Dunia Sunyi Muaramerah

Ubaidillah
Chapter #22

22. Cinta yang Sunyi

Siang itu Hikam sudah cukup bisa berjalan dengan baik. Sakit di perutnya sepertinya sudah pulih kembali. Winda baru saja pulang pagi tadi diantar Warjo sampai di jalan raya. Keresahan mulai berkecamuk dalam pikiran Hikam. Seperti mendorongnya untuk segera menemui Komariah yang sejak ada Winda ia tak pernah datang ke rumahnya. Ia curiga, Komariah tak pernah kelihatan karena ada Winda. Makanya, ia khawatir kalau saja Komariah akan salah pengertian

Dalam perjalanan waktu, rasa sayang Hikam pada Komariah makin bulat. Kedatangan Winda tak menggoyahkan cintanya pada Komariah. Meskipun Winda begitu mencintainya. Selalu merindukannya. Mau mencarinya hingga ke Muaramerah. Cinta memang soal hati. Bukan kenyataan yang gampang dipertimbangkan. Sesederhana apapun rasa cinta, tak mudah diuraikan.

Hikam merasa sudah saatnya membicarakan soal ini kepada Emaknya. Meminta Emaknya untuk memberi pertimbangan dan persetujuan atas hubungannya dengan Komariah. Itu sebabnya, siang ini ia berniat ke rumah emaknya di seberang sungai. Ia berjalan menyusuri jalan kecil di depan rumah. Jalan kecil tu memang menuju ke sungai, namun harus memutar. Bila ingin cepat ya harus melewati area tambak. Jaraknya akan lebih singkat.

Matahari belum terlalu tinggi. Masih sekitar jam sembilan lebih dua puluh menit. Angin tak terasa hembusannya. Di pantai tak terdengar debur ombak. Hikam berjalan menyusuri jalan kecil itu. Saat melewati rumah Komariah dilihatnya pintu rumah tertutup rapat. Komariah seperti sedang tak ada di rumah. Mungkin sedang ke tambak, atau ke warung membeli sesuatu. Hikampun terus berjalan menyusuri rindang pepohonan yang memayungi jalan kecil itu.

Sesampai di pinggir sungai, Hikam bertemu dengan Warjo yang tengah duduk di pos jaga penyeberangan.

"Mau ke mana, Kam?"

"Ke Emak."

"Tumben?"

"Ada perlu sebentar."

Warjo dan Hikam melangkah menuju perahu. Dengan cekatan Warjo melepas tali perahu, lalu mendorong perahu itu menuju seberang. Siang itu arus sungai terasa lebih lambat. Sungai terlihat lebih tenang.

Hanya sekitar lima belas menit Hikam berjalan dari sungai menuju ke rumah Emaknya. Sesampainya di rumah emaknya, Hikam agak terkejut melihat ada sebuah mobil dan dua sepeda motor yang terparkir di halaman rumah. Sepertinya ada beberapa orang tamu. Hikam agak ragu untuk langsung masuk ke dalam rumah. Tapi akhirnya ia memaksa diri untuk masuk.

Benar seperti yang dikira. Ada tiga lelaki yang sedang ditemui Rumaenah di ruang tamu. Mereka terkejut saat melihat Hikam datang.

"Kau Hikam. kan?" tanya seorang tamu yang paling tua.

"Iya. Saya Hikam."

"Saya Pak Rusdi, carik desa sini. Ini Harno dan ini Kasan, staf di Balai Desa."

"Duduk sini, Kam!" Rumaenah menyuruh Hikam duduk di sebelahnya. "Begini lho, Kam. Pak Carik dan staf desa ke sini itu hendak membicarakan soal tanah Dusun Muaramerah. Sebab, menurut Pak Carik keberadaan tanah Muaramerah itu memang tanah tidak bertuan. Artinya tanah itu tanah yang tidak jelas pemiliknya."

"Terus?"

"Begini lho, Pak Hikam," lanjut Pak Rusdi. "Karena tidak jelas, maka sewa tanah dan lahan tambak yang selama berpuluh-puluh tahun berjalan itu supaya tetap dijalankan. Nanti hasilnya kita bagi dua, pihak desa separuh, dan separuhnya untuk Emakmu, sebagai pihak almarhum Wasari."

"Kalau seperti itu, saya dan semua orang-orang Muaramerah tidak akan pernah setuju. Itu sangat tidak manusiawi!"

"Tidak manusiawi bagaimana? Tanah itu bukan milik orang-orang Muaramerah," kata Pak Rusdi.

"Secara legal, memang bukan. Tapi tanah itu juga bukan milik desa dan juga bukan milik Wasari. Selama berpuluh-puluh tahun Wasari mengaku-ngaku sebagai pemiliknya karena itu warisan dari orang tuanya. Selama itu pula Wasari menikmati uang sewa dari orang-orang Muaramerah. Itu jelas kesalahan besar. Dan sekarang orang-orang Muaramerah baru berani bersikap setelah Wasari meninggal. Tetapi mengapa sekarang desa juga akan mengulangi kesalahan itu?!"

Dada Hikam mulai bergemuruh. Matanya tajam menatap Pak Rusdi yang hanya terdiam. Sementara Emak hanya tertunduk.

 "Semula tanah itu hanya hamparan rawa yang tak pernah dijamah. Sebelah hamparan rawa itu ada tanah yang dulu untuk menembak mati dan jadi kuburan masal orang-orang yang dianggap ikut partai terlarang. Orang-orang desa ini yang dulu tak tahu menahu dan dianggap punya keluarga anggota partai terlarang itu seperti dipaksa untuk menyingkir ke tanah Muaramerah. Sejak itu orang-orang desa yang diasingkan itu membangun tanah rawa itu menjadi hunian mereka dan lahan-lahan tambak. Tapi kemudian mereka dipaksa untuk bayar sewa lahan oleh orang tua Wasari sampai ke Wasari. Mereka selalu ditakut-takuti dengan hal-hal yang menyangkut partai terlarang itu. Mau sampai berapa keturunan mereka akan terus diperas. Hah!"

"Apa ada saksi dari semua yang ceritakan itu?" tanya Pak Rusdi.

"Ada. Mbahku sendiri. Mbah Kusmadi. Mbahku adalah salah satu orang pertama yang mengalami pengasingan dan bersama-sama orang yang senasib dengan Mbahku mulai membuat gubuk-gubuk kecil di tanah Muaramerah. Orangnya sekarang masih hidup."

Pak Rusdi dan staff merasa makin terpojok. Namun sebagai pejabat desa, ia tetap tak mau begitu saja mengalah.

"Kalau begitu, kita selesaikan masalah ini dengan jalan hukum!" ujar Pak Rusdi dengan nada lebih tegas.

"Baik. Silakan saja desa menempuh jalur hukum. Kami juga punya tuntutan pada desa!"

"Tuntutan apa?" tanya Pak Rusdi dengan nada tinggi.

"Kalau tadi Bapak bilang tanah itu bukan tanah desa dan bukan tanah Wasari. Berarti penarikan sewa lahan tambak selama berpuluh-puluh tahun menjadi tidak sah. Berarti desa telah melakukan penarikan sewa lahan yang sebenarnya bukan haknya. Kami akan menuntut uang sewa lahan yang sudah berpuluh-puluh tahun untuk dikembalikan oleh desa!"

"Yang menarik sewa lahan itu kan lurah Wasari, bukan desa!"

"Lurah Wasari juga mengatasnamakan desa!"

"Tapi tidak pernah ada uang yang masuk ke desa!"

"Itu urusan lain!"

"Kamu jangan sembarangan bicara, yah!"

"Semua itu fakta!"

Rumainah panik melihat Hikam dan Pak Rusdi makin emosi. Ia segera berdiri dan meminta keduanya untuk berhenti berdebat.

"Sudah! Sudah! Sudah! Berhenti!" kata Rumaenah geram. "Pak Carik, sebaiknya Pak Carik pulang dulu saja. Nanti bisa kita bisa bicarakan lagi."

"Tidak usah! Tidak perlu lagi ada pembicaraan di sini. Kalau mau bicara sama saya. Di Muaramerah!"

"Sudah, Hikam! Diam kamu!" bentak Rumaenah. "Kamu masuk! Masuk!"

Lihat selengkapnya