Dunia Sunyi Muaramerah

Ubaidillah
Chapter #4

4. Hujan yan Menderas di Matanya

Tujuh belas tahun kemudian.

 

Setiap kali hujan turun akan ada kisah hidup manusia dengan alamnya. Seperti di pagi ini yang mulai berangsut. Sejak menjelang subuh, hujan masih juga belum reda. Orang-orang di Dusun Muaramerah makin panik lantaran air rob juga semakin tinggi. Bila saja hujan tak juga reda di siang ini, tambak-tambak mereka bakal tenggelam. Semua akan rata oleh air. Semua akan menjadi bencana bagi kehidupan orang-orang Muaramerah. Mereka akan kehilangan ikan dan udang yang sudah beberapa bulan mereka pelihara. Tambak adalah nafas kehidupan mereka. Ya, tak lama lagi kampung itu bisa saja lenyap bila saja air rob terus bergerak naik dan deras hujan di siang nanti tak juga reda.

Di pantai ombak bergulung-gulung. Berdentuman. Hitam pekat. Langit kusam warnanya. Deretan perahu di tepian muara masih banyak yang tertambat. Tak ada satupun nelayan yang nekat menembus pantai yang sudah riuh oleh dentuman ombak. Angin kencang dan basah memain-mainkan dedaunan pohon cemara udang di sepanjang pantai dan pohon-pohon bakau di tepian tambak-tambak dan di sepanjang tepi sungai yang diam-diam menyimpan banyak kisah kelabu. Sungai itu membelah sepanjang Dusun Muaramerah.

Pantai jadi begitu senyap, hanya berisik oleh desiran dedaunan yang dikoyak angin pantai yang jalang. Begitu juga sungai itu. Tak ada seorangpun yang menjalankan perahu atau gethek di atasnya. Tak seperti biasanya. Hujan lebat dan luapan sungai membuat orang-orang lebih memilih berdiam diri di rumah. Setidaknya untuk mencari ketenangan, meskipun ancaman terus membayang-bayangi hidup mereka.

Di atas hamparan ladang-ladang tambak, sunyi dan senyap menyelimuti derai hujan yang masih lebat. Derasnya membuat bibir air tambak makin naik seinci demi seinci. Tak terasa tinggal sejengkal lagi air di tambak akan tumpah menyatu dengan tambak-tambak yang lain. Dan tak lama setelah itu, hamparan ladang-ladang tambak itu akan jadi hamparan air yang menikam kehidupan para petambak.

Dari jendela rumahnya yang tak jauh dari tambak, Komariah masih tertegun melihat alam yang tak pernah tuntas untuk bisa dipahami. Hujan lebat yang tak kunjung reda, sempurna membuat hidupnya makin terancam. Dan Komariah terlalu lemah. Nyaris tak berdaya untuk bisa bertahan menghadapinya.

Komariah melangkahkan kaki. Dibukanya pintu depan dengan amat malas. Di teras rumah dia makin jauh menatapi air yang menggenangi halaman rumah dan jalanan. Rimbun dedaunan pohon bakau terombang-ambing dipermainkan angin. Dilihatnya Somari adik iparnya yang tinggal di sebelah rumah sedang duduk tertegun di atas lincak  di teras rumah. Wajahnya penuh bimbang dan cemas.

“Somari! Ke tambak sana! Lihat keadaan robnya!” seru Komariah menembus bising air hujan yang bercampur angin.  

“Percuma, Yu! Hujan masih lebat. Lihat saja itu air di saluran! Sudah meluap ke jalan.”

“Sudahlah, lihat saja sana! Lihat seperti apa keadaannya!” Komariah setengah berteriak. “Ayo!” Teriaknya dengan nada lebih tinggi lagi.

Melihat wajah Komariah, Somari merasa harus menurutinya. Dia bangkitkan punggungnya yang tersandar pada dinding. Kedua kakinya diturunkan dari lincak, lalu dengan malas dia berdiri. Diambilnya topi caping yang dicantelkan pada dinding teras. Somari berjalan dengan cepat menembus guyuran hujan. Tak lama Somari telah hilang dari pandangan Komariah. Lenyap di tengah rimbun pepohonan.

Komariah mengalihkan pandangannya pada saluran air yang makin meluap ke atas jalan di depan rumahnya. Wajahnya makin cemas. Pikirannya kacau. Badannya makin lemas. Ditatapnya rimbun pepohonan yang masih diombang-ambingkan angin dari pantai. Bunyi deras air hujan masih saja terasa memekakan telinga. Jalanan sunyi. Perkampungan juga terasa sepi. Seperti tak ada tanda-tanda kehidupan. Komariah melangkah malas memasuki rumah.

____________

 lincak: kursi kayu, biasanya tanpa sandaran.

Lihat selengkapnya