Malam di Muaramerah bagai dalam rongga gua batu. Gelap dan amat sunyi. Yang terdengar hanya debur ombak di pantai, desah dedaunan pohon bakau, dan suara serangga di ranting dan akar-akar pepohonan. Angin begitu basah.
Dalam lelap tidurnya, serasa Komariah bagai ditemui Sobari, suaminya yang selama ini hanya bisa terbaring tak berdaya, antara hidup dan mati. Walau sosok Sobari tak begitu jelas, namun suaranya begitu jelas terdengar di telinga Komariah. Bahkan bau tubuhnya begitu menyengat menusuk kedua lubang hidung Komariah. Sobari seperti berbisik.
Komariah, kalau saja aku sudah tak ada, aku harap kau tak meninggalkan rumah kita. Kalau kau ingin melanjutkan hidup dengan orang lain, hiduplah bersama Somari. Dia tulus menyayangimu. Dan kau butuh lelaki.
Komariahpun tersadar, terhenyak dari tidurnya. Segera saja ia lempar selimut dan bergegas menghampiri Sobari yang terbaring. Kecemasan mmebuatnya jemarinya bergetar saat meraba nadi di leher Sobari. Nadi itu sudah tak berdenyut. Tubuhnya pucat. Tak terlihat lagi gerakan nafas pada tubuh Sobari. Seketika itu, Komariah terkulai. Pikirannya kosong. Di kedua kelopak matanya telah menggenang air mata. Bergetar. Lantas meleleh. Kesedihan bagai menyesakkan dada Komariah.
“Maafkan aku ya, Kang,” jerit lirih Komariah sembari merebahkan wajahnya pada dada dingin Sobari.
Segala kenangan hidup bersama Sobari berseliweran di ingatan Komaraih. Kepedihan dan kesedihan yang sekian lama dijalani. Kebahagiaan bersama yang dirampas oleh himpitan kesulitan hidup satu-satu tergambar. Dalam tangis yang tak pernah terdengar jeritnya.
Di luar senja mulai turun. Dusun Muaramerah masih terlihat sepi. Rumaenah pun bangkit dan melangkah menuju ke rumah Somari. Langkah kakinya begitu lamban. Ah, pintu rumah Somari tertutup dan digembok. Komariah agak panik. Lantas ia segera melangkah mencari Somari. Mungkin Somari ada di tambak. Komariah terus melangkah melewati jalan-jalan kecil dan pematang tambak saat mencari Somari.
“Som....Somari...!!!” teriak Komarah dari kejauhan saat meliht Somari yang tengah memberi pakan bandeng-bandeng di tambak.
Somari segera berlari menuju Komariah sembari menenteng ember berisi pelet pakan ikan.
“Ada apa, Kom?”
“Sudah ayo segera pulang dulu!”
“Iya, tapi ada apa?”
“Kang Sobari, Som.”
“Kang Sobari kenapa?”
Komariah tak menjawab, tapi berbalik badan lalau melangkah dengan cepat meninggalkan Somari.
Somari pun bergegas mengikuti langkah Komariah. Wajahnya kecut. Pikiranya penuh dengan pertanyaan. Apa Kang Sobari meninggal? Apa dia sudah mulai sadar? Kalau benar saja meninggal, bagaimana dengan Komariah?
Berbagai pertanyaan terus mengalir, hingga di depan tubuh Sobari yang sudah terbujur kaku. Somari tertegun sedih merasakan bagaimana kakaknya menanggung sakit sekian lama dengan hanya terbujur di atas amben. Dan hari ini, semua deritanya telah berakhir. Ini mungkin jalan terbaik untuknya.
Tak seberapa lama orang-orang Muaramerah telah hadir di rumah Komariah. Berbagai persiapan acara pemakaman Sobari segera dilakukan pada sore itu saja. Memandikan jenazah, mengkafani, dan menyolati. Sementara beberapa orang tengah membuat liang kubur. Hingga adzan maghrib, liang kubur baru selesai digali. Baru seusai maghrib jenazah Sobari dibawa ke liang kubur. Beberapa orang turut mengantar jenazah sembari membawa lampu batrei. Tak seberapa lama upacara pemakaman Sobari telah selesai. Semua orang telah meninggalkan pemakaman, hanya Komariah dan Somari yang masih duduk di hadapan pusaran Sobari. Komarih masih nampak sedih, merenung, dan khusyuk berdoa untuk almarhum suaminya. Sesekali masih terdengar rintih tangisnya.
“Sudah, Kom? Ayo pulang!” ajak Somari dengan suara perlahan.
Komariah beranjak dari duduk dan mulai melangkah menembus kegelapan makam. Lampu batrei Somari memandu langkah Komariah menuju jalan kecil di depan makam.
“Kau tak usah sedih terus, Kom.”
“Iya.”
“Mungkin ini jalan terbaik buat Kang Sobari.”
“Sepertinya begitu. Hidup pun dia tak bisa apa-apa. Hanya terbaring tanpa sadar.”
“Iya, Kom. Kau sendiri sudah melayaninya dengan baik. Itu sudah cukup untuk sebuah pengabdian pada seorang suami.”
Lalu hening. Tak ada lagi percakapan. Yang terdengar hanya langkah sepi dari kaki-kaki orang yang sedang dirundung kesedihan. Dalam keremngan jalan kecil menuju rumah, bulir-bulir gerimis mulai dirasakan Komariah dan Somari. Merekapun mempercepat langkah.
Sesaat mereka sudah sampai di rumah. Komariah segera ke dapur menyalakan tungku merebus air. Somari duduk di sebuah amben kecil menemani Komariah membuat api. Tak seberapa lama, api dari kayu dan ranting kering telah menyala. Panasnya cukup membuat malam itu terasa lebih hangat.
“Seminggu lagi tambakku sudah bisa dipanen. Nanti bisa untuk acara tujuh hari kematian Kang Sobari.”
“Nanti aku hutang lagi sama kamu.”
“Tak usah mikir hutang. Kang Sobari juga kakakku. Sudah kewajiban sebagai adik bersedekah untuk kakaknya.”
“Terserah kamulah, Som. Sekarang apa yang kau katakan aku menurut saja. Aku sekarang tak punya siapa-siapa. Hanya kamu satu-satunya yang bisa buat sandaran hidupku.”
“Tak apa, Kom. Selagi aku bisa. Selagi aku punya waktu buat melakukan sesuatu yang terbaik buat almarhum Kang Sobari.”
“Memang kamu mau mayang lagi?”
“Iya. Nanti setelah acara tujuh hari.”
“Berapa lama?”
“Mungkin agak lama.”
Agak lama Komariah tak menyahut. Tatapannya kosong di depan tungku. Wajahnya terpantul nyala api.