Dunia Sunyi Muaramerah

Ubaidillah
Chapter #14

14. Merahnya Muaramerah

Air mata Komariah masih berderai, meskipun Kasim telah pergi meninggalkannya terkulai di atas lantai. Amarahnya sudah tak lagi tertahan. Tumpah dalam bulir-bulir bening air matanya. Komariah mencoba bangkit. Berjalan ngengsot ke amben Sobari. Sesampai tangannya meraih amben, kepalanya dia rebahkan sembari menagis di atas kaki Sobari. Kaki yang dingin, lemah, dan kurus. Dalam hatinya penuh dengan amarah dan pemberontakan. Merasakan hidup yang rapuh dan tak ada keadilan. Memikirkan hidupnya bagai makin terpuruk. Hidup seperti menjalani hari-hari yang kelam. Bukan saja oleh kemiskinan dan nasib hidup lelakinya yang tak berdaya. Namun sebagai wanita dirasakan begitu rapuhnya.

“Mbak!”

Suara Hikam memcah tangis Komariah. Dia segera tak segera menoleh atau menjawab. Mencoba menghapus air matanya. Namun suara sengguknya masih terdengar oleh Hikam yang masih berdiri di pintu.

“Mbak kenapa mengais?” tanya Hikam sembari menatap baju komariah yang tak teratur dan rambutnya yang acak-acakan.

Komariah masih belum menjawab dan mau menatap Hikam. Dia hanya bergegas merapikan baju dan rambutnya sembari masih tetap duduk di lantai.

“Kenapa?” Ada yang aneh dengan keadaanku?” Komariah melirik Hikam lalu membalikkan posisi duduknya. “Masuk saja. Jangan berdiri saja di pintu!”

Hikam melangkah menuju ke sebuah kursi kayu. Wajahnya masih diliputi pertanyaan.

“Memalukan kalau aku ceritakan, Kam.”

“Memalukan bagaimana?”

Komariah masih terlihat kusut. Meskipun baju dan rambutnya sudah sedikit lebih rapi. Matanya masih sembab.

“Kasim tadi ke sini waktu kamu tertidur.”

“Kasim? Siapa Kasim?”

“Kasim itu orang kepercayaan Lurah Was’ari. Dialah yang menarik uang sewa tanah yang digunakan buat rumah dan lahan tambak.”

“Apa yang sudah dilakukan Kasim pada Mbak?”

Komariah terdiam. Wajahnya tertunduk.

“Mbak habis dilecehkan?”

Komariah masih menutup mulut. Hikam mulai geram. Nafasnya terasa mulai berat. Sesaat terasa sunyi yang menyelinap di antara pikiran kedua orang itu.

“Sudahlah, Kam. Aku malu menceritakannya. Sudah jadi kebiasaan Kasim pada perempuan dusun ini kalau menagih hutang atau menarik uang sewa.”

“Mereka diam saja?”

“Maunya memberontak. Tapi terlalu lemah.”

“Lelakinya sendiri bagaimana? Apa pada diam juga?”

“Marahlah! Lelaki siapa yang tak marah bila isterinya dilecehkan. Cuma mereka tak mau melawan. Mereka juga lemah. Jadi pura-pura tak tahu saja.”

“Kenapa tak berani?”

“Mereka takut harus bila harus melunasi hutang. Kalau saat itu juga tak bisa melunasi, bakal diusir dia dari dusun ini. Begitulah aturan di sini, Kam. Semau-maunya Kasim.”

“Kurangajar! Benar-benar biadab!”

Komariah menatap wajah Hikam yang meradang.

“Mestinya tidak seperti itu,” ujar Hikam dengan tatapan mata yang dibuang jauh keluar pintu.

“Harus bagaimana lagi? Orang-orang Muaramerah itu miskin, bodoh, dan punya ketakutan karena dicap keturunan PKI. Bertahun-tahun ketakutan itu belum juga hilang. Meskipun zaman sudah berubah. Hidup orang-orang Muaramerah juga punya ketergantungan dengan Lurah Wasari. Buat piara ikan, harus membeli pakan dan bibit dari Wasari. Rumah dan tambak juga ada di atas tanah milik Wasari. Dan semua aturan yang ada di sini, juga yang membuat Wasari.”

“Kenapa harus bayar sewa tanah?”

“Ya karena tanah dan tambak di sini punya orang tua Lurah Wasari. Kemudian Wasari selaku anak tunggallah yang kemudian menguasai seluruh warisan bapaknya.”

“Siapa bilang tanah di sini milik orang tua Wasari? Siapa?!”

Nada bicara Hikam mulai naik. Komariah bagai terpojok saat Hikam menanyakan pemilik tanah Muaramerah. Sebab, selama ini yang dia tahu tanah di Muaramerah itu milik Wasari. Sama seperti yang dipahami seluruh warga di Dusun Muaramerah selama bertahun-tahun. Sejak pedukuhan itu dihuni oleh orang-orang yang sengaja disingkirkan oleh penguasa desa usai peristiwa 66.

“Kalau bukan milik Wasari, lalu milik siapa?”

“Dengar ya, Mbak. Tanah di Dusun Muaramerah ini adalah tanah milik negara, sebab tanah ini adalah tanah timbun. Jadi mana bisa tanah milik negara jadi milik pribadi.”

“Ah, aku tak tahulah soal aturan tanah.”

“Makanya ini aku kasih tahu supaya Mbak paham.”

“Paham. Tapi aku ngga mau pahamlah.”

“Kenapa?”

“Takut, Kam. Aku tidak mampu untuk berpikir seperti yang kamu bilang tadi. Aku terima saja kehidupan seperti ini. Yang penting masih bisa mencari rejeki, walaupun hanya cukup untuk makan seadanya. Masih bisa berteduh, meskipun hanya gubuk reyot.”

Hikam hanya mendengarkan tanpa mencoba memaksa pemikirannya pada Komariah. Dia memahami bagaimana pikiran dan mental seorang wanita. Apalagi yang harus dihadapi adalah Kasim dan Wasari. Dua lelaki yang sama-sama kasar dan beringas.

Saat mereka saling terdiam, terdengar suara Somari memanggil-panggil Komariah dari depan rumahnya. Mereka berdua jadi terperanjat.

“Kom.....! Kom....!”

Komariah segera bangkit menuju ke pintu.

Lihat selengkapnya