Sepulang dari rumah emak, Hikam dikejutkan oleh banyak perahu di dermaga penyeberangan. Ada pula dua perahu motor polisi yang bersandar di antara deretan perhu-perahu kecil. Dengan langkah bergegas, Hikam makin mendekat ke dermaga. Matanya tajam menatap ke seberang sungai. Wajahnya cemas mengawasi dermega di seberang sungai. Dilihatnya beberapa orang yang sedang berbincang-bincang. Sepertinya orang Muaramerah.
"Jooooo...Warjooo..." teriak Hikam sembari melambaikan tangannya.
"Ya, Kang...!" jawab seorang pemuda itu sembari setengah berlari menuju perhau penyeberangan milik Warjo. Orang itu bergegas mendorong perahu ke tengah. Siang itu arus air Sungai Ketiwon cukup deras, dan perahu itupun sampailah di dermaga seberang, persis di depan Hikam yang tengah berdiri penuh kecemasan.
"Ada apa? Kok banyak perahu?" tanya Hikam pada pemuda pembawa perahu.
"Pejabat dari balai desa, Kang," jawab pembawa perahu yang ternyata orang Muaramerah.
"Pak Carik Rusdi?"
"Iya, Kang"
"Warjo ke mana?" Hikam dengan gesit melompat ke perahu.
"Tadi Kang Warjo titip perahu ke saya. Kang Warjo mengikuti para pejabat balai desa."
"Sudah lama mereka datang?"
"Sudah agak lama." Pemuda itu segera mendorong bambu sekuatnya agar perahu bergerak lebih cepat.
"Sedang apa mereka?"
"Sedang mengumpulkan orang-orang."
"Mengumpulkan orang-orang?"
"Iya."
"Di mana?"
"Di depan rumah Kang Kusnali."
Hikam jadi mengkaitkan perdebatan dengan Rusdi kemarin di rumah emak. Rupanya Rusdi masih punya keinginan keras menguasai Muaramerah dengan atas nama desa. Hikam yakin kalau di belakang Rusdi juga banyak yang ingin menguasai Muaramerah. Muaramerah sepeninggal Lurah Wasari seperti menjadi arena bancakan kerakusan orang-orang Balai Desa. Mereka melihat celah lalu beramai-ramai ingin menguasai Muaramerah dengan atas nama desa.
Hikam mulai geram. Usai perahu mendekat ke tepi sungai, dia melompat ke dermaga dan bergegas melangkah ke rumah Kusnali. Sesekali langkahnya setengah berlari. Hembusan napasnya mendengus membuang kekesalan yang menyumpal. Dari kejauhan samar-samar terdengar orang berbicara. Suara orang-orang juga makin jelas terdengar. Suara-suara itu membuat Hikam mempercepat langkah.
Benar saja, Rusdi di depan orang-orang Muaramerah sedang berbicara. Di belakang Rusdi berjajar para pejabat balai desa dan beberapa petugas keamanan. Mereka seperti para pengawal Rusdi yang tengah menyampaikan kerakusannya. Sementara, orang-orang Muaramerah duduk di atas tanah di depan Rusdi dan pejabat-pejabat balai desa. Kaya jaman kolonial saja.
"Jadi tanah ini tanah desa!" Suara Rusdi lantang penuh tenaga.
Hikam menghentikan langkah, memasang kuping, mendengar Rusdi berbicara dari jarak yang tak begitu jauh dari kerumunan.
"Setelah Lurah Wasari meninggal, yang mengelola sekarang perangkat-perangkat desa. Carik dan pamong-pamong desa lainnya. Nanti dana dari sewa lahan yang digunakan Bapak-bapak untuk memelihara ikan akan kita kelola untuk pembangunan desa. Tentu dengan perhitungan pembagian antara pengelola dan desa. Pahaaam....?!"
Semua yang hadir tak ada satupun yang menjawab. Semua bungkam. Mereka hanya saling memandang satu sama lainnya. Di dalam kepala mereka seperti sudah ada sinyal untuk tidak mau mengikuti keinginan desa. Kemauan Rusdi dan para pejabat balai desa.
Melihat tak ada satupun yang bersuara, Rusdi mulai gusar. Dia pun menanyakan lagi, seperti pertanyaan sebelumnya. Namun, tetap saja mereka bungkam. Hikam makin tajam memasang kuping dari balik pohon mangga. Matanya tajam menatap Rusdi.
"Mau tidaaak?!" tanya Rusdi lagi dengan nada lebih tinggi.
Rusdi makin terlihat panik. Keringat di mukanya mulai bercucuran.
"Kalau Bapak-bapak diam saja. Apalagi tidak mau melanjutkan kebiasaan membayar sewa lahan, maka di sini ada Bapak-bapak keamanan. Mereka yang nanti akan menyelesaikan masalah ini!" Ancam Rusdi pada orang-orang.
Mendengar kata-kata Rusdi, Hikam tak bisa menahan geram. Dia melangkah mendatangi kerumunan. Bagai tak ada rasa takut sedikitpun. Matanya terbelalak memerah. Melihat Hikam mendatangi mereka, Rusdi dan para pejabat balai desa mulai panik. Dua orang polisi yang sejak tadi berdiri maju menghadang Hikam.
"Pak Carik, kamu jangan bohongi orang-orang Muaramerah!" teriak Hikam sembari menunjuk-nunjuk tangannya pada Rusdi.
Serentak orang-orang Muaramerah berdiri lalu mendekati Hikam. Suasana makin tegang saat polisi itu menyuruh orang-orang mundur dan menyuruh mereka duduk.
"Berhenti! Semua berhenti! Semua duduk lagi!" bentak seorang polisi pada orang-orang. Namun mereka tak menuruti perintah polisi. Tetap saja mereka berdiri dengan wajah garang. Sementara satu polisi lagi mendekat ke Hikam, memegang pundak Hikam.
"Mau apa kamu! Tanah di sini itu tanah desa!" Dengan lantang Rusdi membalas kata-kata Hikam.
Hikam bertambah geram, lalu memaksa polisi itu melepaskan genggaman tangan di pundak Hikam.
"Jangan sembarangan Pak Carik bicara! Tanah ini bukan miliki desa, bukan milik orang tua Wasari, apalagi Wasari. Apalagi desa. Bukan! Tanah ini tanah yang tak bertuan. Itu sudah sejak dulu, sebelum orang tua-orang tua kami pendah ke dusun ini. Dulu tanah ini hanya rawa yang timbul dari lumpur yang dibawa ombak. Berpuluh-puluh tahun. Bahkan beratus-ratus tahun lalu. Jadilah tanah timbun. Kemudian orang tua-orang tua kami datang ke sini. Menjadikan rawa-rawa ini menjadi gubuk-gubuk, menjadi lahan-lahan tambak. Tapi kemudian diakui sebagai tanah milik orang tua Wasari. Itu dulu kelicikan orang tua Wasari dan Wasari sebagai pewarisnya. Kemudian selama berpuluh-puluh tahun orang-orang Muaramerah diperas dengan keharusan membayar sewa lahan dan bagi hasil panen. Bagaimana bisa sekarang desa malah mengaku-aku sebagai pemilik tanah Muaramerah?!"