Kematian selalu saja menyisakan misteri. Perjalanan hidup yang dijalani, satu demi satu bagai tergambar pada dinding. Yang tersembunyi sekalipun, akan menemui kenangan yang tersimpan dalam isi kepala orang-orang. Dan di antara kenangan-kenangan yang silih berganti itu ada yang tak akan lekam. Ia akan menoreh dalam perasaan seseorang. Luka tak mudah lekam oleh waktu. Begitu pula kebaikan. Ia akan abadi bersemayam, rebah disimpan dalam hati. Pada setiap kisah hidup yang tertulis pada kenangan.
Rumaenah masih termangu memandang jagat yang dirasakannya berhenti. Saat senja baru saja turun. Tak ada embusan angin. Dedaunan terdiam. Ilalang dan rerumputan suntuk dalam diam. Ujung-ujungnya tetap saja menembus ke arah langit. Alam berubah menjadi symphony sunyi. Usai kematian Wasari. Kematian yang telah mengakhiri kisah hidupnya. Rumaenah masih saja termangu memikirkan bagaimana ia harus memahami kepergian Wasari. Ia belum bisa memahami keadaan yang tiba-tiba datang; mengoyak-koyak kehidupannya, atau bisa jadi kisah kelamnya sudah berakhir. Entahlah. Bisa pula permasalahan baru justru mulai muncul. Permasalahan yang mungkin lebih pelik daripada kehidupan saat Wasari masih hidup. Dan ia harus menghadapinya.
Satu-satunya orang yang dianggapnya bisa menjadi tempat untuk berkeluh-kesah hanyalah Kasim. Bahkan Kasim sudah amat jauh memasuki kehidupan Rumaenah. Jiwanya. Juga tubuhnya. Namun selama ini apa yang dia lakukan dengan Kasim tak pernah diketahui Wasari. Ya, semua karena Wasari yang hanya bisa marah dan kasar pada Rumaenah. Di mata Wasari, harga dirinya tak ada apa-apanya. Rasanya lebih berharga dari seekor anjing. Kasimlah yang membuat Rumaenah bisa bertahan hidup bersama Wasari.
“Mak.”
Suara Hikam bagai memecah pikiran kusut Rumaenah. Rumaenah terperanjat melihat anaknya sudah berdiri di ambang pintu rumahnya. Ia segera bangkit dari duduk, melangkah menyambutnya dengan pelukan yang begitu erat. Matanya membasah. Isak tangis mereka mulai terdengar. Tangisan yang begitu dalam. Membuncah dari perasaan rindu yang tersimpun begitu lama.
“Aku dengar kau sudah pulang, Kam. Maaf, Emak belum bisa menemuimu. Kau tentu tahu bagaimana keadaanku di sini. Maafkan aku ya, Kam.”
“Iya, Mak. Makanya Hikam juga tak berani segera menemui Emak.”
Rumaenah kembali memeluk Hikam. Tangannya makin erat mendekap tubuh anaknya. Dekapan yang hampir lima belas tahun dirinduinya. Rindu yang terpendam dan tak pernah terucap kepada orang lain. Ia menyimpann rindu itu begitu dalam.
“Bagaimana kabar Mbah Kus?” tanya Rumaenah sembari memandu Hikam duduk di kursi ruang tamu. Ia melangkah menuju ke stop kontak untuk menyalakan lampu. Remang senja membuat pandangan mata Rumaenah agak sulit memandang dengan jelas wajah anaknya.
“Baik-baik saja. Cuma masih batuk-batuk.”
“Syukurlah. Sudah biasa kalau Mbahmu batuk. Kemarin Emak titip obat batuk buat Mbah Kus.”
“Titip siapa?”
“Kasim.”
“Juragan Kasim?”
“Iya. Kenapa?”
“Tidak apa-apa, Mak.”
Hikam terperanjat. Pikirannya bertambah kacau. Seumur hidup baru kali ini ia merasakan keadaan yang sulit untuk diuraikan. Terlalu rumit dan kusut. Tak mungkin ia jelaskan kepada Emaknya bagaimana kejadian yang telah ia lakukan pada Kasim. Apalagi keadaan dan kondisi yang terjadi di Muaramerah belum dipahami oleh Emaknya.
“Kau sudah pernah bertemu Kasim?”
“Sudah. Baru sekali.”
“Aku tahu, Kasim memang tak disukai oleh orang-orang Muaramerah. Aku tak menyalahkan orang-orang. Tapi aku tahu bagaimana Kasim. Ia hanya kaki tangan Wasari. Tak lebih dari itu. Selama ini Kasimlah yang sering aku titipi apa saja buat Mbahmu. Uang, beras, gula, kopi, ikan asin, telur, minyak goreng, dan apa saja yang diminta Mbahmu.”
“Apa tidak ada orang lain?”
“Tidak ada. Kadang memang ada satu dua orang Muaramerah ke sini. Urusan tambak atau perahu. Tapi itu tidak menentu.”
Hikam makin kalut mendengar apa yang dikatakan Emaknya. Sejahat-jahatya Kasim, ternyata masih ada sisi baiknya. Setidaknya di mata Emaknya. Namun memikirkan satu kebaikan bagi seorang saja, sungguh tak adil untuk disandingkan dengan kejahatan yang dirasakan banyak orang di Muarmerah.
“Tapi Kasim terlalu jahat bagi orang-orang Muaramerah.” Hikam mencoba berdalih untuk mendudukkan keberadaan Kasim di mata Emaknya.
“Emak tahu.”
“Emak tahu, tapi tak melihat. Tak merasakan bagaimana semena-menanya Kasim. Bagaimana penderitaan orang-orang Muaramerah.”
“Emak tahu, Hikam. Tahu. Tapi Emakmu ini tak bisa apa-apa. Emakmu dilarang keras untuk pergi ke Muaramerah.”
“Siapa yang melarang?”
“Lurah Wasari.”
“Dan Emak menurut saja?”
“iya. Tak ada cara lain.”
Hikam terdiam. Suasana jadi terasa beku.
“Emak tahu. Kau tentu tak suka Emakmu kawin lagi dengan Lurah Wasari. Iya, kan?”
Hikam tak menatap Emaknya. Pandangannya jauh keluar jendela. Pada senja yang mulai tersapu warna kelabu. Sesekali kawanan burung bangau membentangkan sayap meniti angin.
“Kebanyakan orang akan mendapatkan nasibnya seperti apa yang dia lakukan. Orang baik akan mendapat kebaikan. Orang jahat pasti akan menuai kejahatan pada dirinya.”
“Iya. Kamu benar, Kam. Nasib tak jauh dari apa yang dilakukannya. Kasim sering melakukan cara-cara yang tak terpuji. Bahkan kejam. Tapi semua atas keinginan dan kemaun Wasari. Kalau setoran yang diberikan kasim kurang dari apa yang diinginkan Wasari, Kasim bakal mendapatkan caci maki. Bahkan dengan tamparan dan lemparan apa saja. Mengerikan. Aku sendiri yang melihatnya tak sampai hati. Semua kata-kata kotor akan keluar dari mulut Wasari.”