Sudah begitu bersemangat, semua membara, angan seakan tak lagi salah.
Namun kita lupa, bagaiamana sebenarnya kehidupan ini penuh derita.
“Gayung... Bangun! Ayok cepat bantu Mak dan Kinan. Setelah ini kita pergi ke pasar. Kita jual kangkung dan sayuran yang lainnya. Kasian Kinan dari jam dua tadi dia sudah sibuk mengikat kangkung. Kau tidur saja kerjaannya.” Gayung masih tetap tak beranjak bangun, ia hanya merenggangkan tubuhnya sejenak lalu kembali tidur.
“Gayung, Bangun! Pergi ke kamar mandi, ambil air wudhu. Solat subuh. Setelah itu kita pergi ke pasar.” Serasa geram sudah Emak melihat anak laki-laki satu-satunya ini susah sekali di bangunkan.
“Iya Mak, Gayung bangun. Sabar sedikitlah, nyawa Gayung belum juga kumpul semua.” Gayung masih berusaha membuka matanya yang begitu berat untuk diajak sadar dengan kenyataan hidup. Suara Azan masih berkumandang, Kinan dan Emak sudah bersiap-siap solat.
“Ayolah Bang, lekas ambil wudhu. Sekali-kali jadilah Imam saat solat.” Gayung sama sekali tak mendengarkan Kinan, ia terus berjalan melewatinya.
“Sudahlah Kinan, kita mulai dulu sholatnya. Biarkan Abang kau sholat sendiri nanti.” Kinan bergegas mengenakan mukenahnya. Sementara Gayung di dalam kamar mandi pikirannya melayang, bagaimana ia bisa pergi kekota, bagaimana bisa meminta izin Emak. Sempat terlintas dalam benaknya untuk kabur saja. Namun hati kecilnya masih berbicara untuk tidak melakukan hal itu. Ia masih ada rasa kasihan akan Emak, pasti sangatlah sedih jika hal itu ia lakukan.
“Bang!” Terkejut Gayung mendengar pintu kamar mandi di gedor-gedor begitu keras oleh Kinan.
“Bang, cepatlah! Jangan tidur lagi di kamar mandi. Cepetan!” Di gedornya terus pintu kamar mandi itu hingga suaranya keluar rumah. Sebuah rutinitas yang tak asing lagi bagi keluarga ini. Membangunkan Gayung yang begitu susahnya minta ampun. Entah jika Emak tak sabar mungkin sudah di siramnya Gayung dengan air dingin seember agar anaknya bangun. Namun hal itu tak pernah terjadi, hanya ucapan yang Emak tak pernah lakukan hingga kini.
Gayung keluar dari kamar mandi, bergegas ia mengenakan sarung dan kopyah, mulailah ia solat subuh. Tubuhnya bergerak takbir, rukuk dan sujud. Namun hati dan pikirannya masih saja tentang Kota. Entah semua cara ia pikirkan namun selalu saja tak ada jawaban.
“Bang!” Kinan tiba-tiba berada di sebelahnya saat ia selesai sholat.
“Eh, ngapo kau disiko Kinan?” Sekali lagi Gayung di buat terkejut oleh Kinan. Sementara Kinan hanya tersenyum geli melihat abangnya.
“Lah… Di tanya kok malah ketawa.”
“Abang tadi solat apo?” tanya Kinan.
“Solat subuhlah, tadi Abang juga pakai qunut kok.” Kembali Kinan tertawa dan kali ini lebih kencang tawa Kinan hingga Emak pun ikut tertawa sambil memasukkan ikatan sayur-sayur kedalam keranjang.
“Eh ado yang salahkah?”
“Bang, dari Kinan lahir sampai kini tu solat subuh cumo ado duo rokaat bang bukan empat rokaat.” Mendengar itu Gayung menggaruk-garuk kepalanya, tak sadar jika dirinya terlalu terlena akan lamunannya tentang Kota. Kinan yang masih tertawa terbahak-bahakn bergegas membantu Emak.
“Gayung, buruan bantu Emak!”
“Siap Mak, sebentar Gayung ganti baju, biar cakep.”
“Cepatlah!” Ujar Kinan yang kini sudah ada di depan rumah dengan sepeda kayuh penuh dengan sayuran. Kegiatan Gayung dan keluarganya seperti ini setiap pagi, berjualan sayuran setiap pagi. Sayuran apapun, terkadang juga menjual cabai bahkan juga buah-buahan hasil perkebunan mereka sendiri. Mereka berjualan dari subuh hingga jam sembilan pagi, siangnya mereka pergi ke ladang sampai sore. Seperti itu teruslah siklus kehidupan mereka tak pernah terganti. Dan suatu hari nanti siklus itu akan berubah, berubah karena suatu hal yang tak pernah dipikirkan dengan matang. Hingga Dunia kembali bercanda, bercanda dengan tawa yang tak pernah kita mengerti.
Mereka bertiga berjalan menyusuri jalanan yang masih gelap, Jambi adalah kota yang masih asri dengan pepohonan menjulang tinggi. Gelap sudah pasti, namun bagi mereka bertiga hal ini sudah biasa mereka lakukan, rasa takut serasa sudah kabur dalam diri mereka. Namun takut kehilangan berbeda lagi, inilah yang saat ini ada dipikiran Emak, bagaimana jika Gayung benar-benar pergi, namun ia juga tidak bisa melarang anaknya untuk pergi, itu mimpinya dan harus ia wujudkan. Sebuah kebimbangan dalam hati seorang Emak, antara harus bersifat egois atau merelakan demi masa depan yang manis. Dan nyatanya Emak harus merelakan satu hal yang akan membuatnya juga menyesali keputusan besar itu.
Mereka bertiga sudah sampai di pasar, pasar sudah mulai ramai dengan para penjual yang menyiapkan barang dagangan mereka. Gayung berjualan dengan sangat antusian, jiwa dagangnya sebenarnya sangat kuat, namun sayang ia tidak menyadari hal itu. Ia sudah buta dengan keindahan yang disajikan di kota.
“Gayung, Yung...” Guntur yang sejak tadi sudah ada di dekat tempat jualan Gayung memanggilnya dan memberi isyarat untuk mendekat, ia lambai-lambaikan tangannya. Lama Gayung menghampiri Guntur, ia masih harus melayani pembeli yang masih menawar sayur yang sedang dibelinya.