Aya berlari ke tempat sebelumnya, dimana ia bertemu Arland beberapa saat tadi. Sayangnya cowok itu sudah tidak berada di sana. Pun, Aya juga sudah mencari ke dalam perpustakaan. Bertanya ke setiap orang yang ada di sana dengan jawaban sama. Arland tidak bisa ditemukan.
Tidak menyerah begitu saja, Aya mencoba mencari lagi. Ke setiap sudut kampus manapun. Ke berbagai gedung jurusan yang berbeda. Selama kurang lebih dua jam Aya menghabiskan waktu mencari Arland. Dan hasilnya tetap nihil.
Di sebuah koridor, Aya baru menyadari tumitnya yang lecet. Bagaimana tidak jika wedges-nya dipakai untuk berlari jauh. Langkahnya berhenti dengan napas yang masih terengah-engah. Namun, Aya masih tidak tenang lantaran tujuannya belum tercapai.
Gadis itu tampak gelisah. Ia berdiri di tengah-tengah koridor seraya pandangannya yang terus beredar ke setiap arah. Masih berharap jika ia bisa menemukan cowok itu.
Aya menjadi panik. Keningnya sudah banjir keringat. Tatapannya juga seperti orang linglung. Hal tersebut membuat pasang mata yang melintas di dekatnya, memperhatikan Aya dengan tatapan aneh.
"Dimana cowok itu? Dimana gue bisa nemuin dia. Gue harus nemuin dia!" ucap batin Aya.
Aaarrggghh!
Tiba-tiba Aya berteriak sambil memegangi kedua sisi kepalanya, lalu menarik tubuhnya ke bawah dan berjongkok. Gadis itu tampak berantakan.
Tentu saja tindakannya itu membuat siapapun di sana menjadi bingung dan terkejut. Salah satu mahasiswi mencoba mendekat ke Aya.
"Elo enggak apa-apa?"
Pertanyaan itu sama sekali tidak dihiraukan. Aya hanya mendunduk dan memeluk lutunya, berdiam diri. Jadi tidak ada seorang pun lagi yang menegurnya. Mereka hanya melintasi Aya begitu saja, sambil melempar tatapan penuh tanya.
"Gue enggak boleh kumat di sini. Gue harus bisa nahan semua ini," ucapnya lagi dalam hati.
Bokongnya terjatuh ke lantai. Lalu ia berpindah duduk ke pinggir koridor, masih tanpa beralas apapun. Tidak peduli seberapa banyak sudah orang yang memperhatikannya menganggap aneh, Aya lebih fokus untuk menenangkan dirinya.
Kemudian, Aya menyilangkan kedua tangan di depan dadanya. Jemarinya menangkap kedua sisi bahu, lalu menepuk-nepuknya dengan pelan. Seolah ia sedang memeluk dirinya sendiri. Hal ini termasuk bagian terapi yang ia dapatkan dari rumah sakit dahulu.
Setelah menarik napas dalam dan mengeluarkannya perlahan, Aya mulai tenang. Tidak sepenuhnya, karena pikirannya masih berkecamuk tidak jelas. Dari situ, Aya membuka tasnya dengan cepat. Mencari buku gambar dan spidol yang sering ia bawa kemanapun.
Gadis yang selalu berpakaian seksi itu, langsung mencoret-coret salah satu lembar. Tidak jelas apa yang ditumpahkannya di sana. Yang terpenting, Aya bisa mengalihkan serangan paniknya. Hal yang juga sudah dilakukannya sejak lama. Dan karena itu juga, sekarang Aya mengambil jurusa seni lukis di kuliahnya. Baginya, melukis bisa menenangkannya.
Akhirnya, Aya sudah semakin tenang. Ia berpindah tempat, mencari tempat duduk yang tersedia di sekitar sana. Ia melanjutkan lagi corat-coretnya di buku gambar.
"Iya. Gue bisa! Gue selalu bisa mengatasi ini."
_____
Cakra dan Gary merasa tidak yakin dengan tindakan yang akan dilakukannya ini. Kalau bukan dipaksa Riani, mereka berdua benar-benar takut menemui Arland yang sekarang tengah duduk seorang diri di bangku taman kampus.
"Ri, elo yakin sama rencana ini?" tanya Cakra ketakutan.
"Yakinlah. Emang kenapa sih, kalian takut banget begitu? Biar gimanapun, Arland itu sahabat elo berdua," jawab Riani tanpa ragu.
"Bukan soal takut enggaknya juga, Ri. Elo enggak tau aja Arland pernah ngamuk sama kita pas kita paksa dia ajak ngobrol. Gimana nanti kalo kita ajak dia nongkrong bareng," komentar Gary yang sependapat dengan Cakra.
"Ya, itu kan, udah lama. Sekarang ini belum elo berdua coba kan, deketin Arland lagi. Dan lagian, elo berdua tega ngeliat Arland jadi super introvert gitu?"
"Tega nggak tega, Ri. Tapi mau gimana lagi kalo Arland udah milih jalan hidup kayak begitu," lanjut Cakra, kukuh.
"Setuju! Gue juga enggak mau maksain Arland buat gabung lagi sama kita. Dia berhak milih buat hidupnya sendiri," sambung Gary.
"Enggak. Enggak bisa pokoknya. Elo berdua dan gue, harus bikin Arland balik lagi kayak dulu. Wajib pokoknya," titah Riani yang sama sekali sulit dibantah.
"Ri, Ri, batu banget sih, lo. Dulu juga enggak peduli-peduli amat sama urusannya Arland. Sekarang kenapa jadi elo yang getol dah?" cecar Cakra.
"Itukan dulu. Sebelum Arland masuk begitu jauh ke dalam hidupnya Naya. Jadi gue harus lakuin apa yang bisa gue lakuin demi Naya. Apapun itu yang berhubungan sama Arland."