Pagi ini kota kecil itu diselimuti kabar kematian dua lelaki yang semalam mendatangi rumah Amran. Dari kabar yang tersiar kedua orang yang tewas mengenaskan itu para perampok. Kini kasusnya tengah ditangani pihak kepolisian. Hikam sendiri tak habis pikir, kenapa para preman itu tahu tempat Amran. Hikam yakin kalau Windalah yang menunjukkan tempat Amran. Kalau bukan dia, siapa lagi? Dia juga yakin kalau Winda kini sudah tahu kasus yang sedang dihadapi ayahnya. Pantas saja kalau sejak pagi dia terus-menerus menelpon Hikam. Namun tak pernah diangkatnya. Pesan-pesannyapun tak ada yang dibalas. Hikam sendiri sudah menyerahkan laporan dugaan penggelapan aset desa itu ke Kantor Kejaksaan.
Kota kecil itu seperti sudah tak nyaman lagi buat Hikam. Setiap saat perasaannya disekap kecemasan. Setiap orang yang ditemui selalu saja dicurigai sebagai orang yang berbahaya bagi keselamatan dirinya. Dalam keadaan seperti itu, bayang-bayang ibu dan kakek diam-diam datang. Setiap saat makin memaksa dirinya untuk pulang menemui mereka di Dusun Muaramerah.
Dan kini dia sudah di stasiun kereta menunggu jam keberangkatan. Setengah jam lagi kereta yang akan ditumpanginya baru akan tiba. Namun, biarpun hanya setengah jam, kecemasan itu terus membayanginya. Dibayanginya akan datang beberapa orang berbadan besar menyergap dan menghajarnya hingga remuk sekujur tubuhnya. Atau cemas akan ada orang yang tahu keberadaan dirinya, lalu melaporkan pada ayah Winda. Ah, sudah makin tak waras saja pikirannya. Kecemasannya.
Pikirannya juga terus mengalir bagai arus air sungai, mempertanyakan tindakan Winda yang belum bisa dia terima. Mencoba menelusuri arah pikiran Winda. Mengurai satu demi satu alur pikiran yang membuat Winda berbalik, menjadi seperti musuh dalam selimut. Hikam mulai mencoba memahami bahwa siapapun orangnya akan membela orang tuanya. Sebisa yang dia lakukan. Meskipun kadang hal itu salah karena yang dibelanya adalah sebuah kejahatan. Sebab bisa jadi Winda belum tahu masalah yang sebenarnya. Jadi belum tahu duduk perkaranya dan beranggapan bahwa ayahnya tak bersalah. Tapi mestinya keselamatan dirinya harus jadi pertimbangan Winda. Begitu pikir Hikam lagi. Winda pasti tahu untuk apa ayahnya mencari dirinya.
Kini Hikam tak lagi menemukan perasaan pada Winda. Perasaan itu mulai runtuh oleh kelancangan Winda. Sebenarnya kalau dia diam saja, tak menunjukkan keberadaannya di rumah Amran, Hikam mungkin masih bisa menjaga perasaannya. Setidaknya untuk tidak menjadi lawan. Namun kini Hikam diterkam kekecewaan. Itu sebabnya tak perlu lagi ada hubungan dengan Winda. Dia pikir, tak ada sedikitpun rasa pengorbanan dari Winda yang semestinya hadir di saat dirinya membutuhkan. Seribu pikiran dan perasaan yang tak menentu bagai memenuhi gerbong kereta yang terus membelah malam menuju ke kota kecilnya dulu. Perjalanan ini jadi seperti ziarah pada masa kecilnya.
Kerinduan pada Emaknya dan Mbah Kus yang sudah lama terpendam kini bagai menyeruak, jadi makin menebal, dan menemukan satu alasan untuk kembali ke Muaramerah. Sejak kepergianya dari Boyolali, memang belum pernah sekalipun Hikam menghubungi Emak atau Mbah Kus. Dia pikir, tak usah lagi menambah beban hidup mereka ketika dirinya sudah mampu untuk tak lagi bergantung pada mereka. Sebab Hikam tahu benar kalau kehidupan Emak dan Mbah Kus sudah berat. Bahkan sangat sulit. Bagaimana mungkin dia bergantung pada orang yang buat hidup sehari saja sulit. Namun untuk saat ini, kerinduan itu telah menemukan saatnya untuk diziarahi.