Dunia untuk Arland

Rika Kurnia
Chapter #4

Bab Tiga - Menyakitkan

"What? Mustahil, gue masuk ke hidup dia?" decak Aya sambil mengendarai mobilnya sepulang dari rumah Arland.

Gadis itu kesal dan terus mendumal seorang diri di sepanjang perjalanan. Bahkan, saking emosinya, Aya menekan klakson dengan kuat agar mobil lain di depannya menghindar dari hadapannya. Aya teramat geram sekarang.

Napasnya memburu. Kalau saja ada orang di sebelahnya, bisa saja gadis itu akan melampiaskan amarahnya dengan brutal seperti yang sudah-sudah. Pernah Aya menghancurkan seisi apartemennya karena sesuatu yang tidak jelas. Pokoknya saat itu Aya merasakan amarahnya yang tiba-tiba melambunt begitu saja tanpa sebab.

Tidak puas dengan umpatan demi umpatan yang sudah dilontarkannya, Aya memilih untuk menghentikan mobilnya dan memarkirkan di tepi jalan. Tepatnya di sebuah atas jalan layang yang menampakan lajunya berbagai mobil di bawah sana.

Gadis bermata cokelat itu keluar dari mobil dengan membanting pintu kuat-kuat. Ia berjalan mendekat ke pinggir jembatan sehingga hembusan angin yang melintas mampu menerbangkan uraian rambutnya.

"Arland! Elo akan menyesal! Gue enggak terima diperlakukan seenaknya sama elo! Elo pikir elo siapa, hah?!" teriaknya amat kencang. Urat nadi berwarna biru di lehernya pun sampai tampak jelas terukir.

Aya menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya cepat. "Gue, akan, bikin perhitungan sama elo, Arland! Gue akan bikin elo bertekuk lutut sama gue! Dan ...," serunya lalu berhenti. Aya perlu mencari pasokan napas panjang lagi sebelum kembali meluapkan rutukannya.

"Gue enggak akan pernah biarin, ada satupun cewek yang deketin elo! Inget itu ya, Arland! Elo milik gue!"

_____

"Dia bukan Cahaya yang gue kenal dulu. Dia yang sekarang ...."

Lamunannya buyar terhenti ketika melihat Tomi sedang duduk di ruang keluarga sambil membaca koran.

"Sudah pulang, Land?" sapa Tomi seraya melipat koran yang sedaritadi di bacanya. Ia menghampiri Arland, menghadang jalannya ketika akan menaiki anak tangga.

"Papi yang tumben udah pulang?" tanya Arland berbalik.

"Kamu lupa atau memang kamu tidak pernah memperhatikan kalau sekarang papa memang sering berada di rumah?"

"Arland enggak tau. Arland mau ke atas dulu," ujarnya memutus obrolan. Lantas melanjutkan langkahnya yang tertunda. Melewati papinya begitu saja. Meski sudah cukup membaik, hubungan ayah dan anak itu masih saja tampak kaku.

"Land."

Panggilan itu berhasil menghentikan langkah kaki Arland. Cowok itu hampir tiba di anak tangga pertama.

"Ada apa?" Arland berbalik ke papinya.

"Gadis di depan gerbang tadi, siapa? Teman kampus kamu? Atau ...." Tomi sengaja menggantung pertanyaannya.

"Bukan siapa-siapa dan enggak akan pernah jadi siapa-siapa Arland," jawabnya tegas dan yakin.

Melihat tatapan putranya yang tajam dan dingin itu, cukup membuat Tomi mengerti dengan apa yang dialami Arland setahun belakangan ini. Tepatnya setelah kepergian Naya.

"Hem, yasudah. Kamu boleh ke kamar."

Kali ini Tomi benar-benar membiarkan Arland berlalu. Wajahnya iba sekaligus prihatin dengan sikap Arland yang lebih dingin dari sebelumnya. Tomi bingung harus bagaimana sebagai ayahnya sendiri.

_____

Setelah selesai membersihkan diri di kamar mandi, Arland menghampiri meja belajarnya. Diambilnya sebuah buku usang dari laci meja. Arland membukanya perlahan.

Sebuah foto berukuran 2R yang terpampang di bagian lembar pertama buku itu, disentuhnya dengan telunjuk. Foto Arland bersama Naya di sebuah ayunan. Kala itu mereka sedang menghabiskan waktu bersama di Vila keluarga milik Arland.

"Cantik," sebutnya sambil tersenyum simpul. Wajah pucat Naya yang tersenyum riang memberikan kehangatan untuk Arland. Kapanpun itu.

Selagi terus memperhatikan fotonya bersama Naya, tiba-tiba sebuah piringan hitam di kepalanya berputar cepat. Saat-saat terindahnya bersama gadisnya. Kebersamaan yang menakjubkan. Serta, hari yang tidak akan pernah lagi didapatkanya. Hanya dengan Naya, ia bisa bahagia.

Lalu Arland membuka lembar berikutnya dan terus menerus. Isi diary Naya yang pernah ia baca sebelumnya. Tidak pernah bosan bagi Arland untuk membaca ulang setiap hari kenangan itu. Benda berharga yang menjadi satu-satunya. Sebab, Arland merasa jika diary ini seperti sosok Naya lainnya.

Hai, Diary.

Seperti biasa, malam ini akanku curahkan kembali apa yang aku rasa. Apa yang hadir dalam hidupku yang singkat ini.

Diary, izinkan aku bertanya terhadap lembarmu yang tak bergerak ini. Salahkah jika aku menginginkannya? Bisakah aku memilikinya? Egoiskah aku jika terus ingin selalu berada di sisinya?

Dia, Arland, Diary. Selalu Arland yang menjadi pemeran utama dalam setiap lembarmu ini.

Hari ini, lagi dan lagi. Begitu sering aku melihatnya bersama gadis lain. Gadis yang selalu berbeda dalam waktu singkat.

Sejujurnya, aku iri pada salah satu dari mereka.

Mereka bisa berada di dekatnya. Pernah bersamanya, sering bergurau dengannya, atau bahkan mereka pernah mendapatkan kebahagiaan dari sosoknya.

Aku mengharapakannya. Namun, pantaskah aku?

Lihat selengkapnya