Hari-hari selanjutnya, kehidupan dalam rumah Hikam bagai sunyi yang merayap dalam pikiran dan perasaan mereka. Ibunya, kakeknya, juga Hikam sendiri yang tak mau lagi bermain bersama anak-anak sebaya di sekitar rumahnya. Dia lebih sering menyendiri di tepi sungai. Duduk di pematang yang ada di pinggir sungai, atau di atas gethek sembari menunggu senja lenyap. Ingin rasanya dia pergi dari rumahnya. Tapi dipikirnya percuma. Buat apa pergi kalau cuma sebentar lalu kembali ke dusunnya lagi. Kalau mau pergi ya pergilah yang punya harapan. Pergi bukan menjadi pecundang keadaan yang membuat dirinya bebas berbuat apa saja, lalu hanya menjadi sampah di pinggir jalan.
Hikam kini bagai dihantui oleh pikiran bapaknya seorang garong. Pikiran itu membuatnya selalu merasa kesepian dan melemahkan daya hidupnya. Apalagi emaknya, yang di kemudian hari baru tahu kalau di Jakarta suaminya juga punya isteri dan seorang anak. Dia amat terpukul. Bahkan lebih menyakitkan dari kenyataan kalau suaminya ternyata seorang garong. Itu sebabnya, emaknya mengajukan perceraian.
“Mengapa Emak tega menceraikan Bapak? Bukankah itu makin membuat sakit hati Bapak di dalam penjara?” tanya Hikam pada Emaknya.
“Hikam. Kalau Emak dibohongi ternyata Bapakmu seorang garong, Emak masih bisa terima. Tapi kalau Emak masih dibohongi lagi dengan adanya wanita lain, Emakmu sudah tak kuat menahan sakit hati. Dan pasti Bapakmu juga harus mau menerima keputusan Emak,” jawab Rumaenah pada suatu malam sebelum mereka tertidur.
Hikam diam. Rumaenah melihat Hikam yang masih berpikir keras sambil berbaring di atas amben.
“Pada awalnya, bapakmu baik-baik saja di Jakarta. Meskipun gaji dari buruh pabrik tak seberapa. Emak menerima dengan senang hati dan tak pernah mengecilkan uang pemberian dari Bapakmu. Makanya Emak kaget dan tak percaya kalau bapakmu dibilang seorang buronan polisi. Setelah Emak tahu kalau bapakmu juga punya isteri dan anak lagi di Jakarta, barulah Emak bisa mengerti. Emak berpikir kalau beban kebutuhan yang berat itulah yang menyebabkan bapakmu terpaksa harus mencari penghasilan lain. Ya dengan menggarong itu. Dengan itu bapakmu bisa mendapat uang banyak dan membahagiakan dua orang isteri. Tapi langkahnya salah. Salah sejak dia kawin lagi. Makanya, untuk meringankan beban hidup bapakmu, biar saja dia memilih dengan isteri barunya saja. Biarlah aku di sini berjuang untuk membesarkan kamu.”
“Kok Emak tahu?”
“Bapakmu sendiri yang bilang waktu Emak menemuinya di penjara.”
“Terus bilang apa lagi?”
“Dia menyampaikan pesan buat kamu.”
“Apa pesannya?”
“Bapakmu bilang minta maaf sama kamu karena tidak bisa menjadi seorang bapak yang baik buat kamu.”
“Terus?”
“Bapakmu bilang suapaya kamu jadi anak yang baik. Bisa menjaga Emak agar kelak jadi orang yang baik.”
“Kalau begitu, Hikam biar pergi ke luar kota saja, Mak.” pinta Hikam pada Emaknya.
“Kenapa harus pergi?”
“Ingin sekolah.”
“Di sini juga banyak sekolah.”
“Tidak mau.”
“Kenapa?”
“Hikam malu, Mak.”
“Ya sudah. Tapi nanti tergantung kakekmu. Emak tak punya uang buat menyekolahkanmu di luar kota.” Rumaenah beranjak pergi meninggalkan anak satu-satunya.
Hikam kini tak pernah terlihat lagi bersama teman-teman di sekitar rumahnya. Somari dan Kusnali juga sudah tak pernah menemuinya lagi. Hikam lebih sering ke petak tambak dengan kakeknya hanya untuk menghindar dari rasa malu pada orang-orang Muaramerah. Hidupnya bagai dipenjara oleh perasaan malu. Kakeknya pun merasakan bagaimana sikap cucunya yang tak lagi seperti dulu sebelum bapaknya dipenjara. Memahami perasaannya saat harus berhadapan dengan orang-orang sekitar rumahnya.
“Kau ingin melanjutkan sekolah di luar kota?” tanya kakeknya saat duduk bersama Hikam di tepi tambak.