Kini Hikam sampai juga di depan pintu rumahnya. Rumah kecil berdinding papan, berlantai tanah, yang selama ini selalu hinggap di kepalanya. Napasnya masih tak teratur. Pintu kayu yang warna kusamnya masih seperti dulu saat dia meninggalkan rumah terlihat sedikit terbuka. Seperti tak terkunci. Hanya papan bagian bawahnya yang sedikit keropos dimakan rayap. Dari luar, rumah itu nampak sepi. Tak ada suara tanda kehidupan.
Hikam mendorong pintu hinnga penuh. ”Mak.....! Emaak....!!” teriak hikam sembari melangkah ke dalam. Sesaat tak ada suara sahutan. Hikam mulai cemas. Namun suara Mbah Kus bagai memecah kecemasan Hikam.
“Siapa...?” suara Mbah Kus terdengar lirih di telinga Hikam. Hikam segera ke kamar Mbah Kus.
“Mbah!”
“Siapa?”
“Hikam, Mbah.”
“Hikam?!” Mbah Kus yang masih terbaring di atas amben, dengan agak kesusahan, beranjak duduk. Matanya seperti berusaha melihat lebih jelas. Seperti tak percaya. Berpikir itu sisa mimpi yang belum selesai. Dia masih tertegun. Hikam segera mendekat dan meraih tubuh kakeknya. Memeluknya. Keharuan bagai mengalir deras.
“Maafkan aku, Mbah. Saat ini aku baru mau pulang.”
“Ya, Kam. Tidak apa-apa. Simbah tahu, suatu saat kau pasti akan pulang.”
“Iya, Mbah.” Hikam melepas tas punggungnya dan diletakkannya di kursi. Dilepaskan pula jaket, diletakkan di atas tas. “Emak ke mana, Mbah?”
Mbah Kus menarik napas lalu menghempaskan begitu saja. “Emakmu sudah setahun pergi dari rumah.”
“Pergi? Kenapa pergi.”
“Keadaan di rumahlah yang memaksanya pergi.” Hikam duduk kembali di sisi Mbah Kus. “Sejak kamu pergi dari Boyolali, dan tak ada kabar apapun dari kamu, aku mulai sering sakit-sakitan. Tenagaku sudah tak kuat lagi buat mengelola tambak. Sejak saat itu hidup jadi terasa susah. Akhirnya Emakmu bekerja di Maribaya. Katanya membantu temannya yang punya warung di sana. Kadang seminggu baru pulang, bawa beras, ikan asin, telur, gula, teh. Tapi lama kelamaan sebulan baru dia pulang. Katanya pekerjaan di warung makin banyak. Dan makin lama-makin lama, Emakmu belum pernah pulang sampai sekarang. Tapi dia tetap mengirim beras dan uang. Walaupun itu kadang-kadang.”
“Siapa yang mengirim ke sini?”
“Warto.”
“Siapa Warto?”
“Centengnya Kasim.”
“Kenapa Warto yang ke sini?”
“Karena Wartolah yang punya warung di Maribaya.”
“Oh, begitu. Mbah Kus tidak pernah menyuruh pulang Emak?”
“Sudah. Sudah berkali-kali aku bilang ke Warto. Tapi kata Warto selalu bilang belum bisa pulang. Katanya warungnya selalu ramai. Akan kualahan kalau Emakmu pulang.”
“Ah! Masak sih tidak bisa pulang sebentar. Memangnya seberapa jauh dari Maribaya ke Muaramerah. Sudah berapa lama Emak belum pulang lagi, Mbah?”
“Hampir enam bulan.”
“Enam bulan?”
“Iya.”
“Coba nanti aku ke Maribaya.”
“Iya. Kamu harus bisa menyuruh pulang Emakmu. Soalnya suara-suara di luar sudah tidak enak didengar.”
“Tidak enak bagaimana?”
“Sudahlah, nanti kamu akan tahu sendiri. Sekarang kamu rebus air saja. Mbah pingin air teh yang hangat.”
“Iya, mbah.”
Hikam segera melepas sepatu dan melipat celana jinnya, lalu melangkah menuju ke dapur. Dilihatnya tungku tempat memasak masih seperti dulu. Dengan sigap dia mengisi air pada ketel dan membuat api pada tungku. Asappun mengepul mengisi ruang dapur. Api dari tungku membuatnya terasa hangat. Tak lama kemudian Mbah Kus mendekat ke dapur, duduk di atas kursi.