Sekitar 15 menit Arland berdiam diri di dalam mobilnya. Ia tampak gusar. Berulang kali melihat ke luar kaca mobil, sebuah hamparan luas bernuansa hijau.
Diliriknya sebuket bunga anggrek putih yang tergeletak di bangku penumpang sebelahnya. Kelembutan, kebaikan, keindahan, dan kepolosan adalah arti dari bunga tersebut. Empat hal yang melekat dalam diri gadisnya.
Arland menghela napas panjang. Kemudian meraih anggrek putih itu dan keluar dari mobilnya.
Kakinya berjalan menapaki permukaan rumput hijau di atas bukit yang tidak curam. Gradasi langit sore di atasnya membuatnya merasa semakin gugup. Lalu memaksa diri untuk melengkungkan bibirnya sebelum ia sampai ke rumah peristirahatan Naya, yang selalu ia datangi setiap sebulan sekali.
Namun, hari ini berbeda dari biasanya. Alasan mengapa ia gugup karena di waktu ini, bertepatan dengan jiwa Naya yang terlepas dari raganya.
Setelah berada di tengah-tengah rerumputan itu, perasaan Arland menjadi tak menentu. Kekuatan yang Arland miliki sebelumnya, tiba-tiba menguap ketika sebuah pusara hitam mengkilat, menyambutnya.
Arland mendekat ke salah satu pusara itu, lalu duduk setengah berjongkok di sampingnya.
"Ha-hai." Terdengar jelas jika suara cowok itu bergetar. Arland menundukan kepalanya, bersamaan dengan sebulir bening yang mengalir lembut dari sudut matanya.
Setelah menarik napas dan membuangnya, Arland kembali menatap nisan milik Naya. "Kamu apa kabar?" tanya Arland seraya mengusap cepat bekas airmata di pipinya.
"Aku bawa sesuatu yang indah buat kamu, Nay." Arland meletakan sebuket anggrek itu, tepat di atas nisan Naya, di sebelah tulisan nama gadis itu.
"Maaf kalau hanya ini yang selalu bisa aku berikan ke kamu. Aku enggak tau lagi apa yang kamu mau," lanjutnya dengan airmata yang tidak bisa ditahan.
"Naya mau elo move on, Land," ujar seseorang di belakangnya.
Arland menoleh untuk beberapa saat. Lalu kembali lagi menatap batu nisan Naya.
"Gue udah coba, Ri. Tapi gue enggak pernah bisa," balas Arland pada Riani yang juga hadir di sana.
"Enggak pernah bisa atau emang elonya yang enggak mau nyoba?" tanya Riani sarkas, seperti biasa.
Arland mengusap wajahnya, lantas berdiri berhadapan dengan Riani.
"Elo gampang bisa ngomong kayak gitu. Elo enggak tau gimana gue berhadapan sama rasa sakit ini sejak Naya pergi," ucap Arland yang lagi-lagi harus mengumpulkan genangan di pelupuk matanya.
"Gue tau, Land. Bukan cuma elo, tapi gue juga. Naya benar-benar sahabat yang berharga buat gue. Tanpa Naya, gue enggak akan pernah bisa ada di sini," sahut Riani tidak mau kalah. Matanya pun sudah memerah ketika nama Naya disebut olehnya.
"Elo cuma bullshit."
Mata Riani melebar. Merasa tidak terima dengan ucapan Arland barusan.
"Bullshit elo bilang?!" Napas Riani memburu. "Elo enggak tau kan, kalo Naya adalah penyelamat hidup gue. Tanpa dia, gue udah bunuh diri, Land! Elo enggak tau apa-apa soal gue dan Naya. Jadi elo enggak berhak merasa kalo cuma elo yang menderita karena meninggalnya Naya," kelakar Riani sambil tersulut emosi.
Dari wajahnya, Arland terkejut dengan kenyataan yang baru saja didengarnya. Ternyata memang bukan hanya dirinya yang menerima rasa sakit ini. Riani juga.
"Sorry, gue enggak tau," kata cowok berkaca mata itu, dengan menyesal.
"Gue cuma ... gue cuma enggak mau elo begini terus. Naya pasti sedih kalo elo tau begini. Elo harusnya ngerti dong, Land." Emosi Riani sudah mulai berangsur menghilang ketika wajah Arland tampak lesu begitu.
"Tapi gue enggak tau gimana caranya buat lepas dari penderitaan ini, Ri."
"Elo pasti bisa, Land. Dimulai dari elo jangan lagi menyendiri. Gabung lagi sama Cakra, Gary, dan gue."
Arland mengangguk dengan airmata yang bergulir cepat jatuh ke pipinya. Melihat hal tersebut, entah kenapa membuat perasaan Riani berdesir halus. Sejujurnya, Riani sangat kasihan dengan Arland yang seperti ini. Semenjak ditinggal Naya, semua kepribadian Arland berubah. Termasuk menjadi lemah seperti ini.
Tanpa disangka oleh dirinya sendiri, Riani bergerak menghampiri Arland, memeluk cowok itu.
"Gue akan bantu elo buat lepas dari penderitaan ini. Gary dan Cakra juga. Kita sama-sama berjuang untuk hadapin ini," kata Riani, yang hanya diangguki Arland.
----------
Suara dentuman musik yang keras, riuhnya sorak-sorai kesenangan, serta gemerlapnya lampu-lampu yang menyinari, adalah tiga hal yang sudah tidak asing lagi bagi gadis blasteran Indonesia dan Jepang itu.
Cahaya Naomi, gadis bak super model itu, selalu menjadi pusat perhatian dimanapun ia berada. Selain karena memang paras dan bentuk tubuhnya yang nyaris sempurna, sifat uniknya juga mampu mengundang semua mata tertuju padanya.
Contohnya malam ini. Malam yang tidak begitu berbeda dari biasanya. Sebab, Aya sudah terlalu sering untuk menghabiskan malam di sebuah bar kelas atas untuk mengusir penatnya. Terutama rasa sepi yang tidak pernah berubah setiap harinya.
Di antara pengunjung lainnya yang sedang bersorak, Aya termasuk yang paling dominan. Seolah gadis itu sedang melampiaskan semua emosinya dalam satu waktu.