Pagi ini Dusun Muaramerah masih pada nada yang sama; sepi dan sunyi. Hanya kicau burung-burung yang mengisi ruang sepi dari atas pohon-pohon bakau dan pohon mahoni tua yang tumbuh di ujung dusun, menyambut matahari yang mulai menebar kehangatan. Pagi ini benar-benar terasa sepi, tanpa terdengar bunyi debur ombak di pantai.
Hikam termangu di depan rumah, saat duduk sendiri merasakan pagi yang sudah lama tak ditemui. Desau angin lembut bagai sunyi yang mengisi relung hati Hikam. Sapuan angin yang lembut membuat tubuhnya bagai menemukan hidup yang sudah lama hilang. Disandarkan punggungnya pada dinding kayu, meluruskan lututnya sembari merasakan lelah yang telah menjalar di seluruh tubuhnya. Namun sebuah suara membuatnya memaksa dia harus terjaga.
“Mas! Mbah Kus ada?” Suara memanggil dari seorang perempuan membuat Hikam terperanjat.
“Sampeyan siapa?” tanya Komariah lagi.
“E....saya Hikam. Cucunya Mbah Kus,” jawab Hikam terbata-bata dan amat pelan.
“Apa?” tanya perempuan bertambah heran. Pagi itu Komariah sedang lewat dengan membawa ember dan bubu dari tambak. Dia hendak pulang ke rumah dan melewat jalan kecil itu. Setiap pagi memang dia melewati jalan itu untuk mengambil bubu-bubu di tambaknya.
“Saya baru nyampai dusun ini pagi-pagi tadi.”
“Oh. Jadi Mas itu anaknya siapa?” tanya Komariah lebih penasaran lagi.
“Emak saya Rumaenah. Dulu kami tinggal bersama di sini.”
“Oh, Yu Rumaenah. Saya tahu orangnya. Tapi sudah agak lama saya tidak melihatnya lagi.”
“Mbak pasti tahu atau pernah mendengar tentang Emak saya.” Hikam seperti mendadak mendesak Komariah yang tiba-tiba saja jadi bungung. “Pernah tahu, kan?”
“E... Begini saja, Mas. Bagaimana kalau saya pulang dulu. Karena saya harus segera menjual udang-udang ini.” Jawab Komaraiha sembari menunjukkan udang di dalam ember.
“Bagaimana kalau aku ikut?”
“E... boleh.”
“Tapi nanti malah bikin repot Mbaknya.”
“Tidak. Kalau mau ikut sekalian, ayo!”
Komariah mengangkat ember dan bubu-bubu yang tadi dia letakkan di tanah. Dia agak kesusahan. Melihat Komariah yang kerepotan, Hikam bergegas meraih dan mengangkat ember berisi udang, ikan, dan kepiting yang sudah diikat kaki-kakinya dengan tali plastik.
“Tidak usah, Mas. Biar saya saja yang bawa.”
“Tidak apa-apa, Mbak.”
“Kotor, lho.”
“Tidak apa-apa.!”
“Ya sudah.” Komariah berjalan lebih dulu. Hikam mengikutinya.
“Jadi yang asli orang sini suami Mbak yah?”
“Iya, benar.”
“Siapa nama suami Mbak?”
“Kang Sobari.”
“Kang Sobari kakaknya Somari?”
“Iya, benar. Kok kamu tahu?” Komariah menghentikan langkahnya, menatap wajah Hikam dengan rasa penasaran.
“Saya dulu teman akrabnya Somari.”
“Walah... Jadi kamu teman kecilnya Somari?”
“Iya. Dulu hampir setiap hari kami bersama-sama.”