Malam di jalan-jalan kecil Dusun Muaramerah bagai jalan menuju lorong gua batu. Sunyi dan gelap. Begitu sejak dulu. Sejak peristiwa kelam yang menenggelamkan rasa kemanusiaan di negeri ini. Entah sampai kapan mereka yang hidup di dusun itu merasa tak ubahnya hidup di alam barzah. Masih beruntung bila ada bulan atau saat langit cerah tanpa mendung, penuh bintang bertaburan. Rimbun dedaunan pohon bakau bagai deret raksasa hitam yang meliuk-liukkan tubuhnya. Hamparan ilalang hanya kegelapan yang purba. Semua terasa sunyi.
Usai banjir menenggelamkan Warji dan hamparan tambak, dusun itu kian jadi senyap. Bahkan terasa lebih mencekam. Usai maghrib lewat, tak ada seorangpun yang mau duduk-duduk di teras-teras rumahnya. Apalagi sejak sore hari angin bertiup kencang membawa hawa dingin dari pantai.
Duka masih mengoyak perasaan Komariah. Semua rasa bagai lenyap ditelan kedukaan. Sejak kepergian Warji, Komariah telah kehilangan air matanya. Jiwanya melayang bagai sepotong kapas yang terbawa angin. Air mata sudah tak lagi bisa mencurahkan perasaannya. Kini dia hanya bisa berkidung, menyanyikan jiwanya. Sembari berbaring di sisi tubuh suaminya, atau kadang sembari menatap keluar dari balik jendela. Suaranya amat pelan, halus, dan begitu sunyi.
Sesaat Komariah menghentikan nyanyiannya. Dari dalam rumah, sedari tadi Somari turut larut dalam nyanyian Komariah. Perasaannya terbawa dalam kesunyian yang menyelimuti kedukaan. Di luar, gelap telah sempurna membungkus malam. Dari kejauhan debur ombak sayup terdengar. Komariah kembali lagi berkidung dengan tempo dan nada yang sama. Halus, pelan, dan begitu senyap.
Jeriting panandhang oh Gustiku
Suworo tangis kang kelayung
Trenyuh sak jroning ati
Angadhepi pacoban iki
Manungsa tan bisa anyelaki
Pepati kang nggegirisi
Titah tanpa daya
Angadepi pacoban iki
Aduh Gusti amung pasrah ing pesthi
Aku percoyo langit tan mendhung
Ilang tangis kang melung-melung
Gusti mesthi bakal mungkasi
Surya sumunar hamadangi
Urip kang sayekti Jagad anyar kang dumadi.
Nyanyian itu merayap perlahan menjalari malam di Dusun Muaramerah. Terbawa angin dingin yang menyelinap di sela-sela dinding papan rumah-rumah.
“Komariah sedang menangis,” ujar seorang wanita dari dalam rumahnya.
“Iya, Kasihan. Hidupnya selalu dirundung kesedihan,” jawab lelakinya yang tengah duduk di atas lincak. Tangannya dihangatkan pada cangkir kopi yang dipeganginya. Telinganya dipasang tajam menyerap suara sayup-sayup nyanyian duka Komariah.
Komariah masih melantunkan nyanyian dukanya. Meskipun pelan namun terdengar cukup jelas. Somari yang sejak tadi tertegun, kini melangkahkan kaki menuju ke rumah Komariah. Sarungnya dia naikkan di punggung. Dalam gelap Somari melangkah sembari memasang tajam kedua telinganya. Nyanyian Komariah makin terdengar jelas. Sesampai di depan pintu rumah Komariah, Somari tak segera mengetuknya. Dia berdiam diri. Membiarkan Komariah menyelesaikan nyanyiannya.
Sesaat senyap. Komariah tak lagi terdengar suaranya. Angin dari pantai berhembus makin kencang. Komariah membetulkan selimut yang menutupi tubuh suaminya.
“Yu!”
Suara Somari terdengar jelas di telinga Komariah. Segera saja dia turun dari amben menuju pintu depan dan dibukanya sedikit. Sebagian wajah Somari nampak oleh cahaya remang lampu dari dalam rumah Komariah. Wajahnya dingin menatap Komariah.
“Sudah mulai larut. Berhentilah menyanyi.”
Komariah tertunduk lalu perlahan pintu dibukanya lebih lebar. Somari melangkah masuk. Dilihat tubuh Sobari yang tak berdaya di balik selimut. Angin kencang memasuki ruang depan rumah Komariah. Pintu segera ditutup rapat-rapat. Somari melangkah lagi, duduk di sebelah tubuh kakaknya. Wajah Sobari makin terasa pucat dan makin kurus. Napasnya makin lemah, matanya masih juga belum mau tertutup. Tak pernah pula bisa berkedip.
“Kang Sobari sudah disuapi, Yu?” tanya Somari menyibak senyap yang muncul di dalam ruang remang-remang rumah kakaknya.
“Sudah. Cuma pakai pisang,” jawab Komariah dengan suara teramat pelan. Dia duduk di kursi yang ada di sisi amben.
“Tak apa-apa. Yang penting ada sesuatu yang masuk di perutnya.”
“Iya, Som.”