Kematian Rakim tak hanya meninggalkan duka, namun juga menebar aroma ketakutan yang terbawa angin hingga ke dalam sudut-sudut rumah orang-orang Dusun Muaramerah. Itu sebabnya tak banyak orang yang mau memperpanjang soal kematian Rakim. Enggan untuk menyingkap tabir kematian itu. Meskipun ada saja yang yakin, Rakim tidak mati sebagaimana wajarnya orang mati. Bukan saja karena Rakim diketemukan dalam keadaan mengambang di sungai. Sebab sangat aneh kalau Rakim yang sejak kecil tak pernah jauh dari sungai harus mati tenggelam di sungai. Dia juga tak punya riwayat sakit jantung atau penyakit lain yang menyebabkan orang bisa mati mendadak. Ribuan pertanyaazaan tentang kematian Rakim, kini beterbangan di segala penjuru dusun.
Pada tubuh Rakim, memang tak ada tanda-tanda bekas kekerasan. Orang-orang yang membawa jasadnya dari sungai ke rumah Rakim, dan mereka yang memandikannya sebelum dikubur, juga tak menemukan tanda-tanda kalau Rakim mati setelah dianiaya atau ditembak. Namun dari desas-desus yang berkembang, sebelum kematiannya, Rakim tengah ada dalam persetuan serius dengan Juragan Kasim. Banyak yang sudah tahu soal itu. Beberapa orang pernah menyaksikan mereka cek cok. Bahkan nyaris saling bunuh. Namun setelah Rakim mati, orang-orang dusun tidak ada yang berani menelusuri perseteruan itu. Apalagi sampai berani menuduh kalau Kasimlah yang membunuh Rakim. Untuk membicarakan perseteruan mereka berdua saja orang harus berhati-hati. Bila tidak, bisa-bisa mereka bakal dapat masalah di belakang hari.
“Masalahnya tidak ada saksi mata saja, Som,” ujar Kusnali pada Somari dan Warjo. Mereka tengah duduk di teras rumah Komariah usai mengantar jenazah Rakim di pemakamkan. Mereka bertiga memang tak seperti kebanyakan warga dusun yang lebih memilih pulang dan enggan memperbincangkan kematian Rakim seusai pemakaman. Sebab mereka tahu kalau memperbincangkan kematian Rakim sama saja mengundang masalah sesudahnya.
“Aku yakin ada. Itu kalau benar Rakim mati di tangan Kasim,” sanggah Somari sembari menuangkan teh ke cangkir Kusnali dan Warjo. “Sebab tidak mungkin Juragan Kasim melakukan itu sendirian. Membawa tubuhnya sendiri saja sudah sempoyongan, mana mampu dia sendiri yang melakukannya. Pasti ada orang lain yang membantunya.”
“Ngomongnya jangan keras-keras, Som! Nanti ada yang dengar!” Seru Komariah dari dalam rumah.
“Iya, iya.” Mereka bertiga saling berpandangan. “Ayo tehnya diminum dulu.”
“Iya, Som.”
Jalanan di depan rumah Komariah nampak lengang. Usai pemakaman Rakim, Dusun Muaramerah jadi makin terasa sepi. Kematian Rakim bagai kabar kecemasan. Menebar aroma ketakutan bagi orang-orang Dusun Muaramerah.
“Menurutku, Somari itu benar, Kus,” kata Warjo agak merendahkan suaranya. “Aku pernah memergoki mereka ribut-ribut di depan rumah Rakim,” sambung Warjo sembari mengambil cangkir tehnya. Diteguknya sedikit teh yang masih berasap di tangannya, lalu diletakkannya lagi di meja. “Sangking marahnya Rakim, dia nekat menantang Kasim berkelahi. Dia sudah mau masuk ambil golok. Melihat gelagat yang tak enak, aku langsung berlari menahan Rakim dan menyuruh pergi Kasim. Aku menahan sekuat tenaga agar Rakim tak sampai mengambil golok, tapi dia terus berontak, menyuruhku melepaskan pegangan tanganku. Tapi aku tak mempedulikannya. Aku pikir dia sudah nekat dan buta mata. Bisa makin runyam kalau aku lepaskan tanganku. Beruntung Kasim mau pergi.”
“Apa yang diributkan mereka?” tanya Somari.
“Masalah hutang.”
“Masalah hutang? Masalah hutang dengan Kasim kan sudah biasa kan? Siapa sih orang dusun sini yang tak punya hutang sama Kasim. Kok bisa sampai ribut-ribut begitu?” tanya Kusnali.
“Mungkin Rakim masih menyimpan marah karena isterinya pernah dibawa pergi Kasim.” Tiba-tiba Komariah menjawab setengah berbisik sembari menampakkan wajahnya di pintu.
“Pantas saja ada yang bilang begini, Rakim bayar hutang sama Kasim itu pake bawuk-nya Watri,” sela Kusnali.
“Hahahaha....” Warjo dan Somari tertawa-tawa.
“Huss!!! Jangan sembarangan ngomong, Kang. Nanti terdengar Watri sampeyan bisa dihajar, lho!” bentak Komariah pada mereka bertiga.
“Ya, mungkin saja ada masalah itu juga. Tapi yang aku dengar sendiri Rakim menyebut-sebut soal kepemilikan tambak-tambak di dusun sini. Kata Rakim, tambak-tambak di sini bukan milik Lurah Wasari. Apalagi punya Juragan Kasim. Kamu itu cuma centengnya Lurah Wasari! Bukan juga orang sini! Tahu apa kamu tentang kepemilikan tambak-tambak di dusun sini!” ujar Warjo menirukan kata-kata dan amarah Rakim.
“Ssstttt.... Jangan keras-keras!” Seru Komariah dengan mata melotot.
Warjo mendadak diam. Matanya tajam melihat keadan di sekitar jalan.
Angin sejuk begitu saja menderai. Perlahan awan mulai kelabu. Jauh dari arah pantai mendung terlihat mulai menebal. Kabar alam yang mengisyaratkan tak lama lagi ia akan turun membagi kesejukan dan air hujan yang menderai di atas bumi.
“Memang aku pernah dengar soal status tanah di sini dari Wak Rasban. Dia bilang kalau tanah Dusun Muaramerah adalah tanah yang tak jelas kepemilikannya. Orang tua Lurah Wasari hanya mengaku-aku saja. Jadi sampai sekarang Lurah Wasari mewarisi tanah yang sebenarnya bukan milik orang tuanya,” jelas Somari menguatkan apa yang dibilang Rakim pada Kasim.
“Lalu punya siapa?”
“Entahlah, Wak Rasban sendiri tidak tahu.”
Semua jadi terdiam. Semua jadi berpikir siapa yang sebenarnya memiliki tanah seluas Dusun Muaramerah. Keraguan akan seribu tanya bagai menyeruak dalam alam pikiran mereka. Cerita tentang pemilik sah tanah Dusun Muaramerah yang selama ini terpendam seperti menemukan waktunya untuk ditemui. Kisah itu, selama ini memang tertutupi oleh ketakutan-ketakutan yang memenjara orang-orang dusun itu. Kematian Rakim bisa jadi menebalkan kabut ketakutan itu. Namun pada saat yang sama masih ada juga orang yang tak mau larut dalam kabut ketakutan itu. Walau masih ada dalam kubang keraguan.
“Kalau saja benar Lurah Wasari bukan pemilik tanah dan tambak di dusun ini, maka sebenarnya berpuluh-puluh tahun lamanya hidup kita telah diperas dan diperalat Wasari. Bahkan oleh orang tua Wasari yang juga sudah berpuluh-puluh tahun.” Somari mulai membuka perbincangan lagi. Dan apa yang baru saja dia katakan membuat Warjo dan Kusnali mengerutkan kedua alis matanya.
“Iya ya, Som?”
“Ya iyalah, Kus. Coba kamu pikir. Tiap rumah di sini setiap tahun ditarik uang sewa tanah. Setiap ada yang panen bandeng, pasti akan dipotong untuk sewa lahan tambak. Padahal apa? Tanah ini belum tentu punya Wasari. Yang menggarap tambak dia juga begitu. Dibuat harus beli bibit dan pakan sama dia. Walaupun itu ngutang dulu. Tapi itu akan membuat ketergantungan sama dia. Dan kalau tambak-tambak itu gagal panen, tetap saja hutang itu harus dibayar. Wasari tidak akan pernah rugi, kan? Kalau selalu begitu, mana bisa orang sini akan lebih baik hidupnya. Bagaimana bisa orang dusun ini melepaskan ketergantungan dengan dia. Selamanya tidak akan bisa. Dan selamanya akan terus jadi kere. Sampai kimat juga akan tetap kere!” ujar Somari dengan nada marah.
Suasana jadi makin terasa kaku. Kusnali dan Warjo hanya bengong. Entah mereka berdua sudah mulai punya kesadaran, atau justeru tak mengerti dengan apa yang dikatakan Somari. Begitu juga Komariah yang duduk di lantai depan pintu sembari tertegun mendengar obrolan mereka.
Wajah Somari masih membendam emosi. Matanya terlihat galak. “Kamu lihat kakakku terkapar karena stroke, kan. Sudah hampir setahun tidak bisa apa-apa. Hanya terbujur di atas amben. Persis kaya orang mati, bedanya hanya masih ada nafasnya saja. Itu juga karena selalu pikiran dikejar-kejar hutang yang menumpuk pada Juragan Kasim. Kamu tahu kan bagaimana Juragan Kasim kalau nagih hutang sama orang-orang. Kaya tidak punya perasaan, kata-katanya kasar, jorok, kadang pakai ancaman-ancaman pula. Kalau orang yang ditagih sudah punya gejala stroke ya pasti tambah parah stroke-nya. Kalau orang yang ditagih sudah hilang kesabarannya, ya bisa kaya Rakim. Pinginnya mau bacok kepalanya.”