Siang di pertengahan Oktober 1966, terik matahari di atas kota kecil itu begitu menyengat. Di tanah lapang sebuah pabrik logam ratusan orang lelaki dan perempuan kulit tubuhnya nyaris terbakar oleh sengat matahari. Sudah beberapa hari, sejak pagi mereka dijemur. Kulit mereka gosong, nyaris terkelupas. Tangan dan kaki diikat kencang dengan tali dari serat buah kelapa. Mereka meronta kehausan, medesah kelaparan, persis seekor anjing kurap yang mengerang. Sementara para tentara berjaga mengawasi para tahanan dengan tatapan tajam. Sekejappun tak pernah lengah.
Saat malam tiba, sebagian dari para tahanan itu diangkut dengan truk menuju ke jembatan Sungai Ketiwon. Seperti malam ini. Sebuah truk berhenti persis di atas jembatan Sungai Ketiwon. Malam itu gerimis masih turun membasahi aspal dan jalan setapak di atas bantaran sungai. Di kanan-kiri jalan setapak itu penuh semak dan pepohonan liar. Jalanan aspal yang menuju ke Semarang, sudah tak terlihat kendaraan yang lewat. Malam terasa benar begitu sepi dan senyap. Sesekali terdengar gonggongan anjing dari kejauhan.
Kesenyapan malam itu pecah oleh suara pintu truk yang ditarik pengaitnya, diikuti suara hentakan benturan daun pintu pada bodi bak truk; Brakkk!!! Tak lama, terdengar suara perintah, “Semua turun! Cepat!”
Para tahanan laki-laki dan perempuan yang telah diikat tangannya turun dengan langkah terburu-buru, menghindar tendangan sepatu laras dua tentara yang berdiri di atas bak. Ada seorang tahanan yang terjungkal dari atas bak. Kepalanya membentur aspal. Ia meronta kesakitan.
“Berdiri!” bentak tentara lain sambil menendang punggungnya.
Ia berdiri menahan sakit, berusaha berjalan mengikuti tahanan lain yang sudah berjalan di atas bantaran sungai. Tubuh mereka basah oleh gerimis yang sejak sore mulai turun.
Langkah para tahanan dihentikan di sebuah tanah lapang penuh semak belukar, tak jauh dari Sungai Ketiwon. Hamparan tanah itu sepi, tak nampak satupun bangunan rumah. Para tahanan kini dibariskan. Wajah mereka penuh kecemasan. Bayangan kematian meresap di dalam kepala mereka. Seorang tentara memerintahkan dengan lantang kepada para tahanan untuk menggali lubang tanah di hadapan mereka dengan ukuran tak jauh berbeda dengan liang kubur.
Dengan sisa tenaga yang masih ada, mereka menjalani perintah itu. Usai menggali lubang, mereka diperintah membawa batang pohon pisang yang yang sudah disiapkan oleh para tentara. Lalu mereka dibariskan kembali, berdiri di depan lubang yang mereka gali sendiri. Dua tentara mendekat ke barisan tahanan. Satu demi satu mata para tahanan diikat dengan kain warna hitam. Suara isak tangis, ratapan menyayat hati, suara menyebut-sebut nama Tuhan, dan doa-doa terdengar dari mulut para tahanan. Mereka tahu, kematiannya sudah di depan mata. Sesaat lagi hidup mereka akan berakhir.
Sementara itu, regu tembak sudah berdiri tegap hanya beberapa meter di depan barisan tahanan.
“Kokang senjata!” perintah komando regu tembak dengan lantang.
Dengan gerakan cepat senjata dikokang. Bidikaan bedil mereka kini diarahkan pada titik sasaran tembak; di jantung para tahanan.
“Tembak!!!”
“Dorrr.....!!!”
Suara tembakan menggema di atas tanah lapang penuh semak. Memecah kesenyapan malam. Tubuh tahanan berjatuhan, roboh ke dalam lubang yang mereka gali sendiri. Lalu para tentara segera menutup tubuh yang telah meringkuk di dalam liang itu dengan batang-batang pohon pisang. Entahlah, mengapa para tentara itu menutupinya dengan batang pohon pisang. Mungkin untuk mengelabuhi bahwa di bawah tanah lapang bersemak belukar itu, tak pernah terjadi apa-apa.