Bambang Sugiharto
Guru Besar Filsafat, mengajar di Unpar dan ITB,
Sekjen International Society for Universal Dialogue (New York)
DAlAM BENAK banyak orang, filsafat adalah ilmu yang mengawang-ngawang. Mengawang bisa berarti: terlalu tinggi dan rumit, hingga tak mudah dicerna oleh orang kebanyakan. Tapi mengawang juga bisa berarti: tidak realistis, konyol, kegiatan orang yang kurang kerjaan. Ketika dunia digerakkan oleh kesibukan mencari uang sebanyak-banyaknya, dan diramaikan oleh hiruk-pikuk memburu kenikmatan, karier, popularitas dan kekayaan, filsafat tampak bagai verbalisme kosong, bagai daftar menu yang menawan tanpa ada makanannya. Ketika ilmu-pengetahuan empirik dan teknologi menghasilkan demikian banyak hal konkret dan telah mengubah kehidupan manusia secara mendasar, filsafat terasa bagai bualan yang menyembunyikan kekosongannya dalam rimba istilah abstrak yang dirumit-rumitkan.
Lebih buruk lagi, dalam situasi penuh antusiasme keagamaan yang meledak-ledak, filsafat biasanya bahkan dilihat sebagai kebebasan nalar yang liar dan "arogan", semacam ancaman menuju kekacauan, bahaya tafsir bebas yang mengarah pada kemurtadan, atau bahkan sejenis gejala kegilaan. Dan karenanya, bagi masyarakat umum, sebaiknya tidak disarankan.