Dunia Triasih

Malas Jalan
Chapter #2

giandra

Perkenalkan aku Gian mahasiswa 21 tahun, seorang manusia yang tak pernah berhenti berharap pada ketidak mungkinan, aku suka alam sebab ia romantis, aku juga suka berkeliaran sebab dunia banyak menyimpan misteri, dan aku tidak suka cinta sebab ia terlalu abstrak untuk bisa ku miliki.  

Tak kusangka aku mampu berkuliah sampai semester 4 ini, sedari awal aku sudah tidak minat untuk berkuliah, ini karena ibu saja yang mewajibkan anak-anaknya untuk sarjana. Mungkin ia tak ingin aku menjadi pengangguran sejak dini, maklum Ayah sudah meninggal sejak aku masih duduk di SMP kelas 3.

Hari di mana ayah meninggal saat itulah aku baru merasakan betapa sakitnya ditinggalkan oleh orang yang kita cintai, aku masih belum bisa mengikhlaskannya pergi, bagaimana bisa dia tega meninggalkanku disaat aku masih begitu dini untuk mengenal rasa sakit.

Ayah merupakan sosok lelaki yang begitu kugagumi, walaupun ia sibuk dengan bisnisnya ia selalu menyempatkan waktu untuk bisa bersama keluarganya. banyak cerita yang ayah sampaikan padaku, tentang kawannya, tentang masa kecilnya, tentang pertemuannya dengan ibu, dan banyak lagi cerita-ceritanya yang kala itu mampu membiusku untuk ingin sepertinya. Kini semua ceritanya kutenggelamkan disebuah tempat pada tubuh, yang aku sendiri enggan berkunjung untuk kedua kalinya.

*****

Matahari pagi ini lumayan cerah, sudah dua hari kalau aku gak salah tanaman depan rumah tak mendapat sinar pagi darinya. Selayaknya manusia yang membutuhkan kehangatan untuk tetap bisa hidup, tanaman juga seperti demikian membutuhkan kehangatan dari matahari untuk ia bisa tetap tumbuh.

Aku berkuliah di Yogyakarta mengambil jurusan komunikasi. Kata orang kuliah dijurusan komunikasi itu mudah dan asik, jadi aku memilihnya dengan harapan seperti yang mereka katakan. Dan aku memilih jogja untuk menjadi pelabuhanku sebab aku tahu jogja adalah kota seniman, begitu banyak karya seni yang dihasilkan dari kota ini dan aku tertarik mengenal orang-orang dibalik karya itu.

Sejak SMA kelas 3 awal aku sudah memutuskan ingin kemana setelah lulus. pilihanku jatuh kepada dunia menulis dan juga photography. Lalu apakah untuk menjadi penulis itu harus berkuliah? ku rasa tidak, kita hanya perlu belajar dan belajar tak melulu tentang universitas bukan? dari pada aku berkuliah menghabiskan uang dan juga waktu, lebih baik uang itu ku pakai untukku investasikan ke alat foto dan juga workshop-workshop yang ada. Ah namun ibu begitu batu, dan aku harus mengalah.

Ting, suara nada pesan hp ku menyala,

"Gi, tugas pak Tio untuk besok lu udah bikin PPT nya kan?" tanya fian

" Ntar malem baru gua kerjain, kalo dah beres gua kirim ke lu!"

"Anjir kebiasaan lu, suka nunda-nunda tugas, jam 8 beres ya!!"

"Aman..."


Minggu ini tugas-tugas kuliah begitu membabi buta, aku selalu berpikir kenapa aku harus mengerjakan tugas yang pada akhirnya tidak ada hubungannya dengan hidupku? waktu SMP kita pernah belajar tentang rumus-rumus pada pelajaran Matematika dan Fisika, dan nyatanya aku tidak memakai itu pada kehidupanku di SMA. Begitupun kala SMA kita diberitahu tentang pelajaran ekonomi, sejarah, dan sebagainya, lagi dan lagi aku tak memakai itu semua dihidupku, entah di perkuliahan atau kehidupan nyataku.

Dan sekarang apa aku mau dibodohi lagi dengan tugas-tugas kuliah yang mana aku tidak membutuhkannya, betapa bodohnya aku kalau masih mengerjakannya, hanya membuang waktu dan tenaga. Sialnya aku tak mampu untuk tidak mengerjakan tugas itu, bagaimana kalau ibu tahu kalau ternyata anaknya pemberontak.

Penat mataku harus menatap layar laptop terus menerus, betapa banyaknya tugas jahannam ini, aku membencinya. ku nyalakan motorku entah dia akan membawaku kemana itu urusan nanti, yang penting aku harus menjauh dulu dari rutinitas yang menyebalkan ini.

Jogja di sore hari sangat ramah bagi pemuda sepertiku, tak ada macet seperti kota asalku Bandung. Aku bebas ingin pergi kemana tanpa khawatir terjabak macet. Aku terbayang bagaimana jika hari ini aku berada di bandung dan ingin pergi ke dago atas dari buah batu, pasti aku akan mengomel-ngomel dengan banyaknya klakson yang ingin segera tiba di garasinya.

Ku laju motorku menuju daerah imogiri, sebuah daerah di pinggiran bantul yang menjadi favoritku, banyak hutan pinus dan coffeshop yang menyajikan pemandangan cakrawala. Aku selalu seperti ini, ketika penat pasti aku akan mencari coffeshop yang outdoor bernuansa alam dan tak banyak orang, hal itu memberiku keleluasaan untuk aku menenangkan diri.

kupandangi temaram dengan secangkir americano panas, tak banyak orang disekitarku, mungkin hanya ada beberapa sepasang kekasih saja yang kulihat sedang sibuk untuk mengabadikan momen lukisan Tuhan disaat penghujung hari. kunikmati pemandangan ini dengan menulis beberapa puisi sampai aku lupa waktu, hari sudah begitu gelap.


Malam begitu syahdu

Dipadukannya suara hewan dan angin menjadi irama

Dipeluknya setiap insan dengan belaian sinar rembulan

Malam tahu aku butuh ketenangan.


Bangku bangku tertata rapi

Botol-botol berdiri bak tentara

Lampu-lampu memolesnya

Dan aku berimajinasi


Sedikit kisah malam ini

Di belantara coffe shop

Di jam orang terlelap nyesak

Lihat selengkapnya