Dunia Sunyi Muaramerah

Ubaidillah
Chapter #23

23. Mereka yang Melawan

Sepulang dari rumah Emak, Hikam dikejutkan oleh banyaknya perahu di dermaga penyeberangan. Ada pula dua perahu motor polisi yang bersandar di antara deretan perhu-perahu kecil. Dengan langkah bergegas, Hikam makin mendekat ke dermaga. Matanya tajam menatap ke seberang sungai. Wajahnya cemas mengawasi dermega di seberang sungai. Dilihatnya beberapa orang yang sedang berbincang-bincang. Sepertinya orang Muaramerah.

"Jooooo...Warjooo..." teriak Hikam sembari melambaikan tangannya.

"Ya, Kang...!" jawab seorang pemuda itu sembari setengah berlari menuju perhau penyeberangan milik Warjo. Orang itu bergegas mendorong perahu ke tengah. Siang itu arus air sungai Ketiwon cukup deras, dan perahu itupun sampailah di dermaga seberang, persis di depan Hikam yang tengah berdiri penuh kecemasan.

"Ada apa? Kok banyak perahu?" tanya Hikam pada pemuda pembawa perahu.

"Pejabat dari balai Desa, Pak." tanya pembawa perahu yang ternyata orang Muaramerah.

"Pak Carik Rusdi?"

"Iya, Kang"

"Warjo ke mana?" tanya Hikam usai melompat ke perahu.

"Tadi Kang Warjo titip perahu ke saya. Kang Warjo mengikuti para pejabat Balai Desa."

"Sudah lama mereka datang?"

"Sudah agak lama," jawab pemuda pembawa perahu sembari mendorong perahu menyeberangkan Hikam.

"Sedang apa mereka?"

"Mengumpulkan orang-orang."

"Mengumpulkan orang-orang?"

"Iya."

"Di mana?"

"Di depan rumah Kang Kusnali."

Hikam jadi mengkaitkan perdebatan dengan Rusdi kemarin di rumah Emak. Rupanya Rusdi masih punya keinginan keras menguasai Muaramerah dengan atas nama desa. Hikam yakin kalau di belakang Rusdi juga banyak yang ingin menguasai Muaramerah. Muaramerah sepeninggal Lurah Wasari seperti menjadi arena bancakan kerakusan orang-orang Balai Desa. Mereka melihat celah lalu beramai-ramai ingin menguasai Muaramerah dengan atas nama desa.

Hikam mulai geram. Usai perahu mendekat ke tepi sungai, ia melompat ke dermaga dan bergegas melangkah ke rumah Kusnali. Sesekali langkahnya setengah berlari. Hembusan napasnya mendengus membuang kekesalan yang menyumpal. Dari kejauhan samar-samar terdengar orang berbicara. Suara orang-orang juga makin jelas terdengar. Suara-suara itu membuat Hikam mempercepat langkah.

Benar saja, Rusdi di depan orang-orang Muaramerah sedang berbicara. Di belakang Rusdi berjajar para pejabat di Balai Desa dan beberap orang polisi. Mereka seperti para pengawal Rusdi yang tengah menyampaikan kerakusannya. Sementara, orang-orang Muaramerah duduk di tanah di depan Rusdi dan pejabat-pejabat Balai Desa. Kaya jaman kolonial saja.

"Jadi tanah ini tanah desa!" ujar Rusdi lantang.

Hikam menghentikan langkah, memasang kuping, mendengar Rusdi berbicara dari jarak yang tak begitu jauh dari kerumunan.

"Setelah Lurah Wasari meninggal, yang mengelola sekarang perangkat-perangkat desa. Carik, bau, pamong-pamong desa, lebe, ulu-ulu. Nanti dana dari sewa lahan Bapak-bapak akan kita kelola untuk pembangunan desa. Tentu dengan perhitungan pengelola dan desa. Pahaaam....?!"

Semua yang hadir tak ada satupun yang menjawab. Semua bungkam. Mereka hanya saling memandang satu sama lainnya. Di antara kepala mereka seperti sudah ada sinyal untuk tidak mau mengikuti keinginan desa. Kemauan Rusdi dan orang-oran Balai Desa.

Melihat tak ada satupun yang bersuara, Rusdi mulai gusar. Ia pun menanyakan lagi, seperti pertanyaan sebelumnya. Namun, tetap saja mereka bungkam. Hikam makin tajam memasang kuping dari balik pohon mangga. Matanya tajam menatap Rusdi.

 "Mau tidaaak?!" tanya Rusdi dengan nada lebih tinggi.

Lihat selengkapnya