
Taman Firdos.
Selepas hujan tatkala cahaya langit mulai memberikan sentuhan. Di saat air masih tergenang di permukaan tanah berlobang, di atas pohon; ibu burung memberi makan anaknya, terlihat nyaman bila dipandang mata. Sungai-sungai mengalir di bawahnya, sebagai manifestasi dari suasana damai di tempat yang diberkati, rumah bagi para atland dan rosman, yang bernama; "Taman firdos".
Taman firdos ibarat surga dan kekayaan yang dimiliki oleh Kerajaan Han. Dihadiahkan kepada dua golongan makhluk yang memiliki hati mulia, karena bersifat layaknya malaikat dan peri.
Dua rosman kecil berlari di tengah hutan yang mengalir di tepiannya sebuah sungai. Salah satu dari keduanya yang berada di posisi belakang sedikit lebih berisik. Itu mengganggu beberapa hewan yang sedang tertidur, seperti kucing hutan dan juga tupai-tupai. Laki-laki kecil ini adalah Dien. Perawakannya sederhana, telinga panjang dan runcing, rambut putih lurus sepanjang bahu, belah bagian tengah, berpusar satu, kulit putih seperti salju, mata biru berkilau, alisnya dekat dengan kelopak mata, hidungnya mancung merona merah, bibirnya merah selaras dengan warna hidungnya. Dien tidak memakai penutup kepala. Bajunya berbahan handuk membentuk V di dadanya, berwarna coklat muda, dililitkan selendang berbahan wol berwarna hitam, kakinya dibungkus oleh sepatu coklat tua berbahan kanvas, kemudian diikat dengan tali dari lateks yang sudah dibentuk. Dengan kaki itu, ia berlari dan langkahnya besar. Ketika berlari, Dien selalu menghantam genangan air di tanah berlobang sangat kuat, hingga membuat airnya menjadi sedikit. Sepatu dan celana Dien basah. Karna tidak sedikit tanah berlobang di tempat itu. Bisa jadi lubangnya tercipta karna dipijak oleh gajah besar yang ada di hutan.
Dien memanggil sepupunya, kali ini membuat burung-burung yang memberi makan anaknya terbang. Suara Dien lantang, meneriaki sepupunya bernama Sem. "Sem, berhentilah!." Dia berteriak lagi "Semii, apa kau tuli?." Tanya Dien keras sambil berlari.
Sementara Sem sama sekali tidak menghiraukan teriakan itu, ia masih tetap berlari dengan cepat, bahkan meloncat dari dahan ke dahan.
Seakan tidak mau kalah, Dien malah bergelantungan dan berayun seperti para kera yang cerdik, tindakan ini dilakukannya agar bisa menjangkau jarak yang lebih jauh, dengan menggunakan beberapa ranting yang menjuntai ke bawah, ia seakan terbang di udara. Melihat hal tersebut membuat Sem sedikit tersenyum dan berkata "Kejar aku jika kau mampu."
Sem berusia 10 tahun, perawakannya seperti sudah remaja. Berbadan tinggi, tampan, kulit putih salju, bersih dan rahangnya tirus, hidungnya mancung dan rambutnya berwarna putih belah samping. Telinganya runcing seperti Dien dan para rosman lainnya. Dia memakai baju putih dengan hiasan prada-prada emas di bagian dada bajunya.
Gerakan mereka hebat. Padahal usia mereka masih 9 dan 10 tahun. Mereka terlihat lihai dan ahli dalam kecepatan berlari, meloncat dan berayberayu
Dien akhirnya bisa meraih Sem. Ketika Dien mendekat, Sem menghantamnya dan dengan cepat berlari di atas tanah kembali. Dien terdongak dan ranting terakhir yang ia pegang pun putus.
Dien kembali melakukan hal yang sama, menggunakan ranting-ranting itu untuk berayun ke depan. Dien melakukannya beberapa kali. Tapi Dien kehilangan jejak Sem. Dien turun dan mulai heran, bagaimana mungkin Sem bisa sangat cepat darinya. Berpikir sejenak sembari mendengar kumbang-kumbang petarung mengeluarkan dengungan dan gemerisik daun kering yang dipijak oleh kaki Sem. Suara-suara pijakan kaki itu mengagetkan Dien, karena ternyata dia sudah berada di depan Sem. Mengetahui hal itu, Dien mengambil langkah cepat untuk bersembunyi kemudian menunggu Sem datang. Dien berencana menyergapnya, melepaskan selendang yang dikenakannya sebagai pengganti karung untuk membungkus Sem.
Dien bersembunyi dan berdiam di balik pohon, ternyata suara daun patah itu pun tidak terdengar lagi. Cahaya kilau datang seperti kilat yang menyapa sebentar, membuat Dien melihat ke belakang. Ketika ia melihat, tiba-tiba Sem berayun di depannya dengan sangat cepat menggunakan anak panah yang dilengkapi tali ajaib.
Sem berayun seperti yang Dien lakukan sebelumnya. Melihat hal itu, Dien ikut berayun kembali.
Sem menembak pohon-pohon tinggi dengan busurnya dan menjadikan tali ajaib yang menyatu dengan anak panah itu sebagai penariknya. Sem tertarik bukan berayun, itu lebih cepat.
Dien menganga melihat Sem. Ini adalah sihir, tentu saja terlihat tidak masuk akal bagi Dien. Bagaimana bisa, ia bergelantungan sambil memanah dan anak panahnya malah seakan menyeretnya ke depan. Dien pun heran dan berpikir dari mana busur panah itu berasal.
Untuk menghilangkan penasaran, dia langsung bertanya kepada Sem dalam kondisi berayun di tengah hutan. "Sem, itu tongkat sihir mu?." Tanyanya. "Kita baru 13 belas hari sekolah sihir dan kau mampu memanggil tongkat jiwamu. Kau berbakat sekali saudaraku." Kata Dien dengan kagum. "Kau tidak bisa mengejarku Dien, jadi pulanglah!." Perintah Sem dengan suara yang keras, sambil ditarik panah yang menancam di pohon, sekilas Sem seperti terbang. "Aku tidak akan pulang sendirian." Teriak Dien membalasnya. "Hutan terlarang bukan tempat latihan, untuk anak-anak yang baru belajar sihir seperti kita. Kau membuat ini seperti permainan petak-umpet, itu aneh sekali." Tapi Sem masih saja tidak mendengarkannya.
"Hoy, dengarlah!. tongkat jiwa itu, belum tentu bisa menyelamatkanmu. Jika kau tidak mendengarkanku, aku akan memanggilmu tupai nakal sepanjang hari ini." Ujar Dien jengkel terhadap Sem yang tidak menghiraukannya dari tadi.
"Pulanglah Dien!. Kau terlalu berisik atau kau ingin kupaksa pulang dengan caraku?." Balas Sem memperingati Dien untuk berhenti mengejarnya. Sem memanah pohon tinggi dan terdorong ke depan, kemudian melepas talinya, sambil melayang di udara, ia memanah pohon kembali, terdorong dan melepaskan tali, melayang di udara sembari memanah lagi, melakukan itu berulang kali, Sem melihat kawanan lebah madu, kumbang petarung dan tupai-tupai. Seketika Sem mengganti warna busurnya menggunakan sihir. Ia menempatkan tangan kirinya yang memegang busur, di depan wajah; dengan menutup secara diagonal bagian mata kanannya, ia mengatakan; "Akererioba" seketika busur berganti warna, menjadi merah muda.
Ketika warna busur itu berganti, ia berhenti berayun dan memijak tanah. Lalu membidik salah satu dari hewan-hewan tadi. Sem memilih lebah madu. Sem menembak lebah madu, anak panah itu terlihat tidak memakai bagian tajam di depannya, juga tidak memiliki tali seperti sebelumnya. Anak panah itu juga tidak terlihat nyata. Karena ketika mengenai lemah madu, panah itu lenyap seketika. Setelah lebah madu, Sem membidik Dien dan menembakinya juga dengan panah merah muda yang sama. Ketika hendak melepas tembakan itu, suara gajah mengagetkan Sem. Gajah itu besar sekali, terlihat tidak normal dari gajah pada umumnya. Meskipun kaget dan terhenti sebentar, Sem tetap melanjutkan tembakkan itu. Sebab para lebah yang sebelumnya terusik, sudah hampir mendekati Sem. Tatkala tembakan itu mengenai Dien. Lebah madu pun manuver ke arah Dien. Tidak hanya itu, gajah besar pun dibidik oleh Sem, untuk menambah pengejar dan masalah bagi Dien, agar Dien berhenti mengikutinya. Sem tersenyum dan berkata, "Dien, jika kau ingin mengikutiku sampai hutan terlarang, kau harus bebas dari 2 hewan itu terlebih dahulu dan berisiklah seperti tadi, agar para atland datang membantumu."
"2 hewan?" Cetus Dien sambil ternganga melihat kawanan lebah madu menuju ke arahnya. Dien turun ke tanah, Dien tidak percaya Sem bisa melakukan sihir semacam ini. Seekor gajah besar pun juga berlari ke arahnya. Melihat hal itu, Dien jengkel dan reflek mengatakan "Tupai nakal" sebagai manifestasi terhadap panggilan Dien saat ini kepada Sem atas tindakannya. Dien pun menjatuhkan selendang dari tangannya yang tadi diniatkan untuk mengarungi Sem. Dien terpaksa mundur dan berlari pontang-panting sambil berteriak "Dasaar Semi Tupaiiii" mengejek Sem sambil berlari ketakutan.
Gajah dan lebah itu begitu cepat, bahkan tak sempat rasanya, dia meraih ranting-ranting. Membuatnya hilang akal. "Semi tupai, semi tupai, Semi tupai, awas kau Semii…" Kalimat itulah yang keluar dari mulutnya, sambil berlari di sepanjang jalan rumput manila di tengah hutan.
Berlari lurus sepertinya bukan solusi untuk selamat dari kecepatan gajah besar. Akhirnya dia memilih jalan berbelok. Sayangnya, jalan berbelok juga tidak jadi masalah bagi kawanan lebah. Karna saat ini, lebah sudah sangat dekat dengannya. Salah satu dari lebah itu bahkan sudah ada di leher Dien dan lebah itu menyengat leher Dien. Beberapa lebah juga ada di lengannya, di tengkuknya, atas kepala dan setiap kali lebah itu menyengat, Dien jadi terperanjat seakan memasang NOS yang membuatnya terlempar ke depan lebih cepat. Terjadi beberapa kali, sampai Dien melihat sungai yang mengalir lumayan deras. Tanpa pikir panjang, meski belum bisa berenang, Dien meloncat dan menyebur ke dalam sungai itu. Menyelam untuk bersembunyi dan berkata di dalam hatinya, "Semoga saja tidak ada buaya."
Dien menahan nafasnya sekuat yang ia bisa sembari memegang batu besar di dalam sungai. Saat mulai memerah, ia mengeluarkan kepalanya, syukurlah gajah dan lebah tidak ada lagi di sana. Seekor hewan muncul mengagetkannya kembali, membuat Dien memasukkan kepalanya lagi tanpa persiapan. Air sungai pun masuk ke rongga hidungnya, rongga telinga dan tertelan sedikit, membuatnya harus kembali memunculkan kepala. Ketika dilihat, hewan yang mengagetkan tadi ternyata hanyalah seekor kucing hutan.
Dien keluar dari sungai itu, ia lelah hingga menghela nafasnya dengan terengah-engah. Setelah keadaan normal, ia berjalan pelan ke arah pulang. Di Perjalanan pulang, ia teringat pasca latihan bela diri bersama kakak sepupunya bernama Fiqon.
*
Di tanah lapang yang ditutupi oleh rumput babat pada permukaannya, Dien, Sem, dan 2 saudari kembar Fiqon yang masih kecil, berjarak 4 tahun di bawah Dien, sedang duduk melepas penat mereka. Karena baru saja selesai latihan ilmu bela diri. Fiqon sebagai guru mereka dan sekaligus kakak sepupu mereka, sedang memberikan wejangan untuk adik-adiknya. Usia Fiqon saat itu, 19 tahun. Perawakannya lembut, hidung mancung, dadanya bidang, bertubuh ideal, memakai penutup kepala berwarna hijau, memakai rompi biru dan kemeja putih, dipadukan dengan celana biru polos. karakter yang sama dengan rosman lainnya berkulit putih salju bermata biru. Fiqon bercerita mengenai hutan terlarang di taman firdos.
"Lihatlah rumah kita, begitu damai. Jika kalian melihat sedikit perselisihan di taman firdos. Bisa dipastikan, itu hanya sebuah latihan atau hukuman. Tapi di luar sana, kalian akan menyaksikan pertumpahan darah yang sungguhan. Penindasan, saling menjatuhkan, merebut kekuasaan, penghianatan dan kadang kita juga akan menyaksikan; sesuatu yang sangat dipercaya ternyata hanya sebuah dusta belaka. Dusta yang diciptakan oleh mereka-mereka yang memiliki kekuasaan lebih. Dan kita para rosman, tidak dapat melakukan sihir, untuk menghadapi kejahatan dunia itu. Karna kita dilarang. Sebab itu, kita harus melatih ketangkasan, baik dalam segi mental, pengetahuan, cara berpikir, kelapangan jiwa dan juga fisik. Apabila suatu perkara memaksa kita untuk baku hantam. Kita pun siap dengan keadaan itu. Dahulu para rosman bahkan tidak mampu memukul bunga kapas sekalipun. Karena beratnya tangan untuk melakukan, para rosman hanya menggunakan sihir mereka dalam banyak hal, termasuk latihan untuk memperdalam ilmu dari tongkat sihir mereka. Selain itu, tongkat sihir yang bertipe serangan, dahulu tidaklah berguna." Fiqon berhenti sejenak sambil melihat kepada adik-adiknya. Kemudian melanjutkannya kembali.
"Kita semua pasti akan menghadapi dunia luar, karna sudah menjadi tugas dan takdir kita, melayani para han menjadi penyihir penjaga mereka. Bahkan hati kita, tidak mampu menentangnya, sekuat apapun pikiran kita ingin menentangnya. Sebab begitulah kejadian atas karakter kita sebagai; rosman." Dien dan Sem memperhatikan Fiqon dengan seksama. Sementara Fiqon masih melanjutkan wejangannya. "Namun, di dunia luar… tidak lebih mengerikan ketimbang taman ini, apakah kalian tahu, bahwa sejatinya rumah kita yang damai, nyaman dan tentram ini, berdampingan dengan neraka dan nerakanya itu adalah; hutan terlarang." Fiqon.
**
Kita kembali kepada Dien yang berjalan Santai menuju arah pulang. Meski bajunya basah ia tidak peduli. Ketika berjalan, Dien bicara di dalam hatinya. "Aku takut, hal buruk terjadi padamu saudaraku. Hutan terlarang bukan tempat bermain petak-umpet. Dasar tupai keparat."
Sekarang Dien dengan penampilan baru. Karna selendang hitam sebelumnya, terbuang di tengah hutan.
Dien yang sangat kesal kepada Sem, mencoba untuk tenangkan dirinya; dengan cara duduk dan mengatur nafasnya. Dien duduk di bawah pohon apel. Melihat apel-apel lebat dan sangat lezat. Dien pun memetiknya kemudian memakannya. Merasa belum puas, dia mengambilnya kembali dan duduk bersandar di bawah pohon apel sembari mengulang ingatannya; tentang yang dibicarakan oleh Fiqon 2 hari yang lalu.
***
"Sejatinya rumah kita yang damai, nyaman dan tentram ini, berdampingan dengan neraka dan nerakanya adalah; Hutan terlarang". Fiqon.
Sem bertanya,"Fiqon, apa selama ini tiada yang berani ke sana?." Pertanyaan Sem kepada Fiqon, dalam ingatan Dien.
"Tentu saja ada.” Jawab Fiqon kepada Sem sambil tersenyum rapi. "Salah satunya adalah buyut kita, Sehan.” Kata Fiqon dengan lugasnya.
"Apa buyut kita adalah salah satu yang pernah keluar masuk ke sana?." balas Sem penasaran.
"Beberapa rosman dan atland yang mencoba masuk ke sana, tidak pernah kembali. Termasuk Sehan, dia memang berhasil keluar masuk beberapa kali dan pada akhirnya, dia tidak meninggalkan kabar apapun. Lalu menghilang tanpa jejak." Cakap Fiqon sambil melihat jauh ke depan. Kemudian mengarahkan kepala kembali menatap adik-adiknya terutama Sem dan menyambung jawabanya.
"Menurut kabar yang ada, Sehan adalah Penyihir dari bangsa Rosman yang paling hebat." Mengatakannya sedikit pelan dan menekan serta mencondongkan kepalanya kepada Sem. Semua anak-anak itu, melihat dengan penuh kengerian kecuali Sem.