“Hahaha... Jadi orang apa? Orang gila? Hahahaha....”
Mereka berdua jadi bagai anak ayam yang lama menghilang dan bertemu kembali dengan induknya. Menemukan kerinduan yang lama lenyap ditelan waktu. Semua kenangan di masa kecil jadi terbayang kembali di kedua benak kepala mereka. Sungai, pantai, tambak, dan semua yang pernah mereka lakukan bersama saat mengisi hari-hari seorang anak yang hidup di dusun terpencil dan diasingkan.
“Kang, masuk saja ke sini!” ajak Komariah agar mereka berdua masuk ke dalam rumahnya.
“Ayo ke sana!” ajak Kusnali pada Hikam.
“Iya. Sebentar aku ambil tas.”
Tak lama keduanya berjalan menuju ke rumah Komariah. Saat memasuki pintu rumah Komariah, Hikam tertegun melihat seseorang yang terbaring di amben.
“Itu siapa?” tanya Hikam merajut.
“Kang Sobari,” jawab Kusnali.
“Kenapa dia?”
“Nanti biar Komariah saja yang cerita. Ayo duduk dulu.”
Mereka berdua dudu di kursi yang bersebelahan dengan amben. Komariah di dapur menyalakan tungku merebus air.
“Kenapa baru sekarang pulang ke dusun? Sampai-sampai tak tahu keadaan Emakmu dan Embahmu.”
“Iya. Mungkin baru ini aku seperti dipaksa harus pulang.”
“Maksudmu?”
“Dulu sebelum aku meninggalkan dusun ini, Emak bilang kepadaku agar aku jangan pulang ke dusun ini sebelum jadi orang. Waktu itu, aku dititipkan di saudara Mbah Kus di Boyolali dan melanjutkan SMA di sana. Tapi setelah lulus SMA aku memutuskan untuk pergi ke Jogjakarta. Dan sejak aku di Jogjakarta, aku putus komunikasi dengan Emak dan Mbah Kus.”
“Dan kamu belum tahu kabar Emakmu sekarang?”
“Sudah. Tapi sepintas saja.”
“Siapa yang memberitahukannya?”
“Mbah Kus.”
“Oh, jadi tadi kamu pulang dulu ke rumah, terus ke sini dengan Komariah?”
“Iya, benar. Tadi aku tanyakan tentang Emakku ke Mbak Komariah. Tapi dia diam saja. Ada apa sebenarnya dengan Emakku?”
“Aku sendiri kurang tahu persis bagaimana yang terjadi dengan Emakmu. Tapi aku dengar dari banyak orang tentang Emakmu.”
“Bagaimana ceritanya, Kus? Tolong sampaikan saja apa adanya.”
“Begini yang aku dengar. Setahun setelah kamu pergi ke Boyolali, Mbah Kus kena sakit agak serius. Emakmu seperti orang bingung menghadapi Mbah Kus yang sakit-sakitan. Lalu Emakmu menjual perahu Mbah Kus pada Kasim. Kata orang-orang buat membiayai kamu yang sedang sekolah di Boyolali. Kira-kira setengah tahun kemudian, Emakmu pergi meninggalkan dusun ini. Sampai sekarang tidak pernah pulang. Ada yang bilang sedang kerja di tempat lain. Tapi ada yang bilang sudah tidak bekerja di situ lagi.”
“Mbah Kus tadi bilang masih bekerja di Maribaya. Di warungnya Warto.”
“Oh. Ya, benar.”
“Memang Emakku kerja apa di sana?”
“Aku kurang tahu. Mungkin membantu di warung.”
Hikam tak bertanya lagi. Tatapan matanya dilemparkan keluar pintu, tertuju pada dedaunan yang terdiam. Pikirannya kalut oleh kabar tentang ibunya, Dadanya mendadak sesak.
“Kau tentu ingin menemuinya.”
“Iya. Ingin segera ke sana.”
“Cobalah nanti ke Maribaya. Kalau memang sudah pindah, tanyakan orang di sana ke mana Emakmu pindah. Mungkin ada yang tahu.”
“Iya. Coba nanti aku cari tahu ke sana. Kamu bisa antar aku ke Maribaya?”
“Jangan sama aku. Aku pernah ada masalah di sana.”