Pagi itu seorang warga Muaramerah yang hendak ke tambak berteriak-teriak berlarian memanggil-manggil orang-orang saat menemukan Hikam tergeletak di tengah jalan. Beberapa warga menghampirinya dengan wajah penuh tanya.
"Hikam! Hikaam!!!" teriak orang itu berkali-kali. Wajahnya penuh ketakutan.
"Kang Sinur! Hikam kenapa?!" tanya seorang lelaki yang baru saja bergegas keluar rumah menghampiri Sinur.
Beberapa lelaki menyusul menghampiri Sinur.
"Hikam, Kang! Hikam!"
"Hikam kenapa?"
"Hikam tergeletak di jalan!"
"Kenapa?"
"Tidak tahu. Sepertinya habis dianiaya!"
"Hah! Dianiaya?"
"Di mana?"
"Jalan yang menuju rumahnya Komariah."
Beberapa lelaki yang sudah berkerumun menjadi berang. Mereka bergegas berlari menuju jalan yang menuju ke rumah Komariah.
"Kurangajar! Cepat panggil yang lain!"
"Hai! Panggil orang-orang! Pukul kentongan!"
"Iya, Kang."
Seseorang berlari menuju pos ronda. Tak begitu lama bunyi kentong tanda bahaya mulai terdengar. Dari kejauhan orang-orang berlarian menuju ke pos ronda.
"Hikam tergeletak habis dipukuli orang!"
"Di mana?"
"Jalan yang ke rumah Komariah."
"Cepat ke sana!"
Mereka yang telah berkumpul segera menuju ke tempat Hikam tergeletak. Sesampai di sana sudah ada beberapa orang tengah membopong Hikam. Mereka yang baru datang langsung turut membawa tubuh Hikam menuju ke rumahnya. Orang-orang Muaramerah terus berdatatangan ke rumah Hikam. Suaranya menggema. Suara memanas penuh amarah.
"Minggir! Minggir!" seru Kusnali sembari membawa tubuh Hikam.
Kerumunan membelah, memberi jalan lewat mereka yang membawa tubuh Hikam.
Di pintu depan terlihat Mbah Kus kebingungan, panik, dan cemas melihat cucunya tak sadarkan diri dibawa orang-orang, "Hikam kenapa? Heh! Hikam kenapa?!"
"Dianiaya orang, Mbah," jawab Kusnali yang turut membopong dan meletakkan Hikam di atas amben dengan sangat hati-hati.
Komariah terlihat baru datang dengan wajah penuh cemas. "Kenpa dia?" tanyanya pada Warjo.
"Habis dipukuli orang. Coba cari balsem, Kom!"
Komariah agak bingung, "Mbah Kus, ada balsem?" tanya Komariah. Ia panik melihat Hikam masih belum sadar.
"Itu di samping bantal tempat tidurku. Ambil saja!"
Komariah bergegas mengambil balsem, lalu dioleskan balsem itu pada kening, leher, dan perut Hikam. Ada pula yang mengipasi kepala Hikam, membersihkan tubuh Hikam dengan air hangat. Sementara di luar rumah, orang-orang berkerumun memperbincangkan siapa orangnya yang telah menganiaya Hikam.
Tiba-tiba Hikam bergumam. Warjo, Komariah, Kusnali dan beberapa orang yang masih di sekitar Hikam terperanjat.
"Kam! Hikam! Kam! Ini Warjo!" Suara Warjo agak keras sembari menepuk-tepuk pundak Hikam. Berkali-kali Warjo memanggil-panggil Hikam agar ia lekas sadar.
Mbah Kus melangkah mendekat di samping Warjo, lalu ia turut menepuk-tepuk dada Hikam, "Kam! Hikam! Bangun, Kam!"
Berkali-kali Mbah Kus berusaha menyadarkan Hikam. Namun ia tak kunjung sadar. Mbah Kus mulai terlihat lebih panik. Semua orang yang menyaksikan Hikam juga makin cemas.
"Siapa yang tega melakukan ini, Jo?" tanya Mbah Kus perlahan pada Warjo. Wajahnya terlihat amat sedih.
"Tidak tahu, Mbah."
"Apa orang-orangnya Kasim?" tanya Kusnali yang berdiri di samping amben.
"Bisa jadi. Tapi apa alasannya?" jawab Warjo sambil berpikir keras. "Tapi tidak mungkin. Sebab sebelumnya, Hikam tak pernah berurusan dengan Kasim."
"Iya benar. Sebab Kasim sering ke sini membawakan titipan Rumaenah," jawab Mbah Kus.
"Terus siapa lagi kalau bukan mereka? Hanya orang-orangnya Kasim yang kadang ke sini diperintah Kasim. Mereka para preman desa yang cari bayaran pada siapa yang menyuruhnya," jawab Kusnali lagi.
"Terus yang menyuruh mereka siapa, sementara Kasimnya sendiri tak ada di rumahnya?" tanya Warjo.
Kusnali terdiam tak bisa memberi jawaban apa-apa. Begitu pula yang lain. Semua bungkam. Hanya bengong saja.