Dunia untuk Arland

Rika Kurnia
Chapter #11

Bab Sepuluh - Tugas Kelompok Pembawa Petaka

Arland dan Riani sudah berhasil menghindar jauh dari Aya. Kelihatannya juga setelah Arland mencetuskan Riani sebagai pacarnya, Aya tampak tercenganga dan berhenti mengikuti lagi langkahnya. Sebut saja Arland sudah berhasil membuat gadis itu tidak mengganggunya lagi. Setidaknya untuk sekarang.

Di sisi koridor yang lain, Arland masih menggandeng tangan Riani. Kemudian Ia tersadar lalu berhenti.

"Sorry, Ri." Arland melepas genggamannya pada tangan Riani.

"Iya. Enggak apa-apa." Anehnya suasana di antara mereka malah menjadi canggung. Padahal Riani sendiri yang pertama kali mencetuskan rencana ini. Nyatanya, saat terjadi malah mereka menjadi salah tingkah sendiri.

"Ngomong-ngomong tadi elo kenapa bisa ada di situ tiba-tiba?"

"Dari jauh gue udah liat elo sama itu cewek keluar dari perpus. Gue berpikir dia gangguin elo lagi. Yaudah, gue samperin. Gue juga enggak sengaja denger sedikit pembicaraan elo ke dia. Terus muncul gitu aja ide buat bilang kalo gue pacar elo. Sorry, ya, kalo elo jadi enggak nyaman atau malah bikin elo marah," jelas Riani yang akhirnya membuat Arland mengerti.

"Iya, yaudah enggak apa-apa. Harusnya gue yang terimakasih karena elo udah berhasil bikin dia enggak ganggu gue lagi."

"Santai, aja. Gue seneng kalo emang bisa bantu elo." Cara bicara Riani ini berbeda jauh jika dibandingkan dengan masa SMA dulu ketika Riani justru terus melarang Naya menjauh dari Arland. Seperti rasanya Riani tidak pernah membenci Arland.

"Yaudah, gue duluan, ya," pamit Arland melimbai pergi ke persimpangan koridor.

Sedangkan Riani tetap pada posisinya sambil terus menatapi punggung Arland yang semakin menjauh. Ada sesuatu yang berbeda dari dalam diri Riani saat ini. Ia memegangi dadanya.

Deg

Detak jantungnya berbeda dari biasanya.

_____

Sama seperti sebelumnya, Aya lagi-lagi tidak fokus saat berhadapan dengan kanvas miliknya. Pandangannya entah ke mana, tetapi tangannya masih memegangi kuas yang bulunya menempel di kanvas. Jadilah papan putih itu hanya bercorak satu titik berwarna hitam.

Benaknya, sedang memutar lagi apa yang diucapkan Arland di koridor beberapa jam tadi. Aya masih bisa menerima jika Arland bersikap sinis padanya, dengan syarat tidak ada gadis yang sekarang ada di dekatnya. Namun, kedua hal itu sudah menjadi penghalang besar dalam usahanya bisa memiliki Arland untuk dirinya seorang.

Apakah Aya harus mundur?

"Cahaya?" panggil Pak Suga yang berdiri di depan kelas.

Aya tidak mendengar sama sekali panggilan itu.

"Cahaya Naomi?" Kali ini Pak Suga melangkahkan kakinya menghampiri Aya. Pria itu berdiri tepat di depan wajah Aya.

"Kamu sedang melamun? Lagi?"

Aya menatap Pak Suga. Seperti orang linglung, tetapi kemudian tersadar.

"Eh, Pak. Kenapa?"

"Saya tanya malah balik nanya. Kamu yang kenapa? Akhir-akhir ini selalu enggak fokus. Kamu lagi ada masalah?"

Aya menggeleng. "Enggak ada." Lalu kembali mengarah ke kanvas, hendak memulai melukis. Namun, Aya malah memandangi kanvas yang tercoret setitik cat hitam.

"Tuh, kan, melamun lagi. Yasudah, kalau kamu enggak mau ngaku." Pak Suga berjalan kembali ke depan.

"Jangan lupa buat satu kelompok yang terdiri dari tiga orang. Karena di kelas ini ada 13 orang. Maka nanti akan ada 4 kelompok. 1 kelompok akan ada yang terdiri dari 4 orang. Kalian paham?"

"Iya, Pak," jawab serempah mahasiswa/i jurusan seni lukis itu.

"Dan jangan lupa hasil lukisan nanti paling lambat 10 hari dari sekarang. Kalian bisa langsung kirimkan ke studio saya di alamat yang pernah saya berikan waktu itu. Sekarang kalian boleh mulai mencari kelompok," seru Pak Suga lagi dan langsung beralih merapikan perlatan lukisnya di pojok ruangan.

Kalau hampir semua orang mulai ramai mencari kelompok mereka, berbeda dengan Aya yang justru terlihat menyepikan diri sendiri sambil melanjutkan lukisannya yang tak kunjung selesai sejak tadi. Padahal semua teman kelasnya yang lain sudah hampir menyelesaikan lukisan dengan tema abstrak hari ini.

Dari posisinya Pak Suga, diam-diam ia melirik ke arah Aya. Ada rasa penasaran yang tertanam sejak ada seorang mahasiswi seperti Aya di kelasnya. Belum begitu yakin, tetapi Pak Suga seperti melihat ada sesuatu yang berbeda dari Aya. Terutama dari sorot mata gadis itu yang berbanding terbalik dari sikapnya selama ini.

Satu per satu mahasiswa di kelas berangsur keluar. Ada dari mereka yang bergerombol keluar. Sebut saja mereka satu geng. Ada yang keluar berdua seperti layaknya kekasih. Dan ada juga yang berjalan seorang diri seperti tidak memiliki teman, tetapi di belakangnya ada yang menepuk pundaknya untuk keluar kelas bersama.

Dengan pemandangan itu, tampak jelas jika hanya Aya di sini yang tidak memiliki satu pun teman. Selain Aya-nya yang menjauhkan diri sendiri. Hampir semua dari mereka juga sepertinya enggan berdekat-dekat dengan Aya. Karena bagaimana mereka mau mendekat jika Aya-nya selalu memasang wajah sinis setiap kali ada yang berusaha mau duduk di sebelahnya.

Gadis itu tidak lagi melanjutkan kegiatan melukisnya. Aya merobek kertas di kanvas dengan kasar. Tentu saja pergerakannya itu menghasilkan suara nyaring di kelas yang sudah sepi dan membuat Pak Suga menoleh ke arahnya.

"Kenapa disobek?" tanya pria itu dengan tenang.

"Lagi enggak mood ngelukis," jawabnya asal lalu berjalan ke arah pintu keluar.

Dengan cepat Pak Suga menghampiri Aya dan menahan lengannya. Sentuhan yang praktis mendapat tatapan sinis dari sang empunya sehinggga membuat Pak Suga melepaskan tangan dari lengan Aya.

"Maaf. Saya cuma mau ingatin. Jangan lupa bikin kelompok." Pak Suga jadi salah tingkah sendiri.

"Oh, iya. Soal itu. Kenapa harus kelompok, sih? Emang enggak bisa sendiri aja?" Aya tampak tidak menerima gagasan itu.

"Enggak bisa, dong. Ini kan konsepnya untuk lukisan trio. Bukan solo. Jadi kamu enggak bisa buat lukisan sendiri," jelas Pak Suga sebisa mungkin dengan tenang. Berbeda jika dengan dosen lain yang pasti akan marah ketika mahasiswanya membantah seperti Aya ini.

"Kalo saya enggak mau bikin kelompok, gimana?"

Pak Suga diam sambil memikirkan sesuatu. Lalu pria itu menggeleng sambil berkata, "enggak bisa. Terpaksa kamu sama sekali tidak akan mendapatkan nilai dari kelas saya. Dan ini termasuk nilai yang akan mempengaruhi nilai akhir kamu nanti." Pria itu tersenyum lebar.

"Sialan, ni dosen!"

"Perlu saya carikan kelompok untuk kamu?" tanya Pak Suga terdengar seperti ledekan.

"Enggak perlu." Aya pergi dari posisinya.

Pak Suga terkekeh seorang diri. Anehnya dia malah merasa gemas melihat ekspresi marahnya Aya.

"Marah gitu, kok, malah tambah cantik."

_____

Lihat selengkapnya