Dunia Sunyi Muaramerah

Ubaidillah
Chapter #1

1. Sebuah Pelarian

Dusun Muaramerah sudah lama terabaikan. Dicampakkan dari denyut kehidupan kota kecilnya. Dusun itu dikepung oleh pantai, hamparan tanah penuh belukar, sungai, dan sebuah muara yang jadi akhir perjalanan arus Sungai Ketiwon. Pantainya tak jauh dari hamparan tambak. Deretan perahu kecil tertambat di tepian muara. Sebelum matahari rekah di ujung Timur, perahu-perahu itu sudah melaut. Para nelayannya akan mengadu nasib di atas hamparan ombak dengan cantrang, sejenis jaring trawl. Saat matahari mulai condong ke Barat, perahu-perahu itu mulai bersandar di muara. Para nelayan akan membawa hasil tangkapan, menjualnya di tempat pelelangan kecil.

Tak banyak penghuni di dusun yang sepi dan miskin itu. Hanya belasan rumah yang berderet dengan bentuk yang amat sederhana. Kebanyakan berdinding papan kayu yang sudah buram warnanya. Bila malam tiba, dusun itu bagai disekap gelap dan angin dingin dari pantai. Meskipun sudah ada aliran listrik, namun tetap saja dusun itu terlihat gelap. Sebab, jaringan listrik yang tersalur di setiap rumah hanya dua atau tiga titik lampu. Kebanyakan dihubungkan dari rumah terdekat. Orang-orang Muaramerah memang miskin dari dulu. Itu bukan karena mereka malas. Mereka orang-orang yang tabah dan berani menghadapi hidup. Mereka tak pernah mempermasalahkan keadaan dan nasibnya.

Di sebelah Timur dusun itu mengalir Sungai Ketiwon yang cukup luas. Airnya begitu tenang menuju muara. Saat matahari mulai naik, biasanya akan terlihat segerombolan ikan jambrung di tepian sungai yang saling berkejaran. Sesekali ikan kakap berkecipak di atas air memburu udang sungai. Burung-burung pemangsa ikan bertengger di ranting-ranting pohon bakau yang tumbuh subur di sepanjang bantaran sungai. Matanya tajam mengawasi ikan yang mengapung di atas arus. Di atas sungai burung alap-alap meluncur lincah ke sana ke mari. Sesekali menukik ke sungai dan menyambar mangsa yang terapung di atas air sungai.

Dalam kesunyiannya, sungai itu banyak meyimpan kisah kelam orang-orang Dusun Muaramerah. Ratusan, bahkan ribuan kisah yang datang dan pergi begitu saja. Seperti daun bakau yang jatuh di tepi sungai. Namun orang-orang Muaramerah tak pernah mempermasalahkannya. Memang begitulah hidup mereka. Sudah tak diperdulikan lagi. Untung saja masih bisa hidup. Bagi mereka hidup dengan cara menyatu dengan alam sudahlah cukup. Sejak lahir dan mulai belajar berjalan mereka sudah hidup dengan laut, pantai, tambak, sungai, ikan, dan udang. Berpuluh-puluh tahun lamanya, keadaan dusun dan orang-orang Muaramerah tak pernah berubah. Masih saja seperti itu keadaannya. Terpencil dan tak pernah tersentuh oleh pembangunan desa. Adanya seperti tak ada.

Dulu, saat peristiwa kelam dalam sejarah bangsa ini, Muaramerah adalah kuburan besar yang kemudian sengaja dilenyapkan penguasa. Saat peristiwa itu ada penangkapan ribuan orang di kota kecil itu oleh para tentara pada mereka yang dituduh terlibat sebuah partai yang kini dilarang negara. Dituduh dengan cara yang serampangan. Mereka disekap dan kerap disiksa di sebuah pabrik lalu diangkut menggunakan truk. Kedua tangan dan mata mereka juga diikat dengan kain warna hitam. Mereka diturunkan di dekat jembatan Ketiwon. Dengan mata dan tangan terikat mereka dipaksa berjalan di atas bantaran Sungai Ketiwon. Regu tembak dari satuan tentara di kota kecil ini sudah berdiri menunggu mereka. Persis di hadapan regu tembak, para tahanan itu dihentikan. Saat suara komando perintah tembak terdengar, bunyi bedil otomatis dari regu tembak memecah keheningan Sungai Ketiwon. Tubuh yang penuh darah oleh tembusan peluru-peluru panas berjatuhan, lalu diseret dan dilempar ke sungai. Tubuh dingin mereka terapung-apung terbawa arus sungai Ketiwon hingga ke muara yang memerah.

Begitu pula yang terjadi di atas hamparan tanah di tepian rawa itu. Hukuman tembak bagi mereka yang dituduh terlibat dalam partai terlarang itu pun dilakukan di sana. Sebelum hukuman tembak itu dilakukan, para tahanan dipaksa menggali tanah dengan ukuran cukup lebar. Setelah galian tanah dibuat, mereka diperintahkan untuk membawa batang-batang pisang yang sudah disiapkan oleh para tentara ke dekat galian tanah. Mata, tangan, dan kaki mereka kembali diikat dan dibariskan di pinggir lubang-lubang besar yang telah mereka gali.

Dalam waktu yang tak lama, komando regu tembak berteriak. Dalam hitungan sekian detik saja, tubuh para para tahanan berjatuhan ke dalam lubang besar itu. Lubang besar itu menjadi kuburan massal mereka sendiri. Di atas tumpukan tubuh batang-batang pisang dilempar-lemparkan begitu saja oleh para tentara. Seolah untuk mengelabuhi bahwa di tanah yang kini penuh semak belukar itu tak pernah terjadi apa-apa. Hingga di kemudian hari hamparan tanah itu menjadi sebuah dusun. Dusun Muaramerah.

 

***

 

Senja mulai turun. Merahnya makin lama bagai tembaga. Namun di senja itu Mbah Kus belum beranjak dari duduknya, masih menunggui Hikam, cucu satu-satunya, dan Somari, teman akrab Hikam. Mereka berdua tengah mengelilingi tambak semabri menaburkan pelet pakan ikan di tambak Mbah Kus. Ribuan ikan bandeng berkecipak berebut butir-butir pelet. Suaranya mememcah kesunyian yang merambati hamparan tambak dan daun-daun pohon bakau. Begitu kebiasaan Mbah Kus setiap sore, saat senja mulai memerah.

Lihat selengkapnya