Dunia Sukab

Noura Publishing
Chapter #1

Penari dari Kutai

Dunia Sukab 1

Tenggarong muram dan sayu. Dalam hu­jan, kota kecil itu bagai perawan menangis kehilangan kekasih. Di sela hujan yang menderas, lamat-lamat telinga Barjo mendengar gendang Kutai yang ditabuh seperti berkejar-kejaran. Mereka pasti sedang latihan, pi­kir­nya, dan ia meraih sa’ung2 Kenyah dari dinding, memakainya, lantas melangkah ke serapo3. Caping orang itu cukup lebar untuk melindungi bagian atas badan Barjo, namun seluruh bagian bawahnya segera saja basah kuyup. Kilat mengerjap-ngerjap di langit dan bunyi guntur hampir saja membuat Barjo mengurungkan niatnya.

Di perempatan jalan ia ragu-ragu, tapi bayangan wajah penari itu menyeret langkahnya kembali. Begitulah ia berjalan sementara dalam benaknya telah terbayang bagaimana Retno akan menari. Perempuan transmigran itu masih menyimpan kehalusan tarian Jawa dalam kelincahan tarian Kutai, membuat gerak tubuh dan pancaran matanya menggetarkan Barjo.

Dalam hujan Barjo menggigil dan gemetar, bukan hanya karena dingin. Barjo berangan-angan bagaikan bermimpi dalam sebuah tidur yang panjang. Ia telah membayangkan senyuman Retno, pandangan matanya yang penuh arti, dan kebahagiaan yang akan mengendap ke dadanya, yang akan melambungkannya ke sebuah mimpi yang nyata. Sudah beberapa hari Barjo menyatroni persiapan Erau4 ini, sampai hujan deras pun ditempuhnya. Angin mendesau dengan kuat mem­buat tirai hujan makin tebal dan kelabu.

Di ujung jalan, Barjo terkesiap. Di tengah jem­batan tampak samar-samar seorang lelaki. Barjo mencoba menegaskan kembali pandangan matanya. Dari bentuk tubuhnya, ia merasa mengenali lelaki itu. Di balik hujan yang makin menyakiti kulit, dilihatnya tubuh yang tegap itu bertelanjang dada. Tapi yang membuat Barjo tegang adalah mandau5 yang digenggamnya dengan meyakinkan. Lengan kanannya terkulai menyandang mandau itu, namun Barjo tahu, itulah pegangan seseorang yang mengerti betul bagaimana menggunakannya. Barjo meraba pinggangnya meskipun ia tahu itu tak perlu. Ia tidak membawa clurit6.

Satu-satunya jalan ke serapo hanya bisa lewat jembatan itu. Tapi Barjo tidak menghentikan lang­kah­nya. Ia memang sudah lama bersiap un­tuk peristiwa semacam ini. Menghendaki se­orang perempuan yang bersuami, siapa pun harus memperhitungkan suaminya itu. Cuma aku tidak membawa clurit, pikir Barjo. Ada ketinting7 lewat di bawah jembatan, tapi segera menghilang dalam hujan yang bagai ingin menenggelamkan Tenggarong. Mereka telah dekat berhadap-hadapan ketika Barjo mendengar suara yang bergetar menahan marah.

“Jadi, kau yang bernama Barjo?”

“Ya, aku Barjo, kau siapa?”

“Aku Balu.”

“Apa maumu?”

Balu diam sejenak, bagai tak yakin Barjo yang muda itu bisa begitu tenang dan tak mundur selangkah pun.

“Aku suami Retno,” ujarnya perlahan.

“Oh, jadi kau yang sering ia ceritakan.”

“Aku tahu ia bukan sekadar mendongeng pada­mu,” Balu menggeram.

Ia maju selangkah dan menuding dengan man­daunya.

“Kau membawa senjata?”

Barjo sebetulnya sudah siap menghadapi segala kemungkinan, tapi ia menjawab juga.

“Tidak, aku tidak membawa, tapi jangan ragu-ragu, majulah!” Barjo berteriak mengatasi guntur yang makin ganas meledak-ledak. Sementara dari jauh tampak serombongan orang mendatang.

“Aku bukan pengecut,” Balu berteriak dengan marah, “pantang aku membunuh lawan tak bersenjata, tapi salah seorang di antara kita harus mati!”

“Kenapa tidak?” sahut Barjo yang menjadi panas pula, ia telah komat-kamit merapal mantranya. Rombongan orang yang berjalan dalam iringan satu per satu itu makin mendekat.

“Kutunggu kau besok di Pulau Tenggarong, tepat jam dua belas tengah malam,” kata Balu sambil mundur ke tepi jembatan, “bawalah senjatamu, kita bikin perhitungan terakhir sebagai laki-laki.” Balu berteriak sembari meloncat ke bawah. Sebentar kemudian terdengar bunyi motor ketinting yang menjauh.

Barjo menghela napas, rombongan tadi sedang melewatinya tanpa peduli. Bunyi logam gemerincing pada telinga para perempuan yang panjang sampai ke dada itu.

“Orang-orang Modang,” desisnya, ketika meli­hat rajah pada tangan mereka. Barjo meneruskan langkahnya ke serapo.

***

Gendang Kutai itu terasa merdu di telinga Barjo ketika ia memasuki serapo dengan basah kuyup. Hatinya berdenyut keras dan kepalanya dipenuhi bunga angan-angan. Di panggung itulah ia melihat Retno berputar-putar. Udara bagaikan berpusar bersama putaran tubuhnya. Sebetulnya banyak penari-penari lain. Menjelang pesta Erau seperti ini, banyak perempuan yang mendadak jadi penari. Namun mata Barjo hanya tertuju kepada Retno saja. Langkah kakinya yang lincah, pinggulnya yang gontai, dan pandangan matanya yang tajam menerkam, membuat dada Barjo berdesir. Retno melontarkan senyum kepadanya.

“Cantik sekali,” desisnya.

“Lihat! Lihat! Tirukan Retno!” Pelatih tari itu berteriak. Retno memang bukan sembarang penari. Barjo telah mengamatinya sejak Erau tahun lalu. Anak transmigran dari Jawa yang sejak dua puluh tahun lalu dipungut oleh guru tari dari Muara Ancalong itu memang menonjol di tengah puluhan penari lain yang datang dari pedalaman.

Suatu ketika, di atas perahu yang dihanyutkan arus perlahan dalam keremangan, di mana mereka berdekapan, Barjo bertanya.

“Betulkah kau cinta padaku, Retno?”

Langit sungguh-sungguh merah saat itu, bagaikan terbakar.

“Tentu aku cinta sekali padamu, kenapa?”

“Kurasa kamu lebih mencintai suamimu.”

Di antara arus sungai yang mendesis, dalam kesunyian, dan semak-semak menghitam, terdengar perempuan itu tertawa keras, dibawa angin sepan­jang sungai.

“Hahahaha! Barjo! Bagaimana kau tahu? Huhuhuhu!”

Retno tidak menjawab, dan memang tidak pernah menjawab rasa penasaran Barjo. Hanya menarik kepala Barjo, yang segera menggumulinya dengan buas. Dari jauh perahu itu seperti hanyut saja, berputar-putar tanpa pengemudi.

Barjo mengerjapkan mata, dari jauh Retno datang dengan langkahnya yang lentur bagaikan mimpi.

“Kamu kehujanan, Jo?”

“Ya, tapi tidak apa-apa.”

Tetes-tetes air menetes dari pipi dan dagu Barjo. Selintas teringat olehnya wajah Balu yang garang.

“Kau sudah selesai?”

“Sudah, kita pergi?”

“Ke mana? Sekarang masih hujan.”

Tapi Retno telah melangkah keluar serapo, keluar dari halaman museum bekas keraton Kutai itu, berlari-lari dalam hujan.

“Ayo sini, Jo! Antarkan aku!”

“Ke mana?”

“Ayo cepat!”

Barjo pun berhujan-hujan kembali. Mereka berjalan ke dermaga, Barjo menggigil di balik sa’ung-nya yang kuyup. Senja telah turun di Tenggarong, langit gelap mendung, dan air Sungai Mahakam naik sama tinggi dengan lantai papan dermaga. Retno turun mencari ketintingnya.

“Bajingan!” Ia mengumpat, “pasti diambil Balu!”

“Mau ke mana kita? Pakai ketintingku saja.”

“Ke seberang,” jawab Retno.

Dalam hujan dan remang senja itu, Barjo masih menangkap lirikan Retno yang penuh arti. Barjo sudah selalu tahu artinya, dan tidak bertanya-tanya lagi. Di seberang itu ada tempat di mana tak seorang pun mengetahuinya.

“Kita ke tempatku dulu,” ujar Barjo, ketika ketinting itu menyusuri tepi sungai yang besar ombaknya. Pasang dan angin yang menderu tak kunjung berhenti.

Di bawah atap perahu, dalam cahaya lentera yang muram, Retno mengeringkan rambut dan tubuhnya. Ia memeras kainnya yang basah.

“Kupakai sarungmu ya, Jo?”

Barjo tidak menjawab, matanya tajam menatap gelombang yang diakibatkan perahu besar. Ia memegang kemudi.

“Mau apa ke rumahmu dulu?”

“Awas!” Barjo berteriak tiba-tiba. Gelombang besar itu mengangkat perahu Barjo tinggi-tinggi. Retno terkapar karena tak siap, tapi ia hanya tertawa.

Lihat selengkapnya