***
... pada suatu titik, sesuatu pasti berasal dari ketiadaan ...
SOPHIE AMUNDSEND sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah. Dia telah menempuh paruh pertama perjalanannya bersama Joanna. Mereka membicarakan robot. Joanna beranggapan otak manusia itu seperti komputer yang sangat canggih. Sophie tidak terlalu sepakat. Tentunya manusia bukan sekadar sepotong perangkat keras?
Ketika sampai di depan pasar swalayan, mereka berpisah. Sophie tinggal di daerah pinggiran kota dan jaraknya dari sekolah hampir dua kali lebih jauh daripada rumah Joanna. Tidak ada rumah lain di sebelahnya. Jadi, rumah tersebut seakan-akan berada di ujung dunia. Di dekat situ ada hutan.
Dia berbelok menuju Clover Close. Di ujung jalan ada tikungan tajam, yang dikenal sebagai Captain's Bend. Orang-orang jarang melewati jalan itu, kecuali pada akhir pekan.
Saat ini awal bulan Mei. Di beberapa kebun, pohon-pohon buah dikelilingi dengan bertandan-tandan daffodil. Pohon birkin telah diselimuti daun berwarna hijau pucat.
Sungguh luar biasa, betapa semuanya bersemi pada musim ini! Apa yang membuat limpahan warna hijau dedaunan bermunculan dari bumi yang mati begitu ia mendapatkan kehangatan dan sisa-sisa salju yang terakhir menghilang?
SOPHIE
Gadis 14 tahun yang serba-ingin tahu.
Ketika Sophie membuka pintu gerbang halamannya, dia memandang ke kotak surat. Biasanya ada banyak surat sampah dan beberapa amplop besar untuk ibunya. Tumpukan surat itu sering ditinggalkannya begitu saja di meja dapur sebelum dia naik ke kamar untuk mulai mengerjakan pekerjaan rumah.
Sering kali ada beberapa surat dari bank untuk ayahnya. Tetapi, ayah Sophie bukanlah seorang ayah yang biasa. Dia adalah nakhoda sebuah tanker minyak besar, dan selalu bepergian hampir sepanjang tahun. Selama beberapa minggu ketika dia berada di rumah, dia akan sibuk ke sana kemari untuk membuat rumah itu enak dan nyaman bagi Sophie dan ibunya. Namun jika dia berada di laut, dia tampaknya sangat jauh.
Hanya ada sebuah surat di kotak surat—dan itu adalah untuk Sophie. Pada amplop putih tertulis: "Sophie Amundsend, 3 Clover Close." Itu saja; tidak disebutkan siapa pengirimnya. Prangkonya pun tidak ada.
Setelah Sophie menutup pintu gerbang, dia buru-buru membuka amplop itu. Di dalamnya hanya ada secarik kertas yang tidak lebih besar daripada amplopnya sendiri. Bunyinya: Siapakah kamu?
Tidak ada yang lain, hanya dua kata itu, yang ditulis tangan, dan diikuti dengan sebuah tanda tanya besar.
Dia melihat amplop itu lagi. Surat itu jelas untuknya. Siapakah yang memasukkannya ke dalam kotak surat?
Sophie segera memasuki rumah merah itu. Sebagaimana biasa, kucingnya, Sherekan, berusaha menyelinap ke luar dari semak-semak, melompat ke tangga pertama, dan menyusup masuk melalui pintu sebelum Sophie menutupnya.
Setiap kali ibu Sophie sedang tidak enak hati, dia akan menyebut rumah yang mereka tinggali itu adalah sebuah kandang. Sophie memang suka memelihara binatang. Pertama-tama dia punya tiga ekor ikan mas, Goldtop, Red Ridinghood, dan Black Jack. Selanjutnya dia mendapatkan dua ekor burung parkit yang dinamakannya Smitt dan Smule, lalu Govinda si kura-kura darat, dan akhirnya si kucing pirang, Sherekan. Semua binatang itu diberikan kepadanya untuk menghiburnya, mengingat bahwa ibunya selalu baru pulang kerja menjelang senja dan ayahnya yang sangat sering bepergian, berlayar ke seluruh penjuru dunia.
Sophie melemparkan tas sekolahnya ke lantai dan meletakkan semangkuk makanan kucing untuk Sherekan. Lalu, dia duduk di atas bangku dapur dengan surat misterius di tangannya.
Siapakah kamu?
Dia tidak tahu. Dia adalah Sophie Amundsend, tentu saja, tapi siapakah Sophie itu? Dia benar-benar tidak mengerti—belum.
Bagaimana seandainya dia telah diberi nama lain? Anne Knutsen, misalnya. Apakah dia lalu menjadi orang lain?
Tiba-tiba, dia ingat bahwa ayahnya semula ingin dia dinamai Lillemor. Sophie berusaha untuk membayangkan dirinya bersalaman dan memperkenalkan dirinya sebagai Lillemor Amundsend. Namun, semua itu tampaknya tidak benar. Tetap saja itu adalah orang lain yang memperkenalkan dirinya.
Dia melompat dan pergi ke kamar mandi dengan surat aneh di tangannya. Dia berdiri di depan cermin dan menatap matanya sendiri.
"Aku Sophie Amundsend," katanya.
Gadis di dalam cermin itu tidak bereaksi sama sekali. Apapun yang dilakukan Sophie, gadis lain itu melakukannya dengan cara yang persis sama. Sophie berusaha untuk memukul bayangannya dengan gerakan kilat, tetapi gadis itu pun bergerak sama cepatnya.