Beberapa hari setelah insiden yang terjadi di rumah Erik, entah kenapa Arland terus memikirkan Aya. Setiap kali ia melintas di beberapa tempat di kampus, yang mana pernah menjadi tempat pertemuannya dengan Aya, benaknya kembali memutar mengingat gadis itu.
Padahal sebelumnya Arland sangat tidak ingin bertemu dengan Aya. Namun, kenapa yang terjadi sekarang justru sebaliknya? Menurutnya, mustahil jika ia mulai menyukai Aya. Itu adalah hal yang tidak akan terjadi. Arland menampik keras. Dia berpegang teguh jika perasaannya sekarang hanyalah penasaran dengan kondisi Aya setelah insiden yang menimpanya.
Cowok itu sedang di kantin seorang diri. Terus mengaduk es teh manis dengan sedotan yang sejak tadi sama sekali belum di minumnya. Meskipun raganya di sini, tetapi pikirannya sedang melayang jauh entah ke mana.
"Eh, Lang. Emang bener kalo Erik masuk ke kantor polisi?"
Terdengar obrolan tiga orang cowok yang baru memasuki kantin. Mereka duduk tepat di belakang Arland. Jelas sekali suara mereka di telinga Arland. Membuat cowok itu menoleh sedikit dan setengah terkejut. Akan tetapi Arland mencoba mendengar kelanjutan obrolan tersebut.
"Itu cuma salah paham. Kemarin gue sendiri yang ke sana kasih keterangan sebagai saksi," jawab seorang cowok lainnya.
Dari samping Arland sedikit melihat wajah cowok yang berbicara barusan. Wajahnya femiliar. Butuh dua detik bagi Arland untuk benar-benar meyakinkan jika dia adalah teman Erik yang kabur waktu itu. Tangan Arland sudah terkepal, tetapi dia masih menahan emosinya agar tidak cepat meledak. Ia masih harus tahu apa yang dibincangkan lagi oleh ketiga orang itu.
"Emang kejadiannya kayak gimana, sih? Terus yang harusnya salah siapa?" tanya cowok lainnya lagi.
"Cahaya-lah yang salah. Kalian tau kan, penampilan itu cewek kayak gimana? Dibandingin Erik yang cowok baik-baik, udah pasti Cahaya yang salah. Tapi keluarga Erik enggak akan nuntut balik dan milik buat tutup kasus ini," jelasnya. Yang berbicara ini adalah Gilang.
"Wah, parah tuh, Cahaya. Emang udah gue duga, sih."
"Yoi. Selain gue sebagai saksi, ada satu saksi lagi kok, yang bilang kalo Erik enggak salah. Tapi Cahaya," tambah Gilang.
Obrolan ketiga cowok itu berhenti seketika saat suara gebrakan meja di belakang mereka terdengar nyaring ke penjuru kantin. Semua yang ada di sini menoleh ke asal suara. Arland berdiri dengan tangan terkepal kuat setelah menggebrak meja. Cowok itu berbalik menghampiri posisi Gilang dan kedua temannya.
"Elo?!" Gilang membelalak dan ketakutan.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Arland langsung melayangkan tinjunya ke wajah Gilang dengan sekali terjang. Cukup untuk membuat tubuh Gilang terhuyung ke belakang dan berakhir di lantai.
Suasana menjadi semakin tegang lantaran Arland yang tidak berhenti begitu saja. Dia kembali menindih tubuh Gilang dan memukulinya berkali-kali. Tidak ada jeda sedikitpun bagi Gilang untuk melawan. Termasuk dua temannya tadi yang hanya menjadi menonton.
"Arland!" teriak Riani yang datang ke kantin bersama Gary dan Cakra. Mereka langsung berusaha menarik Arland yang terus memukuli Gilang.
"Land, berenti! Bisa mati anak orang!" pekik Gary yang nyatanya kesulitan menarik tubuh Arland. Meskipun dilakukan berdua dengan Cakra.
"Arland, berhenti!"
Cowok itu tetap tidak peduli. Ia terus memukuli Gilang meskipun tidak seambisi sebelumnya.
"Naya enggak akan suka kalo liat elo kayak gini!" Teriakan Riani yang ini berhasil menghentikan pergerakan Arland. Cowok itu menjatuhkan bokongnya ke lantai.
Dengan tubuh yang lemas tidak berdaya, Gilang berusaha untuk kabur dibantu dengan kedua temannya.
"Land, ada apaan, sih? Mereka itu siapa?" tanya Riani berdiri di depan Arland.
Cowok itu tidak menjawab. Napasnya memburu seolah amarahnya masih belum terlampiaskan sepenuhnya. Dadanya terasa sesak mendengar berbagai ucapan Gilang tadi. Ia sendiri tidak mengerti. Namun, tubuhnya seperti bergerak dengan otomatis ketika mendengar Cahaya yang disalahkan dalam insiden kemarin.
Lantas Arland berdiri. Ia merogoh ponsel di saku celananya. Kemudian menghubungi seseorang yang nomornya ia ambil dari ponsel Cahaya kemarin.
"Halo," sapanya dengan dingin.
"Ya? Siapa ini?"
"Ini saya."
"Arland? Ada apa? Tau nomor saya dari mana?"
"Enggak penting. Saya mau ketemu sekarang."
"Saya masih di apartemen Cahaya. Kirimkan saja alamatnya saya harus ke mana."
"Iya."
Panggilan terputus. Setelahnya Arland mengetik sesuatu di layar ponselnya dan mengirim ke nomor Kenji.
"Elo nelpon siapa, Land?" tanya Gary penasaran. Termasuk Cakra dan Riani yang hanya memperhatikan Arland dengan bingung.
"Gue harus pergi," kata Arland hendak melangkah, tetapi lengannya ditahan oleh Riani.
"Elo mau ke mana? Elo enggak mau cerita ke kita, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Riani.
"Gue enggak bisa jelasin sekarang."
Riani terpaksa melepaskan tangan Arland dan membiarkannya pergi. Dari wajahnya, cowok itu tampak sedang menahan lahar panas yang bisa menyembur kapan saja. Pemandangan yang membuat ketiga orang ini semakin bingung dan bertanya-tanya.
_____
Pak Suga mengakhiri kelas hari ini dengan ceria dan bersemangat. Seperti biasa. Pria itu memang memiliki karakter yang menyenangkan. Pantas saja jika banyak mahasiswi yang berusaha mendekatinya. Bahkan, dari jurusan lain pun tidak sedikit. Ditambah sikap Pak Suga yang meladeni mereka dengan santai.
Hampir satu kampus mengenal siapa Pak Suga berkata wajah tampan dan keramahannya.