Di atas tanah Muaramerah cerita hidup seperti berpusat hanya pada dua orang; Lurah Wasari dan Kasim. Merekalah yang mengendalikan kehidupan orang-orang Muaramerah. Membuat dunia dan orang Muaramerah tekurung dan tak punya daya hidup. Yang ada hanya kisah kesedihan, kemiskinan, dan harkat manusia yang dilenyapkan. Entah dengan paksaan, atau dengan satu siasat yang menjerat orang Muaramerah, menjadian mereka hidup dalam ketakutan, kebodohan, dan rapuh. Itu sebabnya dunia Muaramerah adalah dunia sunyi yang menyimpan banyak kisah pendindasan dan eksploitasi.
Saat Kasim berjalan di antara rumah-rumah di dusun itu, dia seperti menebar ketakutan. Lihat saja bagaimana keadaan rumah sepanjang jalan kecil yang membelah dusun itu. Pintu dan jendela rumah tertutup, seperti tak ada tanda kehidupan. Namun di siang itu, Kasim benar-benar menghadapi orang kalut. Ya, siapa lagi kalau bukan Rakim. Dia sudah membendam amarah pada Kasim yang telah berani membawa pergi Darti.
“Berhenti!”
Suara keras dari arah belakang Sinur dan Kasim membuat keduanya terperanjat dan menghentikan langkah. Dilihatnya Kasim dengan wajah penuh amarah dan golok yang dijulurkan ke arah mereka.
“Kasim! Dengar yah, jangan mentang-mentang kamu jadi orang kepercayaan Lurah Wasari lalu seenak wudelmu memperlakukan orang-orang Muaramerah! Kamu itu cuma cecunguk, cuma jongos Wasari!”
“Kamu itu punya masalah apa?”
“Jangan pura-pura bodoh, kamu!”
“Benar aku tidak tahu ada apa kamu tiba-tiba marah denganku. Soal hutangmu? Kan bisa kita bicarakan baik-baik. Tidak perlu marah-marah seperti itu.”
“Kamu licik, Kasim. Memanfaatkan keaadanku untuk membawa pergi istriku.”
“Lho, aku tidak mengajak. Aku cuma mengantar istrimu pergi membeli kebutuhannya. Karena dia tidak punya uang, jadi aku talangi dulu pakai uangku. Apa itu salah? Hah! Jadi dia yang minta membeli barang-barang kebutuhannya. Bukan aku.”
“Kau memang selalu seperti itu, karena kamu juga punya maksud biar bisa mendekati istriku, kan? Bangsat kamu!”
“Lho, kalau kamu tidak ingn isterimu seperti itu, ya kasih istrimu uang yang cukup untuk membeli kebutuhannya. Jangan salahkan aku, kenapa aku yang jadi sasaran?”
Keributan mereka membuat dusun terasa gaduh. Dari kejauhan, beberapa orang mulai menampakkan diri. Menyaksikan dengan penuh pertanyaan.
“Kamu memang asu, Kasim! Asu teles! Cuih..!!!”
“Hai! Kamu itu siapa? Hah! Berani benar menghinaku. Kamu itu lelaki lemah tapi mulutmu seperti anjing. Cuma berani menggonggong, tapi rapuh!”
“Tahu apa kamu tentang aku?”
“Aku tahu kamu Rakim. Aku tahu. Kamu miskin tapi lagakmu kaya orang punya duit. Badanmu memang besar, tapi ternyata kamu sudah tidak bisa ngaceng. Hahaha..”
Rakim makin marah mendengar dirinya dihina. Wajahnya murka. Dengan langkah cepat dia hendak menerkam goloknya pada Kasim. Beruntung Sirun dengan sigap dapat menahan Rakim.
“Sudah, Kang. Sudah!” Sirun kepayahan mendekap Rakim dengan sekuat tenaga.
“Aku bunuh kamu!”
“Ayo bunuh aku! Bunuh aku! Bunuh kalau kamu berani!” tantang Kasim sembari pasang badan merajuk ke Rakim. Matanya melotot penuh amarah.
“Sudah, Gan! Pergi saja, Gan. Pergi!” ujar Sirun menyuruh Kasim pergi meninggalkan Rakim. Sirun masih kepayahan menahan amarah Rakim. Beruntung Kasim mau mengalah pergi, meninggalkan Kasim yang masih didekap Sirun. Kasim pergi sambil menarik kambing.
“Dengar, Kasim! Aku tidak pernah takut sama Lurah Wasari. Apalagi sama kamu! Kamu itu bukan orang sini! Tahu apa kamu soal hidup orang sini! Kamu itu Cuma jongos! Babu!” Rakim terus berteriak mengumpat amarahnya pada Kasim. Napasnya terasa berat. Detak jantungnya berdegub kencang.
“Dengar Kasim! Tanah ini bukan tanah milik orang tua Wasari. Tanah ini sudah milik orang-orang Muaramerah. Bilang Wasari! Aku Rakim, mulai sekarang sepeserpun aku tak akan pernah mau membayar sewa tanah di sini!”
Kasim sudah tak lagi menanggapi Rakim. Pergi meninggalkan Rakim yang mash dongkol. Dia berjalan membawa kambing. Membiarkan Rakim yang masih mengumpat serapah. Dari kejauhan orang-orang kembali menyembunyikan diri, saat Kasim melewati rumah-rumah mereka.