
Jurang kematian.
Di atas taman firdos, mereka terbang dengan percaya diri. Semua terlihat jelas di atas sini, tak ada yang mampu menggambar betapa indahnya tempat ini. Bukan hanya pemandangan, suasananya juga sangat mendukung keindahan. Di mana mentari, tidak menusuk ke pori-pori padahal ini tengah hari. Angin di taman firdos, tidak membuat bibir kering, mungkin terdapat partikel yang sangat kecil seperti molekul air dengan ikatan sederhana berterbangan di dalamnya. Kendati demikian, tubuh Dien dan Andreas tidak lembab sama sekali, Suasana di atas sini betul-betul menawan. Bahkan meski di atas awan, jatuh pun tidak buat ketakutan. Sehingga Dien dan Andreas pun lupa, kalau tempat yang akan mereka datangi itu adalah neraka. Mereka bahkan bersorak kesenangan dan berputar-putar, seakan sedang menaiki roller coaster.
Tiba-tiba seekor tupai memanggil nama Andreas. Tupai itu terlihat sudah tua, ia berjenggot dan berkumis, tubuhnya lebih besar dari tupai pada umumnya. Usia 30 tahun, sementara tupai hanya berusia paling lama sekitar 18 tahun. Artinya tupai ini, lebih spesial daripada Bangsa Tupai yang lain. Mendengar panggilan si tupai, Andreas turun menemuinya. Kuda terbang yang tadi berputar dan menari di atas awan, sekarang harus turun hanya karna seekor tupai memanggil tuannya.
"Andreas, apa kau melupakan janjimu?" panggil tupai itu. Hanya Andreas yang mendengarnya. Karna itu adalah kemampuan utama dari golongan atland.
"Tentu tidak kawan…" Balas Andreas dengan tawa dan terbang mendekati si tupai.
Kuda terbang itu mendarat ke tanah. Andreas dan Dien pun turun dari kudanya. Si tupai yang tadinya berada di puncak pohon tinggi. Terjun bebas ke bawah sambil membentangkan tangan, selaput antara tangan dan kaki membantunya mendarat. Sekilas si tupai seperti terbang layaknya burung, sementara Andreas menanti di bawah. Melihat hal itu, seakan Andreas sedang menangkap buah jambu saja, buah yang jatuh dari pohonnya. Sedangkan Dien cuma terdiam bingung, sejauh manakah hubungan Andreas dengan seekor tupai ini. Apa itu seperti hubungannya kepada saudaranya; Sem yang baru saja ia panggil tupai. Kuda hitam bersayap, tiba-tiba mengeluskan kepalanya kepada Dien, itu membuat Dien menghentikan pikirannya, tentang hubungan tupai dan sahabat barunya; Andreas.
Andreas menyambut tupai yang terjun dari atas, mereka seakan sudah lama tidak berjumpa. Andreas memeluknya dan si tupai membalas. Kemudian mereka berdialog berdua. Sementara Dien sama sekali tidak paham apa yang si tupai itu katakan. Andreas membagikan tas kecil kepada si tupai, di dalam tas kecil, ada beberapa biji-bijian atau bibit tanaman, mungkin di antara bibit itu, ada biji apel dan juga biji jambu. Dikarenakan waktu terus berjalan, Sem sendirian di hutan terlarang, Dien pun memanggil Andreas. "Hay Andreas, mari kita lanjutkan perjalanan kita."
"Andreas…., bukankah itu rosman, ada urusan apakah kau dengannya?." Tanya si tupai tiba-tiba.
"Kami akan pergi ke hutan terlarang, apa kau mau ikut?" Tanya Andreas kepada si tupai tua.
Dien berjalan mendekati mereka kemudian bicara kepada seekor tupai "Aku Dien, kamu siapa?" Dien memperkenalkan diri. Tapi tupai hanya melihat dan memalingkan wajah seakan tak acuh. Hal itu membuat Dien bertanya. "Andreas, kenapa dia tidak menjawabku, bahkan dia tidak merespon sama sekali." Tanya Dien ingin tahu.
"Mereka tidak bisa mengerti bahasamu Dien" Jawab Andreas.
"Kamu bicara pada mereka dengan bahasa yang sama saat kamu bicara denganku. Aku tidak mendengar kosa kata yang berbeda sama sekali. Begitu juga saat kau bicara dengan Baraq." Protes Dien yang mulai merasakan keanehan.
"Ini adalah anugerah dari kejadian kami. Kami bisa mendengar mereka dengan bahasa kami, mereka juga bisa mendengar kami dengan bahasa mereka. Padahal kami tidak mengetahui bahasa mereka yang sebenarnya seperti apa. Itulah kenapa, aku tidak bisa mengajarkanmu untuk mengerti bahasa mereka." Jelas Andreas kepada protes Dien barusan.
Dien terdiam dan mencoba untuk meresapi perkataan itu.
"Tapi aku bisa meminta mereka untuk berteman denganmu jika kau mau." Sambung Andreas kepada Dien yang sedang meresapi penjelasan Andreas. "Bagaimana Dien apakah kau mau?" Tanya Andreas. Melihat Dien yang hanya termenung.
"Iya tentu, aku mau Andreas." Jawab Dien setelah ia mulai mengerti maksud dari kalimat anugrah sebelumnya.
"Simon, kenalkan ini adalah temanku, namanya Dien. Dia dari golongan rosman. Dia ingin berteman denganmu." Ucap Andreas dengan kebiasaannya ketika bicara yaitu, sambil tersenyum setiap kali mengatakan sesuatu, meskipun kepada seekor tupai.
Andreas memang penuh dengan keceriaan di wajahnya, ia begitu senang tersenyum dan tertawa. Semua mungkin menyukainya, jikalau ia sedikit lebih sopan ketika bicara.
Mendengarkan perkataan dari Andreas, Simon pun menjawab dengan penuh kegembiraan "Baiklah, aku akan berteman dengannya, beritahu dia namaku Simon" respon si tupai tua bernama Simon.
"Nama teman kecilku ini adalah Simon. Jika kau memanggil namanya, mungkin dia akan mencoba mengerti bahasamu. Meskipun sulit, dia akan tetap berusaha mencobanya."
Si tupai meraih tangan Dien, lalu bergelantungan pada Dien, hingga berdiri di atas bahu Dien. Sembari Andreas mengatakan perihal yang tadi ia katakan mengenai Simon.
Melihat respon itu, Dien pun memanggil nama si tupai. "Salam kenal, teman kecilku, Simon. Oh iya, itu adalah nama yang sangat bagus untukmu." Ujar Dien sambil mengheluskan tangannya ke kepala Simon.
Simon terlihat nyaman, lalu memberikan Dien biji apel yang ada di dalam tas kecilnya(hadiah dari Andreas barusan). Kemudian Dien mengambil biji itu dan memberikannya kembali kepada Simon si tupai tua. Simon menerima pemberian itu lagi, kemudian berlari di atas tanah dan menggali tanah dengan tangannya, kemudian mengubur biji itu di dalamnya.
Dien terkejut, sangkanya Simon sedang marah. Karena ia memberikan biji apel itu kembali. "Ada apa dengan Simon?" dia tanyakan hal ini kepada Andreas.
Seperti biasa, Andreas selalu tertawa ketika berbicara. Minimal, ia tersenyum dahulu sebelum mengatakan sesuatu atau mengatakan sesuatu sambil tersenyum.
"Itu memang kebiasaan para tupai, ia bermaksud untuk menyimpan makanannya di dalam tanah. Tapi kadang para tupai lupa di mana ia menyimpan makanan itu, dan ketika ia mengingatnya, ternyata makanan itu sudah menjadi pohon." Kemudian Andreas tertawa.
Sebenarnya itu tidak begitu lucu. Tapi apa yang Andreas pikirkan tentu saja adalah hal yang sangat lucu. Tapi sayang, dia tidak menyampaikan itu kepada Dien.
Bisa jadi yang ia bayangkan adalah perasaan seekor tupai yang kelaparan tatkala mencari di mana ia menyimpan makanan dan ternyata, makanan itu sudah tumbuh menjadi pohon. Kemudian si tupai pun menangis dan Andreas tertawa di atas penderitaan seekor tupai. Bisa jadi pula yang ia bayangkan memang sesuatu yang tidak terjangkau dalam pikiran kita. Andreas memang unik, seunik tupai yang bisa terbang tapi tak memiliki sayap seperti burung. Seunik Sem yang berayun menggunakan anak panah, di dalam hutan yang rindang.
Setelah tupai itu menanam biji apel, ia berlari ke arah Dien dan berkata "Aku ikut ke hutan terlarang, aku akan mengambil bijian-bijian langkah di sana." Dengan lugasnya tanpa sedikitpun rasa takut dari si tupai tua itu.
Andreas menjadi translator tupai tua. "Simon ingin ikut bersama kita," Dien melihat ke arah Andreas, sedikit tidak setuju. "Itu kemauan Simon" jawab Andreas memperjelasnya kepada Dien. Apa boleh buat, Dien hanya bisa terdiam.
Simon memanjat tubuh Dien, kemudian berdiri di atas bahunya. Mereka semua bergerak kembali, begitu juga kuda hitam yang sedari tadi hanya menikmati rehatnya. Kemudian sayap pun dibentangkan kembali, si tupai mengikuti gerakan itu juga, dari atas punggung Dien. Andreas melihat hal itu dan tertawa, kemudian bilang; "Jangan berkhayal Simon." Dan mereka pun tertawa bersama. Bersamaan dengan tawa itu, Andreas mengatakan "Baraq maju!" Baraq pun berlari kemudian terbang melaju, menuju nerakanya taman firdos.
Di atas awan mereka melanjutkan percakapan. "Para tupai ibarat atland di hutan. Mereka sangat berjasa menanamkan bibit pohon di hutan. 'Hahaha' itu adalah sebuah kekurangan bagi para tupai. Tapi kekurangan itu, jadi sangat bermanfaat untuk makhluk hutan lainnya. Simon-simon, kau begitu baik sekali kawan…" langit dihiasi suara tawa mereka. Lebih tepatnya, suara tawa Andreas Atland.
Tawa-tertawa akhirnya semakin dekat dengan hutan terlarang. Ketika terbang, tiba-tiba Baraq si kuda terbang menabrak sebuah pembatas. Hal ini membuat Baraq dan yang lain terbentur sebuah pembatas yang tak terlihat. Namun pembatas itu lebih kuat dari pada besi manapun yang ada di dunia. Mereka setengah sadar, Andreas hampir saja melepas tali pegangannya. Sementara Dien, sama sekali tidak sadarkan diri, ia memang benar-benar terjun ke bawah. Tidak ada yang akan menyambut mereka di bawah sana. Bahkan para kera pun menghindari lokasi itu. Tanah dan pohon-pohon tinggi, bisa saja jadi akhir dari kehidupan mereka. Simon si tupai tua, mendarat ke hidung Baraq, kemudian menggigit hidung Baraq, hal ini berhasil membangunkan Baraq si kuda terbang. Hampir saja semuanya terjatuh membentur tanah. Untung saja, si kuda terbang tersadar dari peningnya. Lalu menyelamatkan 2 bocah tengil ini dari kematian.
Di permukaan, Simon mengeluarkan bau busuknya. Kemudian 2 anak laki-laki ini terbangun dari mati surinya. Mereka mengeluh dan berkata "Bau taik, siapa yang buang kotoran di hidungku?." Mereka berdua mengatakan hal yang sama dengan ritme yang sama pula. Dalam keadaan seperti itu mereka masih saja bisa bercanda. Karna Andreas kembali tertawa.
"Andreas berisik, gak ada yang lucu kau tahu. Tertawaanmu malah membuat kepalaku pusing." Protes Dien.
"Hahaha, tidakkah kau sadar Dien, kita tadi serentak. Kita baru saja kenal, tapi kita sudah sekompak ini. Menurutku itu sangatlah lucu dan hebat."
"Ha ha ha, sama sekali tidak lucu Andreas. Kecuali benjolan di kepalamu, mungkin itu bisa membuatku tertawa…" Dien terdiam sejenak "Eh betulan, kau ini siapa?...." Andreas pun berhenti tertawa dan melihat Dien heran "Wajahmu berubah, kau seperti baru saja disengat lebah, Sumpah aku tidak mengenalmu, hahaha" Kata Dien ikut-ikutan mencari bahan bercandaan.
"Ini bukan sengatan lebah tapi seperti dicium gajah besar, hahaha disedot pake belalainya yang panjang." Kata Andreas membalasnya, sambil melihat ke barat eh ternyata; "Dien, lihatlah Baraq, kepalanya seperti tumbuh tanduk, itu jauh lebih keren daripada polos seperti sebelumnya." Mereka tertawa lagi. Sementara Simon, hanya memperhatikan 2 bocah tengil ini.
Tiba-tiba para kera mendekati mereka, tadinya mereka mengira Dien dan kawan-kawan telah mati. Tapi ternyata, mereka malah tertawa terbahak-bahak. "Makhluk macam apa mereka, ku kira mereka mati tapi malah kesenangan kaya gini." Ucapan salah satu kera yang lebih mencolok dari warna bulunya yang berwarna coklat keemasan.
Andreas mendengar para kera itu bicara. "Hay kau. Aku atland, aku bisa mendengar kalian. Kemarilah, kami butuh bantuan!" Andreas mengatakan itu dengan suara yang keras agar para kera yang berada di atas pohon itu mendengarkannya.
"Jangan berisik. Di sini berbahaya." Kata para kera. Kemudian, Andreas memanggil kera itu, "Hay kau. Jangan berbisik, jarakmu terlalu jauh. Apa kau tidak diajarkan sopan santun?"
"Kami para kera, kami tidak butuh itu" kata salah satu kawanan kera. Mereka ini ada banyak sekali. Sebagian dari mereka menampakan dirinya, sebagian lagi tetap bersembunyi.
"Tapi tidak di hadapanku, kalian perlu sopan-santun, karna aku adalah atland." Andreas mulai mengatakan hal itu dengan berdiri.
Para kera pun mencela Andreas. "Enak saja, aturan dari mana itu?." Tanya beberapa kera yang berlari ke sana ke mari.
"Itu aturanku. Sebab aku atland. Tugasku adalah menuntun kalian, tidakkah kalian sadar. Kita sedang berdialog sekarang." Kalimat Andreas mulai memberi tekanan.
"Benar juga, ‘iya benar juga’ dia bisa berdialog dengan kita." Bisik para kera yang mulai coba untuk mengakui. Para kera itu mulai mendengarkan Andreas. Salah satu dari mereka mendatangi tempat Andreas dan kawan-kawannya berada. "Baiklah atland, kami adalah sekelompok kera yang tinggal di area sini. Kami menunggu burung-burung jatuh dari atas, kadang mereka membawa buah-buahan, kadang mereka membawakan kami ikan. Kadang kami memakan burung-burung yang telah mati itu."
Andreas melihat sekelilingnya. Ternyata benar, bahwa banyak sekali burung-burung yang telah mati.
"Dien, lihatlah sekitarmu." Dien pun melihatnya dan sadar kalau mereka berdiri di antara bangkai para burung. Yang barangkali jatuh sebagaimana mereka tadinya terjatuh. "Andreas" Kata Dien, mengatakannya sambil berdiri dari semulanya duduk tenang. Begitu juga dengan tupai dan juga kuda terbang. Mereka semua berdiri. Mereka berdiri ditengah darah, daging busuk serta tulang-belulang dan juga bulu-bulu dari sayap bermacam ragam burung.
"Ini sangat mengerikan, bagaimana ini bisa terjadi?" tanya Andreas kepada kera yang ada dihadapannya.
"Mereka menabrak pembatas dari hutan terlarang. Pembatas itu tidak terlihat. Seperti kalian tadi. Kami selalu menjauh setiap kali ada benturan yang besar menabrak pembatas dari atas, saat kami mengira mereka sudah mati, kami pun datang berlari untuk bertahan hidup"
"Apakah itu kenyataannya?." Tanya Andreas heran tak percaya, sementara yang lainnya hanya menyimak, apalagi Dien. Ia sedang berusaha memahami percakapan mereka. "Kenapa kalian tidak memakan buah-buahan di hutan ini saja?" Tanya Andreas sekali lagi.
"Leluhur kami melarang kami pergi dari area ini. Leluhur kami juga melarang kami makan buah-buahan di tempat ini. Karena para ular meletakan racunnya di dalam buah-buahan kami. Sehingga itu menjadi racun yang membahayakan bagi kami."
"Ular meletakan racunnya ke dalam buah?. Aku tidak pernah melihat hal itu" kalian memang kera yang paling dramatis hidupnya, itu sangat memprihatinkan.
"Aku akan mengajarkan kalian beberapa hal, buah di sini mungkin beracun untuk pohon-pohon yang berumur tua. Tapi tidak untuk pohon yang baru saja tumbuh, percayalah. Karna ular tidak bisa meletakkan racunnya ke dalam buah." Aku atland, aku sangat mengetahui hal semacam itu." Jelas Andreas kepada para kera. "Simon" Sambungnya memanggil tupai tiba-tiba.
Simon pun langsung paham dan memberikan biji-bijian kepada kera yang ada di hadapan Andreas. "Tanamlah ini!. Aku bersumpah dan bertanggung jawab. Kelak buahnya aman dan lagi segar untuk kalian makan. Tentunya tidak akan beracun sama sekali." Teriak Andreas kepada kawanan kera. Dien tentu saja mulai mengerti sekarang. Meskipun tidak 100 persen ia mengerti. Dien melihat para kera itu kegirangan, sebagian dari mereka meloncat dan berayun, melihat hal itu membuatnya mengingat tentang perkara tadi pagi. Saat ia mengejar saudaranya Sem. Karena hal itu, dia jadi berdiri di atas darah. Sambil melihat para kera melompat-melompat, dia juga melihat para kera mulai bercocok tanam. Pemandangan semacam ini belum pernah dia temui.
"Andreas, aku teringat saudaraku. Kita sudah di hutan terlarang bukan?" Tanya Dien kepada Andreas, di tengah iruk-pikuk kawanan kera.
"Baiklah guruku, aku akan tanyakan tentang saudaramu itu." Jawab Andreas dengan santunnya. "Wahai para kera, sejatinya kami kemari, karena ingin mencari teman kami bernama Sem. Apa kalian melihatnya?."
"Bagaimana Sem itu" tanya salah satu kera dan salah satu dari yang lainnya meminta kawanan kera itu diam.
"Guru, bagaimana Sem itu" kata Andreas mengulang pertanyaan seekor kera.
"Dia sepertiku agak lebih besar, ia memakai baju berwarna putih dilengkapi oleh prada-prada keemasan. Kancing bajunya terbuka dadanya kelihatan, Ia seperti sudah dewasa karena tinggi padahal masih 10 tahun sama seperti ku. Oiya, dia juga membawa busur panah." Jawaban Dien memperjelas pertanyaan itu.
"Teman kami itu berbaju putih, dia seperti rosman yang disampingku, telinganya panjang dan runcing ke atas. Dia membawa busur panah. Jika kalian melihatnya, tolong berikan tanda padanya. Bahwa kami sedang mencarinya." Perkataan Dien di-translate oleh Andreas untuk bisa dimengerti para kera. "Dan ngomong-ngomong kami ingin ke hutan terlarang, di manakah hutan itu?" Sambung Andreas kepada para kera.
"Andreas, untuk apa tanyakan hal itu pada mereka, ku kira inilah hutan terlarang itu. Bukankah seharusnya kamu lebih tahu dariku?." Ujar Dien memotong pembicaraan Andreas dengan para kera. "Bukankah kau pernah ke hutan terlarang dan selamat. Bahkan kau juga pernah mengejar pelangi hingga pelanginya takut padamu."
"Tenanglah Dien, aku ini bukan rosman."
"Bodoh, kau berbohong tentang itu?." Dien kaget. "Bukankah kau tahu, kalau hutan terlarang bukan tempat permainan anak-anak." Tegas Dien kepadanya.
"Aku cuma ingin menepati janjiku Dien. Aku ingin membantumu yang lebih bodoh itu adalah Sem saudaramu, bukan aku. Sekarang kita sudah ada di sini, kita selesaikan perkara yang sudah kita mulai ini dan temukan Sem. Semoga dia masih hidup." Cakap Andreas mulai membuat Dien terkesima. "Baiklah para kera, sampai jumpa nanti. Jangan lupa tentang Sem teman kami itu." Pesan terakhir Andreas jelas, kepada para kera.
Salah satu dari kera memanggil Andreas. Ia memanggilnya sambil berayun-ayun. Kera itu sebelumnya berada di bagian paling atas dari pohon yang paling tinggi.
"Tunggu, kau sangat baik. Hutan terlarang ada di depan kalian, itu berjarak kisaran 1120 hasta lagi dari sini. Hati-hati jangan berlari dengan cepat bahkan terbang ataupun berayun. Pembatasnya bisa membunuh siapapun yang memberi mereka tekanan. Pembatas itu seperti bidang trapesium yang terbalik. Semoga ini bisa membantu kalian."
"Kau kera yang paling cerdik dari kera lainnya, siapa namamu?." Tanya Andreas.
"Koi." Dia pun berayun kembali dan mengucapkan "Sampai jumpa lagi."
"Sampai jumpa kembali Koi" jawab Andreas sambil melambaikan tangannya. Kemudian memandu jalan.
"Nama kera tadi Koi. Kau bisa ingat bentuknya, bulunya coklat keemasan. Dia beda sendirian. Hutan terlarang di depan kita, itu kisaran 1111 hasta lagi dari sini katanya. Ingat, jangan berlari apalagi terbang dengan cepat. Karna pembatasnya sudah berada di atas kita, pembatas itu seperti bidang trapesium yang terbalik." Andreas berdiri di depan, lalu disusul oleh Simon yang memanjat ke bahunya. Sementara Dien menarik tali kuda, si kuda mengatup habis sayapnya sampai tak terlihat dan berjalan beriringan.
Setelah berjalan kisaran 485 meter, mereka merasa beban di udara menekan bahu mereka dari atas. Rasanya mereka berjalan sambil mengangkat 4 ekor kera sekaligus. Sekarang menjadi 15 ekor kera. Sepertinya mereka semakin dekat dengan pintu pembatas hutan terlarang.
Sekarang mereka merasa menggendong seekor gajah sebesar gajah tadi pagi yang mengejar Dien, mereka pun berhenti bergerak. Ini teramat berat, sangat berat sekali. Bahkan Simon si tupai seakan hampir mati.
"Aku merasa sedang menggendong seekor gajah" kata Andreas yang terkulai lemas. Kemudian telungkup di atas tanah.
Dien mulai muak dengan ini semua, dan berkata "Kalau ini hanyalah ilusi. Aku yakin tidak mungkin kita mampu bernafas, kalau beban kita sekarang seperti mengangkat seekor gajah. Kalau lah ini adalah kenyataan, maka jelas kita tidak akan sanggup mengangkatnya. Atau bisa jadi tulang kita pun patah karenanya." Kemudian Dien berteriak "Seeeemm, aku di sini. Aku hampir mati Sem, kemarilaaaah!. Atau kau akan kehilangan aku selamanya." Dien berteriak sekeras-kerasnya. Ia marah dengan ilusi yang mempengaruhinya "Aaaaahhh" "Wahai penjaga hutaaan, aku tidak takut padamu, keluarlah!" Kemudian kembali berteriak sekuat-kuatnya "Aaaaaaahhh." Sambil mengangkat paksa badannya. "Aku tidak akan kalah melawanmuu" "Aku, aku Dien. Aku adalah Bangsa Penyihir Suci. Aku tidak akan kalah darimu…..Aaaaaaaaaaaaaa" Pekiknya begitu keras dan menggelegar. Akhirnya, ia mengambil batu dan melempar sekuat tenaga ke arah pembatas di depannya. Meski mengayunkan tangan saja sulit, ia tetap melakukannya sekuat yang ia bisa. Tak disangka ternyata, batu itu bisa terlempar sangat kuat, hingga mengenai pembatas yang saat ini sudah berjarak 8 meter dari tempat Dien bersimpuh. Batu itu memantul ke belakang, hampir saja mengenai Dien. Untung saja Dien bisa menghindarinya. Dien menderuk batang lehernya, kiri dan kanan. Menderuk tulang punggung. Kemudian berdiri seperti biasa. Melihat hal itu, Andreas dan Simon pun ikut melakukannya. Dien menyentuh Baraq kemudian mengangkatnya agar berdiri. Dien begitu kuat dan begitu marah karena telah dipermainkan oleh alam gaib di hutan terlarang. Ketika itu juga, si kuda pun bisa terbang kembali. Baraq dengan leluasa mengibaskan sayapnya. Mereka kembali bersemangat "Aku siap mati" Api membara membakar semangat mereka. Mereka kesal karena dipermainkan oleh alam gaib di hutan terlarang. Mereka memang bukan penyihir yang hebat atau atland dewasa. Tapi mereka adalah 2 anak yang punya mimpi besar, mereka kuat dan bersemangat.
"Seeeemm" Kali ini Andreas ikut memanggil Sem.
"Seeeeeeem" Dien mengulanginya.
"Seeeeeeeem" Simon pun ikut berteriak.
"Seeeeemmmmm" Baraq pun juga. Kemudian mereka sama-sama melemparkan batu ke arah pembatas. Seperti halnya tadi, batu pun berbalik kembali. Mereka melakukannya sampai beberapa kali. Karna kesal kepada ilusi yang hampir saja membunuh mereka. Batu itu tetap kembali berbalik ke arah mereka. Tapi mereka bisa menghindari batu itu, termasuk Baraq meskipun Baraq tidak ikut melemparkan batu. Tiba-tiba Andreas tertawa terbahak-bahak.
"Andreas, Andreas" panggil Dien setengah panik sembari menepuk-nepuk bahu Andreas. "Kau kenapa, apa kau kerasukan roh jahat?. Ku mohon jangan menakut-nakuti ku"
"Tidak Dien, aku cuma heran dan lucu. Kalau hutan terlarang ternyata memiliki sebuah pembatas. Lalu bagaimana para rosman dahulu memasuki tempat itu. Hahaha apakah mereka mengarang cerita?. Hahaha itu adalah hal yang teramat lucu. Para rosman ternyata bisa menipu kita."
"Tidak mungkin Andreas. Berbohong bukan sifat lahiriah dari para rosman. Sama halnya mengingat dengan lama di mana biji makanan itu disimpan, bukanlah sifat dari seekor tupai"
"Hm, hampir saja aku berprasangka buruk, Dien. Tapi aku harus mempercayaimu karena engkau adalah guruku." Ujar Andreas menghentikan tawanya.
Mereka rehat dulu sejenak, setelah terbebas dari ilusi mengangkat benda berat.
Andreas merasa haus begitu juga dengan Dien. Di tempat itu masih penuh pohon-pohon. "Dien berkata dimana kita bisa mendapatkan air?."
"Apa kau tidak bisa menyihir sesuatu menjadi air?." Tanya Andreas.
"Itu bukan kemampuanku." Jawab Dien sambil menghela nafasnya. Dien juga bicara di dalam hati; "Rintangan akan semakin berat. Aku harus bisa memanggil tokat jiwaku. Sem saja bisa melakukannya, kenapa aku tidak?, aku pasti bisa."
"Tidak masalah, ini adalah hutan, di hutan ada semua hal yang kita butuhkan." Ujar Andreas dengan santainya. Tapi tentu saja itu benar.
Mereka lebih membuka mata, untuk melihat sekitar. Di sini ada bermacam ragam jenis tumbuhan, ada pohon kapas, ada pohon penghasil karet juga, bahkan ada jenis tanaman hias, seperti halnya talas, melati dan juga monstera variegata bahkan sawit hutan berdiri kokoh di sana. Monstera variegata itu rimbun sekali menjalar di pohon besar bernama sequoia. Pohonnya begitu tinggi, mungkin mencapai 100 meter, dan lebarnya kisaran 6 meter. Kita juga melihat rumpun bambu dan juga batu panjang seperti tebing di dekat pembatas tak terlihat itu. Dari semua yang ada di sana, bambu dan talas menjadi pilihan utama dari apa yang Dien dan Andreas butuhkan.
"Di sana ada bambu, siapa tahu ada air bambu di salah satu batangnya." Kata Andreas.
Mereka pun mengetuk bambu-bambu itu, Dien menemukan air di salah satu bambu yang diketuknya. Mereka mengambil batu dan memukul bambu itu sampai pecah, mereka meminum air yang berlimpah dari batang bambu. Mereka juga mencabut talas besar dan mengambil umbinya "Di sini tidak tumbuh pohon berbuah api, bagaimana kita memasak umbi ini biar enak dinikmati atau mungkin kau punya sihir semacam memunculkan api Dien?..." Tanya Andreas.
"Aku belum mempelajarinya Andreas." Jawab Dien. Tapi kita bisa menciptakan api."
"Kita menciptakan api?...., maksudmu tanpa buah api atau bola merah dari kerajaan asebel yang dijual; di pasaran. Kau tidak sedang bercandakan?..." Tanya Andreas dengan mata yang mulai membesar tanda ia penasaran.
"Tentu saja tidak Andreas. Kakakku Fiqon mengajarkan permainan penciptaan api ini padaku, kita akan mencobanya, Karena itu sangatlah mudah." Balas Dien meyakinkan.
Buah api di dunia tersembunyi adalah buah yang bijinya apabila ditetesi air dan kemudian ditumbuk dengan batu atau semacamnya, akan mengeluarkan api. Sementara bola merah yang dijual dipasaran, adalah suatu benda yang menghasilkan api murni, produksi dari Bangsa Asebel. Mulanya bola merah itu, berwarna putih yang kemudian dibenturkan ke dinding atau ke tanah, lalu menjadi merah. Setelah bola memerah, bola itu pun dibuka dengan kunci khusus, dan terbuka menjadi 2 bagian, di salah satu bagiannya terdapat api murni yang bisa digunakan selama 40 hari. Setelah 40 hari digunakan, api itu akan padam dengan sendirinya. Proses perapian di dunia tersembunyi ini unik sekali. Karena di Bumi Manusia, tidak ada yang namanya buah api, sesuatu yang hampir serupa dengan buah api bisa jadi ada, benda itu disebut; logam sodium, logam empuk yang apabila terkena air, akan menciptakan ledakkan. Di Bumi Manusia juga banyak sekali cara-cara memunculkan api, bahkan bisa dari pantulan matahari dan kaca pembesar. Jika pun di dunia tersembunyi hal semacam itu ada, tapi tidak satu pun penghuni di sana melakukannya, mereka cukup menyimpan buah api ke dalam bagasi-bagasi mereka, atau membeli bola merah setiap 40 hari sekali. Namun satu-satunya penghuni di dunia tersembunyi yang mengetahui tentang banyak hal mengenai api, adalah Fiqon Rosman. Ia mengajarkan banyak pengetahuan semacam teknologi abad ke-19, tahun masehi di Buminya Manusia. Entah dari mana ia mengetahui hal semacam itu.
Andreas bertanya "Bagaimana, cara kita menciptakan api tanpa sihir ataupun buah api Dien?."
"Ambilah beberapa daun kering dan ranting-ranting Andreas!. 'Lalu, apalagi guru?' aku juga butuh batu dengan permukaan yang rapi. Selain itu, aku butuh buah yang memiliki serabut seperti kelapa tua atau rumput kering yang mudah terbakar. Oh iya, tadi di sebelah sana, aku melihatnya pohon sawit, buah sawit yang kering pasti berjatuhan di sekitarnya, itu saja sudah cukup kurasa. aku cuma butuh lima biji." Kata Dien memandu kawan-kawannya.
Andreas pun ikut memberi instruksi "Simon sepertinya kau bisa mengambilkan buah sawit itu untuk Dien." Simon dengan senang hati melakukannya. Pokok sawit itu tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Simon memanjat pohon kemudian melompat tinggi ke arah sawit itu.
Andreas mengumpulkan ranting-ranting, daun kering dan juga kayu bakar. Sementara Dien mencari batu dengan permukaan yang rapi. Dien lebih dahulu selesai kemudian disusul oleh Simon dan Andreas masih merapikan kayu dan tempat pembakaran. Di Area bambu tempat mereka tadinya minum, Dien mengambil serambut dari sawit kering itu. Kemudian menempelkannya dengan batu yang ia cari sebelumnya. Setelah itu, ia menggesekan batu itu dengan batang bambu yang ada di depannya, kemudian serambut sawit itu pun terbakar, Dien melangkah 2 langkah menuju daun-daun kering yang telah dikumpulkan oleh Andreas, api membakar daun-daun itu, dan mereka pelan-pelan memasukkan ranting. Kemudian api menyala besar dan mereka memasukkan kayu-kayu kecil yang lapuk.
"Dien, sepupumu (Fiqon) itu memang hebat, apakah dia ingin menjadikanku muridnya, seperti kamu, menjadikanku muridmu?.". Tanya Andreas yang penuh dengan semangat membara.
"Tentu saja jika ada kesempatan aku akan membawamu kepadanya, Fiqon sangat senang berbagi pengetahuan. Ia juga ahli dalam bela diri." Kata Dien membanggakan kakak sepupunya.
Setelah api dinyalakan mereka membakar umbi talas. Dan kemudian memakannya, sementara Baraq sedari tadi sudah memakan rumput-rumput dan dedaunan di sana. Melati juga disantap olehnya. Baraq ternyata juga mendekati Monstera Variegata. Melihat hal itu, Dien Langsung menghentikan Baraq. "Jangan Baraq, itu beracun. Andreas, tolong katakan itu kepada Baraq." Andreas pun melarang Baraq secepatnya, Baraq pun berhenti seketika. Hampir saja Baraq memakan Daun Monstera Variegata.
"Bagian itu, kau tahu dari mana?." Tanya Andreas kembali.
"Aku tahu dari Ailen, temanku dan sekaligus tetanggaku. Dia suka dengan tanaman hias. Kabarnya, di dalam daun itu ada makhluk bernama bebania(kalsium oksalat) . Ia seperti getah bening yang sulit terurai kalau terkena kulit, itu akan menyebabkan iritasi pada kulit. Apalagi kalau kita memakannya."
"Luar biasa, aku juga bisa belajar tentang kebutuhanku sebagai atland mengenai pertanian kepadamu, penyihir kecil. Kamu memang pantas ku panggil guru." Seperti biasa Andreas pun selalu tersenyum di selah-selah ia berbicara. Itulah yang membuatnya terlihat sangat baik hati dan mudah mengakrabkan diri dengan para makhluk termasuk hewan-hewan.
Setelah makan dan minum, energi mereka pun terasa kembali; "Ngomong-ngomong, batu-batu ini dari mana asalnya?..." Tanya Andreas. "Di sini tidak ada gunung. Apa mungkin itu pecahan dari tebing itu. Aku perhatikan, batunya-batunya punya bentuk yang sangat unik. Bahkan ada yang seperti ranting." Katanya sambil melihat area sekitar, dengan ekspresi terpukau.
Dien pun melihat dengan ekspresi yang sama. Lalu berspekulasi "Kabarnya Madin Sehan buyutku, pernah ke sini. Ia punya sihir mengubah sesuatu menjadi sesuatu. Bisa jadi batu-batu ini adalah benda yang ia sihir atau kayu besar yang sudah menjadi fosil." Jawab Dien. Sambil menikmati kembali umbi bakar terakhir yang ia potong 2 untuk Andreas.
"Buyutmu?... Apakah ia pernah ke dalam, apakah pembatas itu harus dibuka menggunakan mantra sihir?, Seperti maaf atau semacamnya." Dugaan Andreas, sambil mengambil potongan umbi yang diberikan oleh Dien kepadanya.
"Bisa jadi. Karena itu, ada yang ingin aku pastikan." Jawab Dien menikmati suapan terakhirnya.
Sekarang mereka berniat untuk menyentuh pembatas dengan perlahan. Untuk mengetahui bagaimana cara masuk ke dalam hutan itu. Karna para madin seperti Madin Sehan dan Mari Tadekamen, tidak mungkin mengarang cerita. Sem juga penyihir yang berbakat, bisa saja, Sem sudah ada di dalamnya. Lalu bisa juga Sem tidak ada di sana. Tidak ingin dilema, Dien mendekati pembatas itu, perlahan ia menyentuhnya menggunakan telunjuk tangan. Dien berhasil menyentuh pembatasnya, seperti genangan air. Yah, rasanya kamu menyentuh genangan air di kedalaman 1 centimeter. Setelah itu kita dihadapkan dengan alasnya yang terbuat dari kaca bening yang teramat padat. Tapi tentu saja itu bukan air dan kaca.
"Dien bagaimana?." Tanya Andreas sembari menaiki tebing.
"Di sini Aman Andreas." Jawab Dien. Kemudian ia bicara sendiri "Sem tidak mungkin ada di dalam. Ini pembatas yang dibuat dari ilmu sihir atau memang sudah bagian dari alam. Untuk masuk ke dalamnya, kita memerlukan ritual tertentu dan mungkin benar juga, ada mantra-mantra rahasia yang perlu kita ucapkan. Aku belum mempelajari hal itu, aku baru 13 hari bersekolah. Sem tentu saja belum mempelajarinya juga. Jadi jelas, Sem belum sampai ke dalam."
Andreas teriak lagi, "Dien suaramu terlalu pelan, aku tidak mendengarnya. Apa kau bicara dengan Simon?. Kau lucu sekali" Andreas tertawa lagi, sambil buang air kecil di atas tebing yang sedang ia pijaki.
"Andreas, apa kau buang air?. Kenapa harus repot-repot ke sana, dasar tengil." Kata Dien. "Sem tidak mungkin ada di dalam. Mari kita pulang."
"Ini sudah terlalu jauh, ayolah!. Apa kau tidak ingin melihat apa yang ada di dalam hutan terlarang?." Teriakan Andreas keras.
"Patung wanita cantik berambut ular kau ingat?..., aku ingin memastikannya. Seekor ular bernama Sanca mengatakan hal itu kepadaku. Kalau dia berbohong, aku akan menyentil lidahnya." Kata Andreas sambil buang air kecil. Air seni itu mengenai batu yang bergelombang dari bagian tebing. Tiba-tiba, gelombang itu bergerak, ternyata itu adalah kelopak mata.
Simon tertawa "Apa kau memiliki gerakan tangan secepat itu Andreaas?..." Teriakan Simon si tupai tua yang sedang berdiri di bahunya Dien.
Andreas pun ikut tertawa "Simon, ternyata kau punya selera humor yang bagus." Kata Andreas tanpa ia sadar bahwa ternyata tebing yang ia pijak adalah seekor monster besar, yang saat ini belum diketahui secara pasti, itu monster seperti apa?.
Biji mata dari monster itu terlihat sangat menyeramkan, berwarna merah seperti api. Kulitnya sekeras batu berwarna abu. Sementara Andreas baru saja selesai. Ia berselancar di atas kepala monster itu "Dien ini asyik sekali " Serunya. "Kalian harus mencoba." Ajakan Andreas sembari berselancar. Sementara Dien dan Simon berjalan ke arah bara api yang memanggang umbi sebelumnya, untuk memastikan bara api itu telah mati.
Andreas tidak menyadari tentang monster itu. Karna menyenangkan Andreas mencoba mengulanginya beberapa kali. Namun tiba-tiba, monster ini bergerak dan mengeluarkan suara raungan yang begitu keras, hingga memekakkan gendang telinga. Dien dan Simon terkejut mendengarnya, sementara Andreas terpental ke tanah. Kemudian dengan bergegas, ia mundur dan meminta tolong. "Dieeenn!!!" ia berlari ke arah kudanya dan Dien. Larinya terasa lamban karna separuh ruhnya terasa lenyap dari badan. Andreas tersungkur. Hidungnya pecah.
Dien pun juga hilang akal, Dien meminta Baraq untuk menjemput Andreas.
Baraq hanya teriak dan mengangkat kakinya, melihat beberapa ranting, Dien menariknya dan berayun, ranting itu tak sekuat ranting di tengah hutan sehingga membuatnya mudah putus. Kemudian Dien mencambuk Baraq dengan ranting yang putus, hingga Baraq pun berlari ke arah Andreas. Hampir saja Andreas dimakan oleh monster itu.
Dien dan Simon berlari dari sana tanpa Baraq si kuda terbang. Karna Baraq sedang berlari di belakang mereka bersama Andreas yang terkulai di atasnya.
"Andreas konyol ini bukan waktunya tertawa"
"Aku tidak sedang tertawa."
"Maksudku tadi bodoh….."
Mereka kali ini memang tidak sedang bercanda. Sekali lagi tidak sedang bercanda.
Jantung mereka berdebar sangat kuat. Monster itu menggeliat dan membentangkan sayapnya. Itu adalah waktu yang bisa mereka manfaatkan untuk kabur. Ternyata monster itu adalah seekor naga. Naga memang bagian dari hewan besar. Karena terlalu besar hingga digolongkan ke dalam golongan monster. Banyak juga yang bilang kalau naga itu adalah bentuk terakhir dari ular besar. Mereka bisa jadi satu jenis. Tapi jelas, naga bukanlah ular.
Andreas berhasil mendekati Dien dan Simon yang berlari. Simon hanya bisa berpegangan dengan baju dan rambutnya Dien. Dien meraih Andreas dan meloncat percaya diri, agar bisa menaiki Baraq si kuda terbang. Dien berhasil menaikinya. Baraq pun berlari dengan cepat sambil mempersiapkan sayapnya.
Naga pun kembali mengaung, itu benar-benar keras hingga membuat Baraq tersungkur. Mereka berdiri lagi. "Kalian baik-baik saja" tanya Andreas. "Urus saja darah di hidungmu" jawab Dien. "Terima kasih guru, kau rosman yang baik." Balas Andreas menyindirnya. Tapi Dien merasa tersanjung.
"Baraq jangan takut. Sekarang terbanglah!." Kata Andreas.
"Ayo Baraq, naga itu sudah mulai bergerak." Teriak Dien.
Baraq pun terbang. "Andreas ingatlah, kalo pembatasnya berbentuk trafesium." Kata Dien sambil berteriak.
"Aaaaaaaaaaa" teriak Simon ketakutan. Naga itu sudah ada di belakang mereka.
"Baraq cepatlah. Dengarkan aku barak, 500 meter dari sini barulah kita terbang tinggi. Semoga kita masih bisa sampaiii." Pekikan Andreas pada tunggangannya, panik.
"Bagaimana kalau kita tetap main rendah saja Andreas. Naga itu besar sekali, Pohon Sequoia, lumayan menghalangi jalannya." Kata Dien ikut mengarahkan. Andreas.
"Justru karna besar sekali kita harus main atas. Karna ia bisa saja menghancurkan hutan ini, menurutku begitu." Kata Simon.
Mereka berbicara sangat cepat meskipun sulit didengar, karna tentu angin-angin menghalangi frekuensi suara mereka"
"Simon kali ini benar, kita harus terbang ke langit. Baraq adalah hewan yang paling cepat. Dia tidak mungkin kalah." Andreas melihat ke arah Dien. Dien pun membalasnya dengan tatapan para pengikut. "Kita bisa menghancur hutan kalo kita tetap terbang di bawah. Belum lagi hewan-hewan kecil yang bisa saja mati karna tubuh naga itu sangat besar." Kata Andreas sambil melihat kembali ke depan. Begitu juga Dien menyetujuinya. "Baiklah ayo terbang!" Dien mulai ketakutan. "Tapi bagaimana Simon bisa menyanggahku?" Tanya Dien.
"Artinya dia sudah mencoba mengerti apa yang kau katakan dan jangan heran Simon itu bukanlah tupai biasaa." Mereka terbang dengan sangat cepat.
Naga itu menggeliat seperti ular raksasa melewati pohon-pohon. Dien sangat memperhatikannya. Namun ternyata, tidak ada satu pohon pun yang tumbang sebab si naga itu. Namun mereka sudah terlanjur terbang tinggi ke udara.
"Baraq, aktifkan 4 sayapmu!." Perintah Andreas pada tunggangannya.
Baraq pun membuka sayap-sayap di paha atasnya. Sayap Baraq ada 10
Sayap utamanya terdapat di bagian tulang punggung dan 8 sayapnya lagi berada di bagian atas paha-paha kakinya.
Mereka terbang sangat cepat. Tapi sang naga juga begitu besar dan cepat. Mereka berputar-putar di udara. Naga itu teramat besar, bahkan Dien, Andreas dan Baraq sekaligus sayap-sayap Baraq. Hanya sebesar rongga mulut sang naga saja.
"Dien lakukan sihir terbaikmu" Teriak Andreas, hilang akal.
"Kenapa kau tidak terbang saja ke kediaman Madin, Andreas?..." Balas Dien di atas langit.
"Itu akan sangat merepotkan Dien, kita bisa terkena hukuman, Bangsa Rosman terlalu banyak aturan." Balas Andreas lugas. Kemudian berkata; "Maafkan aku Dien, dari tadi aku menentangmu." Sambungnya.
"Tidak apa-apa Andreas. Aku malah takut, kalau pendapatku mendatangkan malapetaka." Jawab Dien sambil tersenyum Dien berkata, itu adalah kalimat maaf pertama sekali yang didengar oleh Dien dari mulut temannya, Andreas Atland.
"Simon, apakah naga golongan hewan?" Tanya Andreas.
"Setahuku iya Andreas, naga masih golongan dari hewan, meskipun ia seperti monster." Jawab Simon. "Naga itu sangat menakutkan." Sambung Simon.
"Apa kau yakin?...." Tanya Andreas sedikit ragu.
"Aku yakin…" Tapi Simon menyakitinya.
"Simon pindahlah ke dalam bajuku, kau bisa jatuh kalau tetap di sana" Kata Dien. Dan Simon mencoba mengerti, bahasa Dien. Kemudian masuk ke dalam baju Dien.