Angan itu tak pernah salah, namun kita yang lengah.
Mengapa tak terus mencoba, jika kita tak mau kalah
Hari itu benar-benar tiba, Gayung benar-benar akan pergi meninggalkan kampung halamannya. Guntur pagi-pagi buta sudah berada di rumah Gayung. Rumah itu kini menjadi sendu, ada tangis yang tertahan tak ingin di keluarkan. Hanya tak ingin ada perpisahan tanpa senyuman. Emak benar-benar sudah ikhlas jika Gayung pergi dari kampung halamannya ini.
Semalam saat Gayung berkemas, Emak menghampiri Gayung, dilihatnya Gayung yang penuh semangat akan pergi ke kota.
“Yung, setelah kamu sampai di kota jangan lupa kasih kabar Emak ya!” ujar emak tiada hentinya pada Gayung.
“Iya Mak, Gayung ndak bakalan lupa. Nanti Gayung hubungi tetangga yang punya telepon itu. Nanti Gayung sempatkan pergi ke telepon umum.” tangan Gayung masih tetap memasukkan beberapa pakiannya kedalam tas miliknya.
“Yung, bawalah ini!” Emak menyerahkan seikat uang pada Gayung.
“Eh, apa ini Mak. Tidak-tidak Gayung tidak mau menerima ini.” tangannya terhenti memasukkan beberapa helai bajunya, hatinya seakan tersentuh.
“Tidak apa-apa, bawalah ini! Ini tabungan Emak, tidak seluruhnya, Emak sisihkan separuhnya untukmu, separuhnya Emak simpan lagi untuk berjaga-jaga. Jangan menolak pemberiaan Emak Gayung!” Gayung menunduk malu.
“Gayung sudah ada uang Mak.” kembali Gayung menatap emak, namun kali ini dengan deraian air mata.