"Kamu tau dari mana alamat ini?" tanya Kenji dengan lantang.
"Anda enggak perlu tau. Saya ke sini cuma mau tau kondisi Cahaya," jawab Arland tanpa basa-basi.
"Biarkan kami bawa orang ini keluar, Pak," ucap salah satu penjaga yang masih berada di antara Kenji dan Arland. Ada pria kekar berpakaian serba hitam yang siap menyeret Arland pergi dari posisinya saat ini.
"Tidak perlu. Biarkan saya bicara berdua dulu dengan dia," balas Kenji.
"Baik, Pak." Dua penjaga itu menjauh. Menyisakan Kenji dan Arland yang saling bertatapan tajam. Seperti ujung belati yang menghunus ke musuh.
"Apa pedulinya kamu sama Cahaya?" tanya Kenji ketus.
Berhasil membuat Arland diam seribu kata. Ia sendiri masih tidak mengerti kenapa kakinya memaksa untuk berjalan sampai ke sini. Arland tidak sanggup melawan keinginannya untuk bertemu gadis itu.
"Apa pertanyaan saya begitu sulit untuk kamu?"
Salah satu tangan Arland terkepal kuat. Ia benar-benarĀ terlihat bodoh dengan diam saja begini. Arland bingung harus menjawab apa.
"Kalau pertanyaan seperti itu saja tidak bisa kamu jawab, lebih baik kamu pulang. Kamu enggak ada hak apa-apa untuk menemui Cahaya dan tau kondisinya," ujar Kenji berbalik dan hendak menutup pintu. Pergerakan yang langsung dihentikan oleh Arland dengan cepat.
Ketika Arland ingin menjawab, lidahnya kelu sekejap saat melihat Cahaya berjalan ke arah pintu. Ada seorang wanita berpakaian suster di sebelahnya. Arland tercengang melihat penampilan Cahaya yang teramat berbeda.
"AR," sebut Aya sambil melihat ke arah Arland berdiri di ambang pintu. Gadis itu memeluk buku gambar miliknya.
Kenji langsung menghampiri Aya dengan membiarkan pintu terbuka. Fokusnya hanya tertuju ke Aya.
"Akari, ada apa? Kamu butuh apa? Kenapa kamu keluar kamar?" tanya Kenji beruntun. Sayangnya berbagai kalimat itu tidak dipedulikan oleh Aya. Sebab langkah Aya malah tertuju ke Arland.
"Akari," panggil Kenji sekali lagi. Perlahan ia berjalan di belakang Aya.
Sedangkan sang empunya semakin mendekat ke Arland. Salah satu tangannya juga terjulur menggapai pipi cowok itu. Aya mengelusnya pelan sambil memandangi wajah Arland. Sedangkan Arland benar-benar bergeming. Sama sekali tidak berkutik seolah ada sesuatu yang menyihirnya menjadi batu.
Arland bingung dengan kondisi Aya saat ini. Berbagai pertanyaan di benaknya sudah meluap.
"Melukis," sebut Aya mengeluarkan senyumnya. Dia masih memandangi wajah Arland.
Lantas tangan Aya beralih ke jemari Arland. Menggenggamnya dan menggandeng Arland untuk berjalan mengikutinya. Lalu Kenji mencoba menghentikan Aya. Kenji menggeleng seolah memberikan isyarat ke Aya kalau dia tidak boleh mengajak Arland masuk ke apartemennya.
Detik itu juga wajah Aya langsung berubah. Yang tadinya semringah, berganti menjadi cemberut. Yang berarti juga Aya tidak ingin jika Kenji menghentikan keinginannya.
"Mas, tolong biarkan saja apa yang ingin mbak Aya lakukan. Hal itu akan lebih baik untuk emosionalnya. Karena kalau kita melarang mbak Aya, malah akan berdampak buruk dengan kondisinya nanti," kata suster Dian yang berbicara setelah menghampiri Kenji di posisinya. Nadanya juga sengaja dipelankanĀ berharap jika Aya tidak begitu mendengarnya.
Kenji menatap ekspresi wajah Cahaya sambil menimang-nimang apa yang harus dilakukannya.
"Biarkan saya masuk menemani Cahaya," ujar Arland yang baru bisa membuka suaranya. Sebab sejak tadi ia masih diselimuti dengan kebingungan yang benar-benar mengunci mulutnya.
Tangan Kenji yang masih memegang lengan Cahaya, perlahan terlepas. Pergerakan yang otomatis mengijinkan Cahaya membawa Arland masuk.
Kemudian Aya menarik tangan Arland ke kamar. Wajah gadis itu kembali riang seperti anak kecil yang baru memasuki wahana bermain. Aya juga menginterupsikan Arland untuk duduk di tepi ranjang. Sedangkan Aya sendiri juga ikut duduk di sana. Berhadapan dengan Arland.
Gadis itu kembali membuka buku gambarnya. Membalik ke lembaran yang kosong.
"Krayon?" Pandangan Aya beredar mencari ke sekitarnya. Lantas Arland yang melihat satu set krayon di nakas, langsung meraih benda itu dan memberikannya ke Aya.