Dunia Sunyi Muaramerah

Ubaidillah
Chapter #8

8. Hidup yang Tak Dimengerti

Pada rimbun daun pohon jambu seekor anak burung gelisah di sarangnya. Menggapai-gapai sesuatu, seperti merasa kelaparan dan sendiri. Hujan baru saja turun membasahi dedaunan, sangkar dari pucuk-pucuk daun kering, dan tubuh anak burung itu yang belum berbulu. Dingin merayap dan lapar membuat tubuh anak burung itu bergemetar. Suaranya teramat lirih saat memanggil-panggil induknya. Atau siapa saja. Suara yang mudah lenyap oleh desah dedaunan. Angin tak henti-hentinya meliuk-liukkan dahan pepohonan. Awan masih berwajah muram saat senja luruh di kota kecil itu. Jalanan disekap deru mobil dan motor. Semua orang di jalanan bagai memburu waktu dan impiannya. Semua ingin segera sampai pada tujuan.

Siapa yang bakal mendengar jerit kedinginan dan kelaparan anak burung itu? Memang terasa berlebihan kalau harus memaksa semua orang di atas jalanan agar peduli pada seekor burung yang belum berbulu di sarang yang basah oleh guyuran hujan itu. Apa pedulinya? Bukankah setiap makhluk punya cara sendiri untuk menghadapi ancaman hidupnya. Dan semua tergantung pada daya hidup untuk menghadapinya. Jadi kenapa harus memaksa makhluk lain untuk terlibat dalam hidup sesama makhluk lain. Seolah yang kuat sajalah yang disepersilakan hidup oleh alam. Dan yang lemah ya harus kalah. Mau bilang apa kalau memang sudah begitu alam membentuknya. Begitukah seharusnya? Ah, susah juga buat dimengerti. Biarlah hidup berjalan saja dengan seribu satu keadaan yang tak pernah diketahuinya. Bahkan saat dijalaninya.

Hingga senja yang makin kelam, pohon jambu yang tumbuh di halaman depan sebuah rumah terus dikoyak angin. Pohonnya yang sudah cukup tua terasa berat menahan terpaan angin. Padahal pada beberapa bagian batangnya telah lapuk kulitnya. Ada juga yang telah terkelupas nyaris rapuh. Terpaan angin memaksa dahan dan ujung ranting itu meliuk-liuk. Hingga sarang burung yang ada di tengah rimbun daunnya pun jatuh di gundukan akar pohon jambu itu. Tak lama kemudian, tangan seorang lelaki muda memungut sarang itu usai memarkir mobil di depan rumahnya. Lalu hujan kembali menderas bercampur angin yang menderai. Lelaki muda itu segera saja membawa sarang burung itu masuk ke dalam rumahnya yang masih gelap. Rumah tua yang tak begitu luas.

Usai menyalakan lampu-lampu di dalam rumahnya, lelaki muda itu meletakkan sarang burung itu di meja makan. Didengarnya suara lirih dari anak burung itu. Bergegas dia melepas sepatu ket dan melempar tas rangselnya di kursi. Lalu dia mengamati lagi tubuh dan bunyi lirih dari mulut anak burung itu. Dilihat tubuh anak burung itu yang bergetar. Didengar suaranya yang mengharap sesuatu yang bisa membuatnya nyaman. 

Lelaki muda itu bergegas membuka lemari makan. Mencari makanan apa saja yang bisa diberikan buat anak burung itu. Dia temukan sebungkus roti tawar. Diambilnya roti itu dan diambilnya satu sisir. Lalu dia duduk lagi di depan sarang burung itu. Roti tawar yang sudah ada di tangannya segera dia kunyah lalu diambilah kunyahan roti tawar itu di mulutnya. Tangan yang satu mengangkat anak burung dengan amat hati hati. Dia berusaha membuka mulut anak burung itu dengan hati-hati pula. Saat sudah bisa membuka mulut anak burung itu, dia ambil kunyahan roti di mulutnya dan dia suapkan pada mulut anak burung itu. Tampak anak burung itu menelan kunyahan roti. Lalu diulanginya lagi beberapa suapan. Hingga anak burung itu kini terlihat lebih nyaman. Lelaki muda itu tersenyum melihat anak burung itu, kemudian meraih beberapa lembar tissue di depannya. Tissue itu ditatanya selembar demi selembar dalam sarang. Berharap akan ada kehangatan yang bisa dirasakan anak burung itu. Baru anak burung itu dia letakkan kembali di dalam sarangnya. Anak burung itu kini sudah tak lagi menggigil.

Dia membawa sarang burung itu ke dalam kamarnya. Diletakkannya sarang itu di atas meja kecil di samping tempat tidurnya, persis di bawah kap lampu yang baru saja dinyalakan. Anak burung itu terlihat tenang menikmati kehangatan. Bagai terlepas dari ancaman; mati disekap dingin dan dikoyak angin dan hujan, juga terkaman wirok, kucing, atau anjing jalanan.

Usai melepas jam tangan, handfone, dompet, baju dan celana panjangnya, lelaki muda itu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur di kamarnya. Menyelami kepenatan urusan kerjaan sebagai wartawan lepas di beberapa media online. Hari-hari ini dia bagai tak bisa lepas dari kasus yang tengah ditelusuri. Makin dalam dia meng-investigasi kasus itu, makin berat persoalan dan risiko yang bakal dia dihadapi. Namun dia tak peduli dengan semuanya itu. Dia sadar itu jalan yang berat dan tak bisa dianggap remeh. Aku tak pernah takut melawan siapapun, kata dia dalam hati. Biar saja apa yang dilakukannya tetap berjalan. Seperti air sungai saja, saat terbendung dia tetap mencari celah agar tetap mengalir lalu tak terasa sudah sampai di muara.

Lelaki muda itu Hikam namanya. Pengalaman hidupnyalah yang membuat dia lebih memilih jadi penulis dan wartawan lepas di beberapa media. Itu memang pilihan yang sudah diinginkannya sejak dia kuliah. Baginya soal uang bukan satu-satunya hal yang membuatnya merasa hidup. Idealisme kebebasan pers kampus saat dia kuliah masih begitu lekat; kebenaran harus bisa dikabarkan. Sepahit apapaun kebenaran itu. Baginya, menjadi penulis dan wartawan lebih memberi makna bagi hidupnya.

Kini dia merasa harus mandi. Tubuhnya masih bau asam dan sisa keringat masih lengket di kulitnya. Malas benar dia bangkit dari tempat tidur. Dia memaksa melangkah lalu diraihnya handuk yang tergantung di kastok. Langkah lelah membawanya ke kamar mandi. Dia menyalakan lampu di kamar mandi kemudian melepas semua pakaiannya. Saat menatap wajah di cermin kamar mandi ada perasaan sepi yang tiba-tiba merayapinya. Ada banyak pikiran yang membuatnya resah. Dengan tajam dia menatap titik pandang matanya pada cermin itu. Banyak wajah yang tiba-tiba terbayang dalam otaknya. Wajah-wajah yang menyekap pikiran dan perasaannya. Dia mendenguskan nafasnya. Kemudian tubuhnya merasakan dingin dari air yang mengguyur seluruh tubuhnya.

Di luar rumah sebuah sepeda motor yang dinaiki dua orang berjaket dan memakai masker berhenti di depan pintu gerbang rumah pemuda itu. Hujan masih cukup deras dan lampu jalanan mulai terang menyala. Seseorang yang membonceng turun dari sepeda motor dengan membawa sebuah bungkusan memasuki halaman rumah anak muda itu. Yang membawa motor tetap saja duduk di atas jok motornya. Dia nampak tenang sembari sesekali menengok ke belakang dan mengamati keadaan sekeliling. Yang membawa bungkusan itu kini sudah berdiri di depan pintu rumah. Diletakkan bungkusan yang dibawanya di atas lantai persis di depan pintu. Diketuknya pintu itu dengan keras.

Hikam terperanjat saat mendengar suara ketukan keras dari arah pintu depan. Segera saja dia bersihkan busa sabun di tubuhnya dan dia raih handuk untuk mengelap sisa guyuran air. Dikenakannya celana pendek lalu dia bergegas melangkah keluar kamar mandi menuju ke ruang depan. Matanya sempatk melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 19.37.

“Siapa?” tanya Hikam agak keras.

Namun tak ada suara jawaban dari luar rumah. Hikam melangkah lagi mendekat ke pintu. Lalu disibaknya tirai jendela. Tak ada sesorang di depan rumahnya. Teras ramah nampak sepi. Pintupun dibuka. Dia terkejut saat tahu ada bungkusan di lantai. Lalu diambilnya bungkusan itu. Pada bungkus itu tertulis sebuah pesan yang ditulis cukup jelas; Ambil uang ini dan hentikan investigasi-mu tentang kasus tukar guling tanah bokong semar atau keselamatanmu jadi taruhan.

Lihat selengkapnya