Wasari, siapa yang berani melawannya. Sejak orang tuanya, orang sekampung tak ada yang berani sedikitpun mengusik kehidupannya. Dulu orang tuanya seorang lenggaong, jagoan desa yang amat ditakuti. Karena keberanian dan kesaktiannya, oleh warganya diangkatlah dia menjadi lurah di desa itu. Sejak orang tua Wasari diangkat menjadi lurah, desa itu menjadi lebih aman dari sebelumnya. Tak ada lagi yang berani mencuri atau menggasak barang-barang di rumah warga. Dan Wasari adalah satu-satunya yang begitu dimanja oleh bapaknya. Wasaripun turut ditakuti warga sekampung, sebagaimana kepada bapaknya. Keadaan itulah yang menyebabkan warga tak ada pilihan lain untuk mengangkat orang lain menjadi lurah di desa itu. Wasarilah yang kemudian menggantikan kedudukan bapaknya sebagai lurah di desa itu.
Sejak ayahnya jatuh sakit dan meninggal dunia, Wasari mulai menjalankan kekuasaan di desanya. Kekuasaan seorang lurah yang sudah digadang-gadang bapaknya sudah ada di genggamannya. Semua kekayaan bapaknya juga jatuh pada Wasari; tanah di seluruh Dukuh Muaramerah, beberapa losmen remang-remang di pinngir jalan raya Pantura, dan beberapa kapal ikan berukuran lumayan besar. Di tangan Wasari kekayaannya itu dalam waktu yang tak begitu lama jauh lebih berkembang. Sebab dia juga ada yg dalam jaringan kayu-kayu ilegal yang dikirim melalui kapal di pelabuhan, dan bisnis perjudian gelap. Kekayaannya makin membuatnya disegani dan amat dihormati oleh warganya.
Sebenarnya Wasari itu lelaki yang rapuh bila di atas ranjang. Lelaki yang tak punya keperkasaan di hadapan seorang wanita. Itu sebabnya sampai hampir tua, dia tak punya keturunan. Untuk menutupi kekurangannya itu, dia mengawini banyak wanita. Namun usia perkawinannya dengan banyak wanita itu tak berjalan lama. Hanya beberapa tahun bahkan ada yang hanya beberapa bulan saja. Bisa dibilang perkawinannya selalu berakhir tragis. Wanitanya minggat atau mati mendadak. Bahkan ada yang bunuh diri.
Selama ini, tak ada seorang pun yan berani mempertanyakan mengapa wanita-wanita yang dikawini Wasari selalu menemui jalan gelap. Apalagi mempermasalahkan dan mengorek kejanggalan wanita-wanita yang dikawini Wasari. Memang ada desas-desus kalau wanita yang dikawininya tak tahan menghadapi Wasari karena kebiasaan Wasari yang harus menyiksa wanitanya saat hendak menyetubuhinya. Saat perempuannya meregang kesakitan dengan memar dan kulit lebam memerah itulah Wasari baru mendapatkan birahinya. Kekejian yang nyaris tak pernah ada yang berani mengusiknya.
Seperti malam-malam yang lalu, Rumenah selalu dicekam oleh ketakutan pada kebiasaan Wasari bila hendak melayani hajatnya. Malam itu hujan masih tersisa. Bunyi gerimis masih terdengar mengepung malam. Malam jadi makin terasa dingin dan sunyi. Rumaenah melihat jam dinding di kamarnya sudah menunjukkan pukul 11 malam. Sudah setengah jam lebih dia berbaring di atas ranjang besar, namun Wasari belum juga masuk kamar. Rumaenah makin terasa panik saat terdengar bunyi-bunyi di luar kamarnya. Entah apa yang sedang dikerjakan suaminya. Ditariknya lagi selimut untuk menutupi mukanya. Namun matanya belum juga terpejam.
Tiba-tiba terdengar pintu kamar yang dibuka. Mata Rumaenah makin terbelalak di balik selimut yang menutupi wajahnya. Ketakutan menjalar di seluruh tubuhnya. Baginya, seperti tak ada kata lain, selain ketakutan dan kecemasan bila saja Wasari malam ini ingin melaksanakan hajat birahinya. Itu artinya, Rumaenah harus mempersiapkan tubuhnya disiksa oleh Wasari. Itu sebabnya, kini wajahnya jadi memucat. Seluruh persendian jadi tak bertenaga.
Rumaenah mendengar kaki Wasari melangkah menuju ke meja kecil di sisi ranjang. Terdengar bunyi korek gas. Tak lama tercium olehnya bau asap keretek. Lalu Wasari duduk di sebelah Rumaenah yang masih menutupi wajahnya dengan selimut. Wasari masih diam sembari menghabiskan rokok kereteknya. Sementara Rumaenah makin terguncang oleh kecemasan dan ketakutan yang menghujam di seluruh tulang dan daging tubuhnya. Detak jam dinding begitu jelas mengawang di tengah kebisuan dua pasang manusia. Sesekali terdengar desah nafas lepas menghembuskan asap rokok.
Dalam kesenyapan yang makin purba, tangan Wasari mulai menjalari dada Rumaenah. Meremasnya. Rumaenah mulai membuka mata. Ditatapnya wajah Wasari dengan memelas dan penuh kecemasan. Degub jantungnya makin terasa berat. Mata Wasari makin terlihat liar dan perlahan dia mulai melepas baju Rumaenah. Lalu diikatnya kedua tangan Rumaenah dengan tali yang sudah dia siapkan di kolong ranjang. Kedua tangan rumaenah kini sudah terikat dengan tiang kaki-kaki ranjang. Mulut Rumaenah juga diikat dengan kain. Seperti kambing yang sudah disembelih dan siap untuk dikuliti. Rumaenah hanya bisa pasrah dan menangis dalam hati.
Wasari mulai berpesta dengan tubuh wanita dengan mencincang dan meluluhlantakkan daging dan tulang Rumaenah. Dia memulainya dengan mennyundukkan ujung bara rokoknya di perut Rumaenah. Beberapa kali. Rumaenah mulai meronta-ronta manahan sakit yang terasa di seluruh tubuhnya. Kulit Rumaenah terbakar oleh sumutan rokok di seluruh bagian dada dan perutnya. Wasari makin menikmati saat Rumaenah meronta-ronta kesakitan. Semakin Rumaenah memberontak dan meronta keras, makin bergairahlah Wasari.
Tubuh Rumaenah terus bergeliat. Keringatnya makin membasahi seluruh tubuhnya. Suara rontaan dari mulut yang tersumbat membuat Wasari makin liar. Diambilnya ikat pinggang kulit yang masih menempel di celana yang tergantung di kastok. Ikat pinggang itu dia sabet-sabetkan pada tubuh Rumaenah. Tubuh Rumaenah terus kelojotan, seperti babi saat disunduk pantatnya. Rontaan Rumaenah sudah parau. Matanya terbelalak menahan sakit yang teramat sakit.
Saat Wasari hendak merebahkan tubuhnya di atas Rumaenah, kaki Rumaenah tiba-tiba seperti punya tenaga di luar kesadarannya. Kedua kakinya dia dorongkan dengan sekuat tenaga ke arah dada Wasari. Wasaripun terjungkal hingga kepalanya membentur tembok dengan amat keras. Suara benturannya bagai memecah kesenyapan kamar. Dalam sekejap, Wasari sudah tak sadarkan diri. Melihat Wasari terkapar di atas ranjang, Rumaenah justru makin kalap. Kakinya kembali dia tendang-tendangkan lagi pada kepala Wasari. Entah berapakali dia tendangkan kakinya. Malam itu, Wasari mati di kamarnya. Mati oleh seorang wanita yang tak lagi tahan pada siksaan Wasari, di setiap malam saat birahi Wasari sudah tak lagi terkendali.
Kabar kematian Wasari begitu cepat tersebar. Kabar mengagetkan itu diam-diam melegakan hati orang-orang Muaramerah. Ketakutan, dendam, dan kebencian orang-orang Muaramerah pada Wasari seperti pecah, lenyap oleh kematiannya. Dan Rumaenah tiba-tiba seperti wanita pemberani, bak pahlawan bagi orang-orang Muaramerah.
“Kam! Kau sudah dengar?” tanya Somari dengan wajah penuh ketegangan.
Hikam yang saat itu sedang merebus air di tungku terbelalak mendengar pertanyaan Somari yang terengah-engah, “Mendengar apa?”
“Wasari mati!”
“Mati?”
“Iya.”
“Yang benar?”
“Benar. Orang-orang sudah mendengar semua.”
Hikam bangkit dari duduknya. “Matinya kenapa? Serangan jantung?”
“Belum jelas. Ada yang bilang karena serangan jantung. Tapi ada yang bilang karena dibunuh.”
“Dibunuh? Siapa yang berani membunuh dia?”
“Ada yang bilang emakmu.”
“Emakku? Kok bisa?”
“Entahlah bagaimana kejadiaannya. Aku belum mendengar kepastian peristiwanya seperti apa. Kabar-kabarnya sih, saat pertama kali pembantunya menemukan Wasari dan emakmu di kamarnya, Wasari sudah tidak lagi bernapas. Dan emakmu dalam keadaan telanjang dan dua tangannya terikat kuat dengan tempat tidur. Juga mulutnya, disumbat dan diikat dengan kain. Tubuh emakmu penuh luka. Seperti habis disiksa!”
Hikam terperangah mendengar kabar yang disampaikan Somari. Entah berita mana yang benar.
“Kalaupun benar yang membunuh emakku, akan aku bela sampai di manapun,” ujar Hikam dengan penuh geram.
“Iyalah, Kam. Kamu satu-satunya yang bisa diharapkan emakmu.”
“Kalau begitu, antar aku sekarang juga ke rumah Wasari.”
“Ayo!”
“Sebentar. Aku tuangkan dulu air buat Mbah Kus. Setelah ini kita langsung ke Wasari.”