Dunia Sukab

Noura Publishing
Chapter #3

Carmina Burana 10

Sejumlah orang berbondong-bondong deng­an langkah tergesa dengan wajah te­gang dengan pandangan mata bertanya-tanya menuju utara. Langkah mereka yang tergesa, wajah mereka yang tegang, dan pandangan mereka yang bertanya-tanya, mengundang perhatian banyak orang yang berpapasan.

“Ada apa? Kalian mau ke mana?”

“Kami mau ke kota.”

“Untuk apa?”

“Kami mau menentukan pilihan.”

“Pilihan apa?”

“Entah.”

Matahari bersinar dengan dahsyat. Orang-orang menyeringai kepanasan. Keringat mereka ber­leleran. Namun mereka terus saja melangkah dengan tergesa-gesa. Orang-orang yang ber­tanya dan tidak merasa mendapat jawaban yang memuaskan menjadi penasaran dan ikut melang­kah dengan wajah tegang dan pandangan mata bertanya-tanya. Barisan yang makin panjang makin mengundang perhatian banyak orang dan mereka semua ikut melangkah dengan tergesa-gesa menuju ke kota.

Debu mengepul di belakang langkah mereka di sepanjang jalan yang mereka lalui. Itulah mereka. Seorang pegawai negeri berbaju batik. Seorang mahasiswa berkacamata. Seorang anggota angkatan bersenjata. Seorang petani bertelanjang dada. Seorang wanita berjilbab. Seorang penganggur berkepala gundul. Seorang guru berpeci hitam. Seorang peragawan berdasi kembang-kembang. Seorang pengamen yang membawa gitar. Seorang sekretaris berlipstik merah jambu. Seorang bule berambut pirang. Seseorang, seseorang, seseorang, berpuluh-puluh seseorang.

“Mau ke mana?”

“Mau ke kota.”

“Mau apa?”

“Menentukan pilihan.”

“Pilihan apa?”

“Entah.”

Dan barisan yang berbondong-bondong itu bertambah panjang. Sebuah helikopter mengikuti mereka dari udara. Dan seorang intel telah diselundupkan di antara mereka. Secara berkala ia melaporkan pandangan dan pendengaran lewat HT yang selalu dipegangnya kepada ia punya koman­dan entah di mana.

Dari jauh, sayup-sayup telah terdengar gemuruh suara kota.

Kota yang kumuh itu tenggelam dalam suara tambur dan yel-yel membahana. Di jalan-jalan kota ratusan truk beriringan mengangkut ribuan orang. Orang-orang di atas truk itu berseragam, berkacamata hitam, berikat kepala, dan berteriak teriak dengan beringas sambil mengacung-acungkan tinju.

“Hidup Sarman! Hidup Sarman! Hidup Sarman!”

Di tepi jalan orang-orang menonton. Di samping truk-truk itu ratusan sepeda motor merambat pelan sambil meraung-raung melambaikan bendera-bendera, panji-panji, dan spanduk-spanduk. Po­tret-potret Sarman dalam ukuran besar diacung-acungkan orang sambil meneriakkan yel-yel.

Di sudut-sudut jalan orang mendirikan pang­gung dan tenda. Di atas panggung itu seorang ahli pidato meluncurkan kata-kata dengan bersemangat, yang selalu diakhiri dengan sorakan dan yel-yel gegap gempita. Di jalanan, di lapangan, maupun di jendela gedung-gedung bertingkat, orang-orang menonton dengan berseri-seri sambil melambaikan tangan.

Dari atas truk-truk mereka yang berkacamata hitam dan berikat kepala dan berkaos oblong seragam bergambar Sarman melambai-lambaikan bendera dan tangannya pada orang-orang di tepi jalan, di lapangan, dan di jendela gedung-gedung bertingkat.

“Pilihlah Sarman. Dialah citra kebahagiaan, yang melejit dari ruang keabadian, datang padamu untuk memberi pencerahan. Pilihlah Sarman! Hidup Sarman!”

Orang-orang bernyanyi sepenuh jiwa. Langit di atas kota penuh dengan kata-kata.

“Hidup Sarman!”

“Hidup!”

“Hidup Sarman!”

“Hidup!”

“Hidup Sarman!”

“Hidup!”

Konvoi truk-truk seperti tidak ada habisnya. Kadang-kadang salah satu truk itu mogok sehingga barisan jadi kacau. Di atas kap truk itu kadang-kadang terlihat usaha menarik perhatian dengan segala cara. Seorang lelaki gundul dan bertelanjang dada. Ia jungkir balik di atas kap truk itu tanpa rasa takut. Dan orang-orang bersorak memuji tingkah lakunya. Atau seorang wanita cantik berjoget dengan pakaian berkilat-kilat. Keringatnya pun berkilatan dalam semprotan cahaya matahari. Tapi orang-orang tidak peduli matahari.

Orang-orang telah kehilangan dirinya sendiri. Menjadi entah apa. Entah untuk apa.

Dari pengeras suara entah di mana, terdengar nyanyian yang serak, yang diikuti orang-orang di atas truk dan di atas sepeda motor dan berkacamata hitam dan berikat kepala, sehingga tak pernah jelas siapa mereka sebenarnya.

Rakyat jelata menonton di tepi jalan sebagai hiburan. Sebagai selingan hari-hari mereka yang tak pernah diperhitungkan. Anak-anak kecil berlarian di tepi truk-truk membawa bendera-bendera kertas yang kecil. Udara penuh asap dari knalpot. Dari mimbar-mimbar terus terdengar kata-kata dahsyat tanpa cacat. Suaranya keras sekali.

Orang-orang dari luar kota menonton semua peristiwa itu tanpa kata-kata. Mulut mereka terbuka dan mata mereka bertanya-tanya.

Masih terdengar suara tambur dan yel-yel di alun-alun utara. Bendera-bendera raksasa ber­ke­lebatan bersama datangnya senja.

***

Sebuah warung di sebuah kampung. Lampu petromaks menyala terang. Orang-orang minum kopi, melahap pisang goreng, menyulut rokok, dan mulai bercakap-cakap.

Lihat selengkapnya