Komariah berdiri dengan wajah lesu, masuk ke dalam rumah. Somari hanya terdiam. Tak ada lagi yang bisa diungkapkan untuk menenangkan pikiran kakak iparnya. Hujan masih cukup lebat. Kedua kaki Somari makin terendam air.
Tiba-tiba Somari dikejutkan oleh suara lirih anak lelaki kecil. “Emak mana, Lik?” Warji memudarkan lamunan Somari.
“Tadi masuk. Di dapur mungkin, Ji.”
Warji bingung melihat halaman rumah yang banjir. “Banjirnya besar, Lik?!”
“Iya, Ji.”
“Aku ke sekolahnya bagaimana, Lik?”
“Tidak usah berangkat dulu. Air sungainya sudah meluap.”
Warji cemas. Sebab tugas membuat topeng dari kertas harus dikumpulkan hari itu.
“Hari ini tugas membuat topeng harus dikumpulkan, Lik. Aku takut nanti Pak Kholis marah-marah lagi.”
“Tidak apa-apa. Pasti Pak Kholis tahu kalau rumhmu sedang terkena banjir. Dan lagi air sungai sudah meluap hingga di atas bantaran. Itu sangat berbahaya kalau ada gethek yang melintas. Kamu bisa terbawa arus sampai laut nanti!”
“Tapi....”
“Tidak usah membantah! Lihat hujannya juga masih deras!”
Warji kecewa. Giginya berdecit. Umnya sudah dianggap bodoh. Tidak tahu bagaimana kalau Pak Kholis marah. Dengan mendongkol segera dia melangkah ke dalam. Dilihatnya wajah bapaknya yang terbaring dengan matanya yang terbuka, namun tak berdaya. Warji mendekat ke amben, lalu duduk di samping bapaknya. Dalam hatinya sangat berharap agar bapaknya bangun, lalu mengantarnya pergi ke sekolah agar dia bisa menyerahkan tugas membuat topeng. Warji hanyut dalam perasaan yang senyap. Air matanya hampir jatuh di sudut-sudut matanya.
Angin bercampur serpihan air dengan kencang menerpa ke dalam rumah. Hujan terdengar makin deras. Warjipun bangkit dan melangkahkan kakinya menuju ke kamarnya, mengambil topeng yang dia letakkan di samping bantal tidurnya. Topeng yang dibuat dari bubur kertas itu dilihatnya dengan tatapan penuh bangga. Sebab sudah dibuatnya sejak lima hari yang lalu dengan amat hati-hati. Sehalus mungkin. Dalam hatinya berharap Pak Kholis akan memuji hasil karyanya.
Tak lama kemudian dia melangkah ke dapur. Dilihat emaknya yang sedang merebus sesuatu di atas tungku. Dia duduk di sisi pintu yang menuju ke dapur. Topeng itu diletakkan di sampingnya. Diperhatikan emaknya yang tertegun menatap api dari ranting-ranting kering yang membakar panci di atas tungku.
“Mak.”
“Eh, Ji. Sudah bangun? Mandi sana!”
“Nanti.”
Asap yang mengepul dari tungku makin tebal menutup cahaya remang di dapur. Hanya semburat cahaya dari api pada kayu-kayu yang terbakar di tungku saja yang membuat wajah Komariah masih sedikit terlihat.
“Mak.”
“Ya, Ji.”
“Banjirnya tambah besar. Pasti tambak kita sudah kebanjiran ya, Mak?”
“Iya, Ji. Sudah rata dengan bantaran tambak.”
“Terus bagaimana, Mak?”
“Ya sudah. Lenyap semuanya.”
Pikiran Warji kembali kacau. Tak tahu apa yang harus dipikiran. Yang dia tahu kalau ikan di tambak adalah sumber rejeki keluarganya. Bila banjir telah menenggelamkan tambakya, itu artinya dia bakal hidup lebih susah. Emaknya pasti akan lebih sering terlihat murung. Sedih dan menangis.