"Arland, elo enggak apa-apa?" tanya Aya yang tidak digubris sama sekali oleh Arland. Cowok itu seolah sedang berada di sisi lain dari dunia ini.
Aya berjongkok, mendekat ke Arland yang tubuhnya tertarik ke bawah, duduk di lantai dengan tatapan kosong. Matanya memerah seperti akan menangis. Aya menjadi bingung setengah mati.
"Duh, elo kenapa, sih? Ada yang sakit atau apa? Gue beneran enggak ngerti ini," celoteh Aya mulai ketakutan. Bagaimanapun juga, ini bukan waktu yang tepat jika serangan paniknya terjadi bersamaan.
Gadis itu melambaikan lima jarinya tepat di wajah Arland yang pandangannya entah kemana. "Land? Arland? Elo baik-baik aja, kan?"
Aya menelisik lebih dalam lagi dengan apa yang tengah terjadi pada Arland saat ini. Sebelum melakukan sesuatu, Aya perlu menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Demi ketenangannya sendiri jika ingin membantu Arland yang ia sendiri tidak tahu harus bagaimana.
Perlahan, Aya mengambil salah satu tangan Arland. Lalu diletakan telapak tangan Arland di atas bahunya sendiri. Begitupun tangan satunya, menyilangkan tangan yang sebelumnya. Aya mempraktekan apa yang sering dilakukannya ke Arland. Gerakan dimana memeluk diri sendiri guna menenangkan perasaan yang tengah kalut.
"Semoga aja hal ini juga berpengaruh sama elo," ucap Aya dalam hati.
Napas Arland memburu. Aya tahu akan hal itu. Namun, perlahan cowok itu mulai tenang lantaran apa yang sudah dilakukan Aya untuknya.
"Ternyata berhasil," gumam Aya, merasa lega.
Dilanjut lagi dengan Aya yang menepuk-nepuk kedua punggung tangan Arland secara bersamaan. Dengan pelan dan lembut.
"Oke. Semua pasti baik-baik aja. Enggak akan ada yang terjadi sama elo. Gue di sini sama elo, ya."
Pelan-pelan Arland mencari wajah Aya di depannya. Beberapa saat keduanya saling memandang dalam suasana yang tidak dimengerti. Takut, nyaman, aneh. Semuanya bercampur jadi satu.
Tiba-tiba saja Arland tersentak sambil mengerjapkan mata berulang kali. Ia berdiri dengan cepat. Aya masih berjongkok di bawahnya sambil menatap Arland dengan tambah bingung.
Kalau tadi Arland seperti tidak berdaya, sekarang tatapan cowok berambut legam itu berubah seolah akan menerkam Aya kapan saja.
"Elo udah enggak apa-apa?" Aya berdiri, memperhatikan Arland secara keseluruhan.
Alih-alih menjawab sepatah katapun, Arland berlalu begitu saja, meninggalkan Aya.
"Arland?! Elo mau kemana?" teriak Aya. Cowok itu terus saja berjalan tanpa menoleh sedikitpun.
_____
Arland tidak menduga jika ia harus mengalami hal yang selalu ia waspadai sejak lama. Apalagi hal tersebut harus terjadi di depan orang yang sama sekali tidak diharapkannya.
"Kenapa harus di depan dia?"
Arland mempercepat jalannya. Berusaha melewati koridor yang cukup ramai. Sebab, perasaanya menjadi semakin tidak menentu akibat kejadian tadi.
Bagaimanapun juga, sekarang bukan waktu yang tepat ia mengikuti jam kuliah. Pikiran dan hatinya sedang tidak baik-baik saja.
Akibat langkahnya yang tergesa, Arland menabrak seseorang.
"Arland?"
"Sorry, Ri. Gue duluan," ujarnya hendak melanjutkan langkah. Namun, Riani menahan lengannya.
"Elo kenapa? Ada masalah? Kok, panik gitu?" tanya Riani penasaran. Sebab, raut wajah Arland jelas mengatakan demikian.
"Enggak apa-apa. Gue cabut duluan."
Riani tidak menyerah begitu saja. Ia menghadang jalannya Arland.
"Enggak. Gue harus tau elo kenapa?" Riani memaksa.
"Ri, please. Ini bukan saatnya elo maksa gue buat cerita," kata Arland.
"Justru ini saatnya gue harus tau elo kenapa?"
Arland mendesah frustrasi. "Gue mau pulang."
"Jam segini? Emangnya elo enggak ada jam kuliah?"
"Banyak. Tapi gue harus pulang sekarang."
"Kenapa? Ada masalah di rumah?"
Arland mendesah lagi.
"Gue anterin elo pulang, ya. Elo pasti enggak bawa mobil, kan?"
"Enggak usah, Ri. Gue naik ojek aja biar cepet. Udah, ya. Gue duluan." Arland hendak berlalu, tetapi Riani berhasil menahannya lagi.
"Gue anterin elo pulang. Enggak boleh nolak," cetus Riani sulit dibantah.
Tanpa menjawab, Arland melanjutkan langkahnya. Diikuti Riani yang berusaha menyamai langkah dengannya.
_____