Saya adalah tukang ketik pada Lembaga Bantuan Hukum Kerajaan Amarta. Pekerjaan saya mengetik pengaduan orang-orang yang merasa diperlakukan tidak adil. Pada suatu hari, duduk di hadapan saya seorang pemuda. Wajahnya memelas. Ia hanya bersandal jepit. Suaranya gemetar. Pakaiannya lusuh sekali.
Pemuda itu bernama Sukab bin Duryat asal Wonogiri. Saya ceritakan peristiwa yang dialaminya kepada Anda:
Dunia dalam Berita baru saja berakhir. Musik penutupnya terdengar sayup-sayup di telinga Sukab yang berdarah. Tapi ia sudah keburu dihajar lagi. Tangan-tangan terkepal dengan jari-jari berbatu akik besar menempeleng wajahnya bertubi-tubi.
Kepala Sukab tersentak-sentak, seperti mau copot dari batang lehernya yang kurus. Darah mengalir dari telinganya. Darah mengalir dari hidungnya. Darah mengalir dari mulutnya. Wajah Sukab sudah bengap.
“Ayo! Mengaku!” teriak seseorang. Sukab menengadah. Matanya hanya melihat bayang-bayang yang baur. Sosok-sosok kekar dalam remang lampu 15 watt. Ia mau mengatakan sesuatu, namun mulutnya tak bisa dibuka, lidahnya macet, bibirnya lengket. Dari matanya yang menyipit karena bengkak, terlihat cahaya kata hati. Namun orang-orang kekar yang jari-jari tangannya dihiasi batu akik itu tak melihatnya dalam kesuraman lampu 15 watt. Sebuah sepatu lars menghajar rahang Sukab, entah untuk beberapa kali. Dari mulutnya hanya terdengar bunyi-bunyi tak jelas. Sukab meludah. Giginya menggelinding di lantai.
“Gigi lagi! Apa mulutmu cuma bisa memuntahkan gigi? Bicara!”
“Iya! Bicara! Seperti kalau kamu membakar massa!”
Setiap kalimat diiringi tendangan. Enam pasang sepatu lars yang masih juga berkilat dalam kesuraman 15 watt bergiliran mendepak Sukab. Sesekali Sukab berteriak kesakitan tapi suaranya tersekat di tenggorokan yang penuh ludah bercampur darah sehingga orang-orang bersepatu lars bercincin akik dan berbaju seragam itu tidak mendengarnya. Orang-orang itu mungkin berpikir tendangan mereka tak cukup keras untuk membuat Sukab mengaduh kesakitan. Maka mereka pun meningkatkan hajarannya.
Beberapa jam sebelum peristiwa ini, Sukab masih asyik merokok di tepi jembatan. Ia berjongkok di atas buk dan mencuci matanya memandang gadis-gadis yang lewat. Sukab selalu berjongkok dan merokok di atas buk pada jembatan kali kecil itu sehabis mandi sore dan rambutnya masih basah karena guyuran air. Gadis-gadis kampung yang juga baru selesai mandi dan lewat di hadapannya membuat pikiran Sukab segar. Kadang-kadang ada di antara gadis-gadis itu, babu-babu dari daerah, berhenti dekat Sukab dan mengobrol sebentar sambil menggendong bayi majikannya. Saat-saat seperti itulah yang dinantikan Sukab, ketika ia mengaduk-aduk semen pada ketinggian seratus meter di atas laut di gedung-gedung tinggi yang belum jadi. Secuil sorga di tengah kehidupan melata. Warni oh Warni, betapa aku selalu menunggumu di jembatan itu. Bau bedakmu yang murahan, kaos oblongmu yang kampungan, dan hidungmu yang pesek menggiurkan, betapa aku rindu padamu Warni, batin Sukab selalu, ketika mengangkut tanah galian, dalam terik matahari membara.
Namun, senja itu bukan Warni yang datang. Sebuah mobil dengan bak belakang terbuka dan ada kursinya yang menyamping tiba-tiba berhenti di hadapannya. Beberapa orang berseragam mendekati Sukab, langsung memborgol kedua tangannya. Belum sempat Sukab bicara, tubuhnya sudah terangkat dan terbanting di bak mobil itu dalam keadaan tertelungkup. Lantas ada sepatu menekan kepalanya dan popor senapan menekan punggungnya. Pada tengkuknya terasa dingin sepotong besi.
“Jangan bergerak, nanti kutembak!” kata seseorang.
Mobil itu segera meluncur. Jalanan yang tidak selalu rata membuat mobil berguncang-guncang. Dan guncangan-guncangan mobil membuat wajah Sukab terantuk-antuk lantai bak mobil dan sepatu di atas kepala Sukab bagaikan godam yang memukulnya bertalu-talu. Rupanya si penginjak kepala itu memang tidak cuma menginjak, ia sesekali menghentakkan kepala Sukab ke lantai setiap kali terangkat ke atas karena guncangan mobil. Wajah Sukab dengan begitu berkali-kali mencium lantai bak mobil.
Pengalaman Sukab selanjutnya, saya ketik seperti ini:
17. Bahwa setelah beberapa lamanya penggugat dibawa berputar-putar di Jalan Dewa Baruna dan daerah Madukara, Kapten Kemala Atmojo kedengaran oleh penggugat berbicara lewat walkie-talkie dengan Komandan Kodim Amartapura, untuk melaporkan bahwa “muatan” sudah dapat dan menanyakan harus dibawa ke mana.