Dunia Sunyi Muaramerah

Ubaidillah
Chapter #2

2. Pelarian

Tiga bocah lelaki berenang di sungai, saling berkejaran, menyelam, lalu kembali muncul ke permukaan air. Semua tertawa lepas tanpa menyadari seonggok tubuh bayi hanyut terbawa arus sungai. Tali pusarnya masih menjuntai. Sepertinya bayi itu dilempar begitu saja ke sungai usai keluar dari rahim ibunya. Segerombolan ikan kecil berebut menggerogoti daging lembek di bawah kulitnya yang pucat. Baunya amis. Di langit, senja berwarna lembayung. Kawanan burung bangau terbang kepakkan sayap, berenang di atas angin yang membawa kesunyian dari Dusun Muaramerah.

***

Dusun Muaramerah sudah lama diabaikan. Dicampakkan dari denyut kehidupan kota kecilnya. Angin masa lampau yang menakutkan selalu saja dihembuskan. Menerpa setiap dedaunan dan ranting-ranting kering pohon bakau. Dari musim ke musim selalu saja sama. Tak ada harapan sebagaimana akar pohon bakau yang begitu kuat mencengkram jalan hidupnya. Harapan hanyalah kisah yang dibawa angin pantai saat senja mulai memerah keemasan. Itu sebabnya dusun itu terasa sepi dan akan terus terasa sunyi.

Dusun yang miskin itu dikepung oleh pantai, hamparan tanah penuh belukar, sungai, dan sebuah muara yang jadi akhir perjalanan arus Sungai Ketiwon. Pantainya tak jauh dari hamparan tambak. Deretan perahu kecil tertambat di tepian muara. Sebelum matahari rekah, perahu-perahu itu sudah melaut, mengadu nasib di atas hamparan ombak. Saat matahari mulai condong ke Barat, perahu-perahu itu mulai bersandar di tepi muara membawa hasil tangkapan.

Tak banyak penghuni di dusun yang sepi dan miskin itu. Hanya belasan rumah yang berderet dengan bentuk yang amat sederhana. Kebanyakan berdinding papan kayu yang sudah buram warnanya. Bila malam tiba, dusun itu bagai disekap gelap dan angin dingin dari pantai. Meskipun sudah ada aliran listrik, namun tetap saja dusun itu terlihat gelap. Sebab, jaringan listrik yang tersalur di setiap rumah hanya dua atau tiga titik lampu yang bersumber dari sebuah genset tua. Jaringan listrik itu dihubungkan dari rumah ke rumah. Orang-orang Muaramerah memang miskin dari dulu. Itu bukan karena mereka malas. Mereka orang-orang yang tabah dan berani menghadapi hidup. Keberadaan merekalah yang membuat mereka tak pernah mempermasalahkan keadaan dan nasibnya.

Di sebelah Timur dusun itu mengalir Sungai Ketiwon yang cukup lebar. Airnya begitu tenang menuju muara. Saat matahari mulai naik, biasanya akan terlihat segerombolan ikan jambrung berkejaran di tepian sungai. Sesekali ikan kakap berkecipak di atas air memburu udang sungai. Burung-burung pemangsa ikan bertengger di ranting-ranting pohon bakau yang tumbuh subur di sepanjang bantaran sungai. Matanya tajam mengawasi ikan yang mengapung di atas arus. Di atas sungai burung alap-alap meluncur lincah ke sana ke mari. Sesekali menukik ke sungai dan menyambar mangsa yang terapung di atas air sungai.

Dalam kesunyiannya, sungai itu banyak meyimpan kisah kelam orang-orang Dusun Muaramerah. Ratusan, bahkan ribuan kisah yang datang dan pergi begitu saja. Seperti daun bakau yang jatuh di tepi sungai. Memang begitulah hidup mereka. Sudah tak diperdulikan lagi. Untung saja masih bisa hidup. Bagi mereka hidup dengan cara menyatu dengan alam sudahlah cukup. Sejak lahir dan mulai belajar berjalan mereka sudah terbiasa hidup dengan laut, pantai, tambak, sungai, ikan, dan udang. Berpuluh-puluh tahun lamanya, keadaan dusun dan orang-orang Muaramerah tak pernah berubah. Masih saja seperti itu keadaannya. Terpencil dan tak pernah tersentuh oleh pembangunan desa. Adanya seperti tak ada. Kebusukan kekuasaan politik yang telanjang dan tetap terabaikan. Entah sampai kapan.

***

Senja mulai turun di awal April 2007. Merahnya makin lama bagai tembaga. Namun di senja itu Kusnali, yang sering dipanggil Mbah Kus,  belum beranjak dari duduknya, masih menunggui Hikam, cucu satu-satunya, dan Somari, teman akrab Hikam. Mereka berdua tengah mengelilingi tambak semabri menaburkan pelet pakan ikan bandeng di tambak Mbah Kus. Ribuan ikan berkecipak berebut butir-butir pelet. Suaranya mememcah kesunyian yang merambati hamparan tambak dan daun-daun pohon bakau. Begitu kebiasaan Mbah Kus setiap sore, saat senja mulai memerah.

Usai memberi pakan terbesit dalam pikiran Hikam untuk pergi ke sungai. Hikam meletakkan ember tempat pelet di bantaran tambak, lalu menarik tangan Somari sembari mengajaknya berlari.

“Ke sungai dulu, Mbah!” Seru Hikam sambil berlari.

“Hati-hati....!”

Lihat selengkapnya