerbang Sekolah. Dia pergi meninggalkan Sekolah, tapi dia juga enggan untuk pulang. Takut kalau sakit ibunya akan bertambah parah jika tahu putranya bolos. Dia akan pulang jika sudah waktunya jam pulang saja.
Kini kemana dia akan pergi? Dia hanya mengikuti kemana langkah kakinya melangkah.
Di sepanjang jalan dia memikirkan apa yang akan terjadi nanti. Apakah Pak Djarot akan mendatangi rumahnya? Apakah dia akan dikeluarkan dari Sekolah? Lalu bagaimana dengan masa depannya? Bagaimana dengan cita-citanya kelak? Tapi semua itu tidak lebih penting ketimbang kondisi keluarganya di rumah, kesehatan ibunya, dan keceriaan adik-adiknya.
Tapi apa yang bisa dia lakukan? Dia hanya anak SMU kelas 2 yang sering terlambat sekolah karena harus mengurusi keluarganya terlebih dulu di rumah.
Langkah kakinya membawanya ke sebuah pasar. Sudah menjelang siang tapi pasar itu masih saja ramai. Terlihat beberapa mobil terparkir dan masih banyak motor juga. Terlihat seorang kuli panggul kira-kira berumur 50 tahunan memasukkan barang-barang belanjaan ke sebuah mobil yang bagasinya terbuka.
"Apa aku jadi kuli panggul aja ya?" gumamnya dalam hati.
Tanpa pikir panjang, dia melangkahkan kakinya ke dalam pasar itu. Tapi hingga siang hari belum ada satupun yang mau memakai jasanya. Tapi dia teringat kedua adiknya yang perlu makan, dan dia bersemangat lagi.
Dia mencari pembeli yang membawa banyak kantung belanjaan.
Terlihat ada seorang ibu etnis tionghoa sedang membeli banyak keripik dan
berkardus-kardus. Segera saja dia mendekati ibu itu dan menawarkan jasanya.