Awal mula di mana impian entah akan tercapai atau membawa luka.
Dan nantinya berbuah putus asa.
Jambi, 2017
Malam itu semuanya masih tampak biasa-biasa saja, kehidupan yang cukup tenang di pedalaman membuat para penghuni kampung ini melewati hari dengan penuh senyuman. Mengapa tidak, tidak ada polusi dalam kehidupan mereka, udara segar dari pepohonan yang menjulang tinggi selalu menyambut disetiap langkah mereka. Namun ketenangan malam itu seketika musnah dihadapan seorang ibu yang menerima kenyataan pahit dari anaknya.
“Payolah, Mak! Izinkanlah anak Mak ko pegi ke kota.” Emak nampaknya masih tak mau menggubris permintaan anaknya.
“Aku janji, akan lekas pulang!” Di ikuti kemana pun Emak melangkah, sementara emosi Emak sudah semakin meluap.
“Gayung! Bukan Emak Tak mengizinkan kamu pergi Nak, kau tak pernah tahu betapa kejam kehidupan di kota itu. Entah nasib apa yang akan kau dapat di sana.”
“Tapi, Mak...” Gayung memegang tangan Maknya.
“Tidak ada tapi, Gayung. Emak bilang tidak boleh ya tidak boleh. Cukup bapak kau yang pergi meninggalkan Mamak, jangan juga kau ikut pergi meninggalkan Emak berdua saja dengan adikmu!”
“Sudahlah, Emak lelah mendengar ocehan kau. Cepatlah kau tidur, besok ikut Mak ambil sayur di ladang.” Emak tak lagi memperdulikan Gayung, ia memutuskan untuk tidur, agar besok bisa lebih pagi berangkat ke Ladang. Sementara Gayung, ia masih tertunduk kecewa. Impiannya untuk pergi ke kota mungkin tak akan pernah terjadi. Tapi entah, jalan akan selalu ada, hari ini mungkin ia gagal, tapi rencana di kepalanya masih begitu banyak, hingga suatu saat ia akan menyesali keputusannya untuk pergi.
Esoknya Gayung ikut dengan Emak pergi ke ladang untuk mengambil beberapa sayur, tak henti-hentinya Emak terus menasehati Gayung agar tak pergi dari tempat ini, sementara Adik Gayung hanya menunduk merasa kasihan kepada Abang satu-satunya ini.
Kinanti, Adik Gayung yang saat ini sudah hampir berumur tiga belas tahun. Sejujurnya Kinanti juga tak menginginkan Abangnya pergi meninggalkan mereka di tempat ini. Hidup tanpa sosok Ayah saja sudah terasa sangat sepi, lalu bagaimana jika sekarang tanpa Abangnya juga. Namun ia juga punya nurani, ia dekati Abangnya yang sedang duduk malas di bawah pohon.
“Bang!” sapa Kinanti.
“Hemm...” hanya itu yang mampu keluar dari lidah Gayung, ia seakan kelu tak ingin berbicara.
"Abang yo nian nak pegi ke kota?"
"Jika kamu kesini hanya untuk nasehati Abang pula, mending kau pergi sajalah Kinan. Penat kepala Abang ini harus mendengar nasehat-nasehat itu-itu saja, kenapa tidak ada yang mengerti apa keinginan Abang, Abang hanya ingin membuat kalian berdua bangga, membuat kalian bahagia. Tapi sayang, kalian tidak mengerti itu." ia menunduk tak berani menatap Adiknya, seakan ada rasa malu, namun juga rasa menggebu-gebu untuk segera pergi.
" Kinan bukan tak mendukung Bang, Kinan sungguh akan bahagia jika Abang bisa sukses di Kota. Namun jika Abang pergi, tidak ada lagi sosok laki-laki dirumah ini. Semua akan nampak sepi Bang." Kinan mencabut rumput kering di sekitarnya dan sesekali melirik kearah abangnya.
"Bang, kalau Kinan boleh beri saran. Abang bisa pergi ke kota, namun tetaplah berkirim surat atau memberi kabar sajalah. Agar aku dan Emak tak khawatir akan keadaan kau di sana Bang." Kini Kinanti menatap Abangnya. Ingin rasanya ia tak mengatakan hal itu, namun tak akan mempan untuk Abangnya jika diminta untuk tidak pergi.
"Tidak akan lupalah Abang untuk memberi kabar kalian, akan selalu Abang kirim pesan, akan sering pula Abang pulang kerumah. Yakinlah Kinan, Abang akan menjadi orang sukses di Kota." Sebuah janji ia ucapkan, janji yang belum tentu berbuah kemanisan. Gayung lupa jika kehidupan kota tidak setentram kehidupannya di kampung, ia hanya melihat teman-temannya sukses saat pergi ke kota. Nyatanya ia tak pernah tahu, kebohongan apa yang di buat temannya agar ia juga terjebak dengan kerasnya kehidupan di kota.
Keinginannya untuk pergi di mulai saat ia bertemu dengan Guntur, temannya yang baru pulang dari Kota. Ia pulang membawa koper, pakaian yang begitu bagus, mewah dan berkelas. Di tunjukkannya beberapa kartu-kartu ajaib yang di sebut Guntur dengan cradit card, ATM dan lain sebagainya, sejatinya Gayung tak mengerti apa fungsi kartu tersebut. Yang ia tahu Guntur sukses di Kota. Gayung tak pernah tahu bagaimana cara Guntur mendapatkan semua barang mewah itu, cara yang halal kah, atau malah sebaliknya sesuatu yang tak pernah di duga oleh Gayung. Namun sayang hal itu tak pernah terlintas di pikiran Gayung, baginya kini adalah pergi ke kota dan menjadi orang sukses.