Dunia Tersembunyi

Hiday atrum
Chapter #2

Taman Firdos

Taman Firdos.

Selepas hujan pagi itu, cahaya langit lembayung menari di permukaan tanah basah dan berlobang. Genangan air memantulkan rona langit yang menawan, dedaun hijau, dan bunga liar ymeneteskan embun, menciptakan percikan warna biru, hijau, dan ungu yang menenangkan. Udara penuh aroma tanah basah bercampur wangi rumput manila, daun-daun segar, dan sedikit aroma manis dari bunga liar yang baru mekar menenangkan jiwa. Angin pagi membawa kesejukan dan membuat daun-daun menari pelan, seolah menyambut para penghuni taman.

Pohon-pohon raksasa menjulang tinggi dengan cabang-cabang berselaput seperti jamur, lentur dan kokoh sekaligus, seakan mengundang siapa pun untuk bergelantungan di antaranya. Di atas dahan, ibu burung memberi makan anak-anaknya. Sayap mereka berkibar lembut, mengkilap di bawah cahaya mentari, namun tetap menenangkan, bukan menyilaukan. Sungai-sungai yang mengalir perlahan di antara akar pohon-pohon raksasa itu, menambah kedamaian Taman Firdos—rumah bagi atland dan rosman. Tempat ini ibarat surga sekaligus harta karun Kerajaan Han, dianugerahkan kepada makhluk mulia, mereka hampir menyerupai malaikat dan peri.

Di hutan bercampur warna itu, dua rosman kecil berlari, meninggalkan jejak percikan air yang memantulkan warna sekitar. Yang berada di belakang lebih berisik, mengganggu beberapa makhluk hutan yang tertidur—seekor kucing hutan berbulu perak, dan tupai dengan ujung ekor biru pucat berukuran besar.

Dua rosman kecil itu adalah Dien, dan Sem sepupunya. Perawakan Dien sederhana: telinga panjang dan runcing, rambut putih lurus hingga bahu dengan satu pusar di tengah, kulit seputih salju bersemu biru, mata biru berkilau, alis dekat kelopak mata, hidung mancung merona merah, dan bibir yang senada. Bajunya dari kain handuk berbentuk V di dada, selendang wol hitam, sepatu kanvas coklat tua diikat tali lateks. Saat berlari, langkahnya menghantam genangan air hingga memercik, membentuk titik-titik warna biru, hijau, dan ungu yang menari di udara. Sepatu dan celananya basah kuyup. Lubang-lubang di tanah kemungkinan bekas pijakan gajah purba raksasa, makhluk agung berkulit abu-abu kebiruan yang meninggalkan jejak di Hutan pagi ini.

Dien memanggil sepupunya lantang, “Sem, berhentilah! Semii, apa kau tuli?!” sambil berlari mengejar.

Namun Sem tidak menghiraukan. Ia terus melaju dengan cepat, meloncat dari dahan ke dahan seakan tanah dan udara hanyalah jalannya sendiri. Angin menyapu rambut putihnya, daun-daun bergesekan di belakangnya, menciptakan musik hutan yang liar dan hidup.

Tak mau kalah, Dien bergelantungan, berayun lincah seperti kera cerdik. Ranting-ranting menjuntai bergetar di bawah tangannya, seakan memberi ritme bagi langkahnya. Setiap ayunan, setiap lompatan, membentuk bayangan panjang di tanah lembap, seakan menari bersama cahaya lembayung.

Sem tersenyum tipis, berseru, “Kejar aku jika kau mampu!”

Sem berusia sepuluh tahun, tapi tinggi dan gagah, menyerupai remaja. Kulit seputih salju, rahang tirus, hidung mancung, rambut putih berbelah samping, telinga runcing. Bajunya putih dihias prada-prada emas, berkilau lembut di bawah cahaya yang masuk ke dalam hutan, menambah aura anggun sekaligus gagah.

Gerakan mereka luar biasa, lincah dan tepat, seakan tarian cepat yang memadukan kekuatan, kecepatan, dan irama alam. Hutan di sekitar mereka hidup bersama langkah kaki mereka: daun berguguran, ranting bergetar, air tergenang melompat mengikuti hentakan kaki, burung-burung beterbangan panik, dan aroma tanah basah menebar di udara.

Dien berhasil meraih Sem, namun sepupunya sigap menghantamnya, lalu melesat kembali di atas tanah lembap. Dien terdongak, ranting terakhir yang digenggamnya patah, menandai kegagalan pertama.

Tanpa putus asa, Dien kembali memanfaatkan ranting-ranting menjuntai untuk berayun ke depan lebih cepat. Beberapa kali ia mencoba, namun jejak Sem lenyap begitu saja. Dien turun ke tanah, menajamkan pendengaran. Dengungan kumbang petarung, gemerisik daun kering, dan aroma tanah yang terinjak menuntunnya: ternyata Sem ada di belakang, ia ketinggalan. Dien menyesuaikan posisi, bersembunyi di balik pohon berselaput, merasakan kelembapan dan aroma hutan, menunggu momen yang tepat. Selendangnya yang panjang dilepas, untuk ia pake membungkus Sem.

Diamnya hutan pecah oleh kilatan cahaya, membuat Dien menoleh. Sem meluncur di depannya, berayun dengan kecepatan menakjubkan menggunakan anak panah yang terikat tali ajaib. Setiap anak panah menghantam pohon tinggi, tali ajaib menahan dan menariknya, menggantikan ranting untuk bergerak lebih cepat daripada Dien bisa ikuti.

Dien menganga, terpesona sekaligus bingung. Bagaimana mungkin Sem bergelantungan sambil memanah, sementara anak panah itu seakan menariknya sendiri?

Tanpa menunda, ia bertanya sambil berayun, “Sem, itu tongkat sihirmu?”

“Kita baru 13 hari sekolah sihir, tapi kau sudah mampu memanggil tongkat jiwamu. Kau berbakat, saudaraku,” kata Dien kagum.

Lihat selengkapnya