Dunia Sunyi Muaramerah

Ubaidillah
Chapter #19

19. Maklumat Nasi Ponggol

Malam itu orang-oarang Dusun Muaramerah telah berkumpul di rumah Komariah. Acara selamatan tujuh hari kematian Kang Sobari jadi digelar. Meskipun dengan sangat sederhana. Orang-orang hanya duduk di tikar sampai di serambi dan halaman depan rumah dengan lampu penerangan seadanya. Doa-doa dipanjatkan dengan hikmat. Asap kemenyan mengepul menambah suasana menjadi lebih magis. Suara orang-orang saat mengamini doa bagai membelah kesunyian Muaramerah.

Usai berdoa, setiap orang mendapatkan nasi ponggol yang dibungkus dengan daun pisang. Nasi ini tak istimewa. Jenis nasi yang biasa dimakan orang-orang kecil di pedesaan. Tapi justru dari kesederhanaan kemasan dan menunya inilah ponggol menjadi media yang baik untuk menjaga nafas kebersamaan. Makanya, ketika ada sebuah perhelatan dan ada nasi ponggol, perhelatan itu menjadi lebih bertenaga. Pikiran orang-orang akan lebih tenang, sebab perut mereka sudah kenyang, dan akan lebih mudah membawa ke mana arah obrolan.

Seperti malam itu, usai semua yang hadir menyantap nasi ponggol dan kini tengah menikmati teh dan jajanan di atas piring, Hikam berdiri menyampaikan ucapan terima kasih atas kehadiran mereka. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Hikam untuk menyampaikan apa yang kini menjadi keresahannya. Ya, soal Kasim yang keparat itu.

"Bapak-bapak, saya ingin menyampaikan satu hal yang akhir-akhir ini membuat setiap orang Muaramerah merasakan keresahan. Yaitu soal kedatangan polisi yang menanyakan tentang keberadaan Juragan Kasim. Benar Bapak-bapak?"

"Benar.....!" jawab mereka serempak.

"Benar semua merasakan resah....?"

"Benaarrr.....!" Mereka menjawab dengan lebih keras.

"Bapak-bapak, seperti yang Bapak-bapak ketahui dan merasakan semua, bahwa selama berpuluh-puluh tahun Juragan Kasim telah membuat hidup orang-orang Muaramerah tetap saja miskin. Tetap bodoh. Dan penakut. Semua itu terjadi karena kita lemah, bodoh, dan penakut. Orang-orang Muaramerah sejak dulu dibuat tidak berdaya. Dibuat punya ketergantungan dengan Juragan Kasim. Benar Bapak-bapak?"

"Benaaarrr...."

"Kasim juga sering kurang ajar dengan orang Muaramerah," kata seseorang di antara mereka.

"Benar! Kasim sering berbuat tidak senonoh sama perempaun-perempuan Muaramerah. Kaya binatang saja!" kata Warjo dengan rasa penuh kebencian.

"Benar itu! Saya pernah menyaksikan sendiri!" kata Kodir dengan mata melotot.

"Tidak hanya itu. Kalian ingat Rakim? Rakim mati ngambang di sungai, itu juga karena dibunuh orang-orangnya Kasim. Siapa lagi kalau bukan Kasim yang suruh. Tapi ada pemeriksaan polisi tidak? Hah? Ada tidak?!" ujar Kusnali dengan mata melotot. "Istrinya Rakim juga pernah diembat. Kan asu!"

Orang-orang bagai terbawa perasaan geram. Semua wajah begitu serius mendengar luapan amarah yang diomongkan Warjo.

"Tidak itu saja. Waktu Warji anaknya Komariah hanyut kebawa sungai. Apa ada polisi yang ke sini atau aparat desa yang ke sini ikut-ikutan mencari atau menanyakan sebab musabab peristiwanya? Nggak ada sama sekali."

"Orang-orang Muaramerah memang dari dulu seperti dikucilkan. Apa karena orang tua-orang tua kita dulu dianggap ikut partai terlarang sehingga kita pantas dikucilkan?" ujar Kusnali. Orang-orang terdiam. "Itu jelas tidak adil. Memang tahu apa orang tua-orang tua kita soal politik waktu itu. Apalagi kita yang jadi keturunannya. Tapi kita dan keturunan kita nanti seperti pantas untuk menerima hukuman terus-menerus entah sampai kapan. Padahal kita, atau keturunan kita nanti, tahu apa? Salah apa?"

Semua yang hadir tak ada yang bersuara. Apa yang dibilang Kusnali, bagai membuka kegelisahan yang selama ini tak pernah mereka ungkap kepada siapapun. Seperti luka yang disembunyikan. Luka yang menyakitkan dan diam-diam membuat ketakutan.

"Bapak-bapak, kita kembali ke masalah Kasim yang saat ini menjadi masalah kita bersama," ujar Hikam mulai membicarakan Kasim lagi. Sudah hampir dua minggu Kasim katanya hilang dibunuh."

"Hah?! Dibunuh?"

"Di mana?"

"Siapa yang membunuh?"

Suara orang-orang mendengung seperti lebih saat terusik sarangnya.

"Tenang! Semua tenang! Itu sebabnya mumpung kita kumpul, kita bicarakan malam ini agar Muaramerah tetap bisa tenang. Biar maslah itu tidak membuat kita khawatir."

"Mas Hikam! Kabar Kasim kalau mati dibunuh itu dari siapa?" tanya seorang dari mereka.

"Itu kabar dari polisi-polisi yang beberapa hari lalu, malam-malam mendatangi rumah Kusnali dan ke rumah Somari," jawab Hikam.

"Apa yang dibilang polisi-polisi itu?" tanya orang itu lagi.

"Coba Mas Kus, sampaikan apa yang dikatakan polisi-polisi itu! Biar semua dengar," pinta Hikam. 

Perlahan Kusnali berdiri di tengah deretan orang-orang. Semua mata tertuju padanya.

"Yang dikatakan Hikam itu benar. Empat hari yang lalu saya didatangi tiga orang polisi intel. Mereka bilang kalau Kasim sudah dua minggu tidak pulang ke rumah. Katanya ada yang membunuh. Polisi itu tanya, apa benar ada beberapa orang Muaramerah yang cekcok sama Kasim hingga sampai Kasim terbunuh."

"Hah...?!" Orang-orang bengong sebab dari dua minggu yang lalu tak pernah mereka dengar ada keributan orang Muaramerah dengan Kasim.

"Ngawur itu polisinya. Dapat laporan dari siapa? Memang ada diantara orang-orang Muaramerah yang berani ribut-ribut sama Kasim. Jangankan membunuh, buat ribut-ribut dengannya saja pada nggak berani," ujar Warjo dengan muka yang masih menyimpan marah.

"Benar itu...," suara orang-orang kembali mendengung.

"Baik. Coba minta perhatiannya yah. Sekarang yang perlu kita bicarakan itu bagaimana sikap kita kepada para polisi itu kalau mereka datang ke sini lagi," ujar Hikam.

Orang-orang bingung. Tak tahu harus bagaimana.

"Bingung?"

"Iya, Mas." jawab beberapa orang.

"Begini saja. Kita semua kan tidak tahu tentang apa yang terjadi pada Kasim. Terbunuh atau hilang kita ya tidak tahu. Ya sudah. Kalau nanti polisi tanya apa saja kita bilang saja tidak tahu. Siapa saja yang ditanya polisi nanti bilang saja taidak tahu."

"Ya, benar."

"Jangan sampai ada yang menjawab macam-macam. Sebab polisi itu pintar kalau menjebak pertanyaan. Biasanya mereka akan menggiring kita. Nanti kita akan ditanya dengan pertanyaan yang sebenarnya mereka inginkan. Paham?"

"Paham...."

"Sekali Bapak-bapak menjawab yang lain, nanti Bapak akan terus dicecar dengan pertanyaan yang membuat Bapak-bapak tidak bisa mengelak. Itu namanya Bapak-bapak sudah terjebak. Makanya, jawab saja pertanyaan apapun dengan tidak tahu. Pahaaam...?"

Lihat selengkapnya