“Bro! Kau sekarang harus lebih hati-hati!”
“Ya. Aku tahu. Kita mau ke mana sekarang?”
“Ke kontrakanku.”
“Sip.”
Motor Amran terus melaju menembus jalanan raya di kota kecilnya. Namun tak lama kemudian, Amran mulai berbelok ke arah jalan kecil. Jalan itu melalui perkampungan yang cukup padat penduduknya. Itu jalan alternatif untuk sampai ke rumah kontrakan Amran. Namun jalur ini harus melalui sawah dan perkebunan yang gelap dan sangat sepi. Siapapun yang melewati jalur ini bakal jantungnya berdetak lebih cepat.
“Semoga kuntilanaknya lagi males menampakkan diri,” ujar Amran saat mulai memasuki areal perkebunan buah salak.
“Hus! Jangan sebut-sebut kuntilanak. Nanti beneran dia datang!”
Amran diam saja. Was-was juga rupanya. Dia mempercepat gas motornya. Dan tak lama kemudian mereka telah melalui perkebunan dan sawah yang amat gelap itu. Kini mereka sudah berada di tengah perkampungan lagi. Amran mulai memasuki gang lalu berbelok-belok dan kini telah sampai di rumah kontrakannya. Sebuah rumah kecil dengan halaman yang cukup luas di tengah perkampungan yang tak begitu padat peduduknya.
Sementara di rumah Hikam orang-orang yang hendak menemui anak muda itu kini sudah berada di dalam rumah. Mereka masuk dengan mencongkel jendela depan lalu membuka pintu depan. Kamar anak muda itu sudah diobrak-abrik. Isi lemarinya sudah berantakan. Demikian juga laci meja kecil dan rak buku yang juga diobrak-abrik. Rupanya mereka mencari sesuatu yang mungkin berkaitan dengan data. Sebab mereka tak mengambil barang-barang. Jadi bukan perampok atau maling yang butuh uang dan barang berharga. Namun di rumah Hikam mereka tak menemukan apa-apa. Hanya sebuah printer yang masih menyala dan anak burung yang terlelap di sarangnya.
“Selanjutnya apa rencanamu?” tanya Amran sembari menuangkan air mendidih pada kopi yang ada di dua cangkir.
“Sepertinya sementara ini aku harus menghindar.”
“Ke mana?”
“Belum tahu. Yang jelas ke tempat yang lebih aman.”
“Luar kota?”
“Iyalah. Sembunyi dulu.”
“Besok aku akan kirim data ke KPK. Datanya sudah cukup lengkap.”
“Sudah kamu pertimbangkan masak-masak?”
“Sudah.”
Amran membawa dua cangkir kopi, meletakkannya di depan anak muda itu.
“Yang kamu hadapi bukan satu dua orang. Dan semua orang-orang besar di kota ini.”
“Sama saja. Di mata hukum semua orang sama.”
“Nyatanya sekarang saja kamu sudah dapat masalah. Apalagi nanti.”
“Makanya, aku akan sembunyi dulu. Nanti kalau masalahnya sudah selesai baru aku kembali.”
“Winda bagaimana?”
“Maksudmu?”
“Apa dia tahu rencana kamu.”
“Tidak tahu. Aku tak pernah cerita masalah ini kepada dia.”
“Kenapa?”
“Ayahnya terlibat dalam masalah ini,” ujar anak muda itu dengan mendekatkan mulutnya ke telinga Amran.
“Hah? Masa?” Amran terperanjat.
“Itu sebabnya aku tak mau cerita apa-apa soal kasus ini ke Winda.”