Dunia Sunyi Muaramerah

Ubaidillah
Chapter #18

18. Melawan Angin

Sejak kedatangan polisi ke rumah Somari, Hikam dicekam pertanyaan; atas laporan siapa polisi itu mencari Somari? Kalau Somari yang dicari, kenapa dirinya tak juga dicari? Dan serentetan pertanyaan-pertanyaan lain yang membuatnya malam ini tak bisa memejamkan mata. Padahal malam sudah begitu larut. Ia masih merebahkan tubuhnya di amben. Sementara Mbah Kus sejak tadi sudah terdengar mendengkur.

Satu-satunya orang yang ia curigai melapor kepada polisi hanyalah Emak. Sebab hanya kepada Emaknya dia cerita soal Kasim. Meskipun kepada Emaknya ia tak sampai menyebut nama. Ia hanya bilang orang-orang. Tapi mengapa polisi sudah mencari Somari. Ah, mestinya tak usah cerita saja sama Emaknya. Biar saja ia tak tahu soal Kasim.

Saat tengah merenungi persolan itu, tiba-tiba Hikam dikejutkan oleh suara dari balik pagar rumah.

"Kam! Hikam!" Ujar suara itu dengan nada ditekan. Suara yang nyaris hilang ditelan desau angin pada dedaunan.

Suara itu sudah tak asing lagi. Itu suara Somari. Segera saja ia keluar rumah dan mendatanginya.

"Masuk saja, Som!"

Somari menampakkan diri dari kegelapan. Dengan sigap, Ia masuk ke dalam rumah Mbah Kus.

"Kok bisa ada polisi datang mencariku, Kam? Kau cerita sama siapa?"

"Kalau aku cerita pada orang lain, pasti aku juga dicari, Som."

"Bisa saja ada orang yang lapor ke polisi untuk mencai keberadaan Kasim karena sudah hampir dua minggu tak pulang ke rumah. Jadi polisi ke sini hanya mencari info saja. Aku baru ceritakan masalah Kasim hanya tadi saja kepada Komariah."

"Ya karena ia panik. Aku juga. Tapi aku sudah minta ia untuk berjanji tidak akan menceritakan kepada siapapun. Aku yakin ia bisa jaga rahasia ini. Kau tak perlu khawatir."

"Aku kasihan kalau dia jadi bertambah pikiran, Kam."

"Aku sudah menenangkannya. Aku sudah janji akan membantunya bila kau pergi."

"Pergi?"

"Ya. Baiknya kamu pergi dulu sampai keadaan benar-benar aman. Nanti Komariah biar aku yang menjaganya."

"Perginya ke mana?"

"Ikut mayang saja yang tripnya lama. Bagaimana?"

"Bisa. Kalau itu memang sudah ada rencana aku ikut mayang yang tripnya lama."

"Nah, segera saja kamu berangkat mayang. Kalau perlu pindah kapal sebelum kapal awal sandar di pelabuhan sini. Kau pulang nanti saja, menunggu keadaan seudah aman."

"Asal kau benar jaga Komariah ya, Kam."

"Iya, Som. Aku janji akan menjaganya."

"Terus terang Komariah ingin agar aku mau mengawininya. Cuma perasaanku belum bisa menerima. Aku masih diliputi perasaan dia milik Kang Sobari."

"Biarlah nanti waktu yang bicara, Som."

"Iya."

Mereka terkaget ketika Mbah Kus batuk-batuk. Suara batuknya bagai membuyarkan pikiran mereka.

"Hikam... ." Mbah Kus memangil Hikam sembari menahan batuk.

"Ya, Mbah." Hikam bangkit dan berjalan mendekat ke Mbah Kus.

"Ambilkan minum, Kam."

"Ya, Mbah." Hikam menuju ke dapur mengambil air putih dari ketel. Suara air yang jatuh ke gelas begitu jelas membelah hening.

"Ada siapa?" tanya Mbah Kus saat menerima gelas berisi air putih.

"Somari, Mbah."

"Ada apa?"

"Tidak ada apa-apa. Cuma ngobrol biasa."

"Oh." Mbah Kus meminum air hingga hampir habis. Usai diminum, ia memberikan gelas pada Hikam, lantas kembali rebah di atas amben. Hikam kembali ke ruang depan mendekat di sebelah Somari.

"Kam. Aku sudah bilang ke Komariah kalau ikan di tambakku sudah bisa dipanen. Lusa kau banu dia memanen ikan. Hasil panennya aku suruh Komariah buat menggelar acara tujuh hari kematian Kang Sobari. Tolong nanti dibantu ya, Kam."

"Iya. Nanti biar aku yang menangani panennya. Soal hasil panennya, biar Komariah nanti yang urus."

"Iya, Kam. Terimakasih. Kalau begitu aku pergi sekarang saja, mumpung masih gelap. Aku akan ke pemilik kapal di Trowongan untuk ikut mayang long line. Waktunya biasanya sampai enam bulan lebih. Aku titip Komariah ya, Kam. kalau dia butuh uang, pinjami dia dulu. Nanti itu urusanku."

Lihat selengkapnya