Kenji sudah memarkirkan mobilnya di depan IGD salah satu rumah sakit jiwa. Ia masih di dalam mobil bersama Aya yang masih sama. Tubuh gadis itu masih gemetar. Tatapan matanya juga sangat ketakutan. Aya seperti sedang berada di dunia lain.
Dari posisinya, Kenji memperhatikan IGD yang tampak ramai dengan banyaknya orang yang keluar masuk dari sana. Dilihatnya juga ada beberapa pasien yang harus dijaga oleh beberapa orang lantaran pasien tersebut memberontak. Sebagaimana orang yang memiliki gangguan jiwa atau mental.
Kenji meringis. Ia bingung apa yang harus ia lakukan. Baginya, Aya tidak gila seperti para pasien yang sedang mengamuk itu. Aya hanya memiliki trauma karena masa lalunya. Kenji tidak ingin memperlakukan Aya seperti mereka. Akan tetapi bagaimana dengan kondisi Aya yang seperti ini. Kenji merasa frustrasi.
Lalu Kenji mengambil ponsel di dashboard. Ia hendak menelepon seseorang.
"Halo, Dok."
"Iya, Kenji. Ada apa? Bagaimana keadaan Cahaya?"
Kenji menoleh ke Aya di sebelahnya. "Sepertinya trauma Aya kambuh."
Terdengar jika dokter Kai di seberang sana merasa cemas. "Apa yang terjadi dengan Cahaya?"
"Untuk secara detailnya saya juga belum tau, Dok. Sekarang saya sudah ada di depan IGD rumah sakit dokter. Tapi ... saya tidak sampai hati membawa Aya ke sana. Apa bisa dokter memeriksa Aya di apartemennya?"
"Bisa. Praktek saya baru saja selesai hari ini. Sekarang saya langsung ke apartemen Cahaya. Kamu kirimkan saja alamatnya, ya."
"Baik, Dok. Terimakasih banyak."
"Oke."
Dokter Kai menutup panggilan terlebih dahulu. Dari nada bicaranya, pria paru baya itu tampak amat khawatir dan akan segera bergegas.
Kenji memperhatikan Aya lagi. Ia melepas sabuk pengamannya untuk lebih mendekat dengan Aya. Tangannya mengusap lembut kening Aya, lalu mengecupnya.
"Jangan khawatir ya, Cantik. Sekarang kita pulang. Dokter Kai akan periksa kamu. Okey?" Mata Kenji terlihat berkaca-kaca. Dia memeluk Aya erat yang sama sekali tidak merespon apa-apa.
_____
Kenji sudah membawa Aya ke apartemen.
"Non Aya kenapa?" tanya asisten rumah tangga Aya yang memang tidak menginap itu. Sebut saja namanya Mbak Lusi. Usianya sekitar 40 tahunan. Tubuhnya kecil dan kurus, tetapi terlihat begitu energik.
Kenji tampak bingung karena baru pertama kali ini pertemuannya dengan wanita berkulit cokelat itu.
"Anu, Mas. Saya Mbak Lusi. Saya bekerja di sini untuk bersih-bersih. Non Aya tidak mengizinkan saya menginap. Makanya saya ke sini hanya di siang sampai sore hari saat Non Aya sedang keluar," jelas Mbak Lusi menjawab pertanyaan Kenji yang tersirat dari ekspresi wajahnya.
"Salam kenal kalau begitu, Mbak Lusi. Saya minta tolong untuk mengganti pakaian Cahaya, ya."
Kenji membawa Aya menuju kamarnya. Diikuti Mbak Lusi di belakangnya.
"Mas ini, Mas Kenji bukan?" tanya Mbak Lusi ketika Kenji sudah memposisikan tubuh Aya terlentang di ranjang. Pria itu duduk di sebelah Aya.
"Mbak Lusi tau dari mana?"
"Mas Kenji pasti lupa. Kan, Mas Kenji sendiri yang mempekerjakan saya setahun lalu. Saya masih ingat sekali suara Mas Kenji ini," ujar Mbak Lusi cengengesan. Wanita ini memang memiliki pribadi yang supel dan bawel.
"Iya, maaf. Saya agak lupa."
"Hehe, enggak apa-apa, Mas. Oiya, ini Non Aya kenapa, ya?"
"Ada insiden tadi siang. Sepertinya trauma Cahaya muncul lagi. Sebentar lagi ada dokter yang ke sini."
"Ya, ampun, Non Aya! Kenapa bisa begitu sih, Mas? Kan, kasian Non Ayanya." Entah kenapa Mbak Lusi malah jadi terlihat dramatis. Namun, memang ia tulus tidak mengada-ada. Lihat saja sekarang matanya Mbak Lusi langsung menitihkan airmata setelah mendengar penjelasan dari Kenji.
"Saya minta bantuan Mbak Lusi untuk mengganti pakaian Cahaya, ya."
Mbak Lusi manggut-manggut. "Baik, Mas."
Kemudian Mbak Lusi mengambil sepasang piama dari alamari pakaian berwarna putih di pojok sana. Setelahnya wanita itu kembali menghampiri posisi Aya. Sedangkan Kenji menghindar dan berdiri di belakang Aya, masih memperhatikan gadis yang pandangannya mengarah ke jendela.
Ketika Mbak Lusi baru membuka baju Aya setengah, Kenji tidak sengaja melihat bagian atas dada Aya yang menampilkan bekas goresan luka seperti sebuah inisial yang sebelumnya pernah ia lihat.
"Tunggu, Mbak," pinta Kenji untuk menghentikan Mbak Lusi memasang piama bagian atas ke tubuh Aya. Pria itu melihat lebih jelas bekas luka di bagian dadanya Aya.
"Mas Kenji jangan ngeliatin dadanya Non Aya kayak begitu, dong. Enggak boleh tau, Mas."