Dunia untuk Arland

Rika Kurnia
Chapter #18

Bab Tujuhbelas - Peduli Bukan Berarti Suka

"Sebenarnya apa yang terjadi sama Cahaya?" tanya Arland malam itu.

Kenji tidak menjawab. Pria itu hanya berdiri diam membelakangi Arland. Mereka sedang berada di atap apartemen Aya.

"Saya tau kondisi Cahaya sekarang. Tapi saya perlu tau apa penyebabnya sampai dia mengalami hal seperti ini? Apa ini ada sangkut pautnya dengan insiden di rumah Erik waktu itu?" Lagi, Arland mengeluarkan satu per satu pertanyaan di benaknya.

"Kenapa kamu harus tau soal masalah pribadi Aya?"

Arland berjalan mendekat ke arah Kenji. Dia berdiri tepat di samping Kenji.

"Berhenti memutarbalikan pertanyaan terus. Dari kemarin kamu selalu melemparkan kalimat yang sama ke saya. Memangnya salah jika saya tau kondisi Cahaya? Apa itu melanggar hukum, hah?" Arland sudah mulai tersulut emosi.

Lantas Kenji menoleh ke Arland. Memperhatikan ekspresi wajah cowok itu yang tampak kesal.

"Apa yang dialami Aya sekarang memang akibat insiden waktu itu," jawab Kenji pada akhirnya.

Hening. Arland memang sudah menduga. Namun, masih ada hal yang membuatnya penasaran.

"Tapi ini bukan yang pertama kalinya," tambah Kenji masih menatap Arland dengan lekat.

"Lalu kapan pertama kalinya Cahaya mengalami hal seperti ini?"

"Kamu enggak perlu tau. Cukup sampai di situ saja yang kamu tau. Dan setelah ini jangan coba untuk penasaran lagi dengan Aya. Kamu enggak perlu datang ke sini lagi. Toh, sebelumnya kamu dan Aya juga tidak berteman," ucap Kenji memanglingkan wajahnya kembali ke depan. Menghadap pemandangan kota Jakarta yang terlihat dari atas gedung pencakar langit.

Entah kenapa Arland tidak bisa berhenti memikirkan obrolannya dengan Kenji tadi malam. Benaknya belum puas dengan beberapa pertanyaan yang sudah terjawab. Sebab masih ada berbagai pertanyaan lain yang tertinggal di pikirannya.

Terlebih ketika Kenji menyuruhnya untuk tidak datang menemui Aya, membuat perasaannya memburuk. Arland mengakui jika ia cukup kesal dengan kalimat ketus itu. Akan tetapi hatinya terus menegaskan jika dia sama sekali tidak memiliki perasaan pada gadis itu.

Arland hanya berpikir jika ia iba pada kondisi Aya. Arland hanya mencoba membantu Aya jika memang dapat membuat kondisinya menjadi lebih baik.

Kemudian Arland membuka laci meja belajarnya. Dia menatap diary milik Naya. Beberapa detik, Arland mengambil diary itu dan membuka beberapa lembar awal.

Aneh.

Karena ketika dia hendak membaca salah satu kisah Naya di sana, hal-hal mengenai Aya terlintas begitu saja di pikirannya. Sampai keningnya berkerut lantaran bingung. Sebab ini tidak mungkin terjadi. Mustahil jika Aya lebih penting dibanding Naya.

Langsung saja Arland mencoba membaca diary Naya.

Hai, Diary ...

Rasa sakit ini kembali hadir. Padahal sudah cukup lama aku tidak merasakannya. Namun ....

Arland berhenti membaca. Ia tidak bisa fokus karena wajah Aya tertera di layar matanya. Ketika gadis itu sedang serius menggambar tadi malam.

Lantas cowok itu menunduk sambil merasa bersalah. Arland juga mengepalkan tangannya kuat-kuat guna berusaha menghilangkan segala sesuatu tentang Aya.

"Maafin aku, Nay. Aku enggak akan mungkin pernah lupain kamu," ucap batinnya.

Kemudian Arland beranjak dari posisinya. Sebelum keluar kamarnya, ia menyambar ransel di atas ranjang. Arland bergegas secepat mungkin.

_____


Sampai di anak tangga yang paling bawah, dia berhenti saat berpapasan dengan Mbok IJah.

"Mbok, papi udah berangkat kerja?"

"Belum, Den. Tuan masih di ruang kerjanya," jawab Mbok Ijah.

"Oh, yaudah."

Lalu Arland menghampiri ruang kerja papinya yang berada di lantai satu. Di sebelah dapur, tepat di dekat pintu yang mengarah ke halaman belakang.

Cowok itu mengetuk pintu. "Pi, ini Arland," serunya.

"Masuk aja, Land. Pintunya enggak dikunci, kok," sahut Tomi di dalam sana.

Arland pun masuk ke ruang kerja papinya. Menampilkan Tomi yang sedang membolak-balikan sebuah berkas. Sesekali berhenti dan menandatanganinya.

"Ada apa, Land? Kamu udah mau berangkat kuliah?" tanya Tomi menghentikan aktivitasnya. Menutup berkas dan menggesernya ke samping.

Arland menghampiri papinya, lalu duduk berhadapan.

"Ada yang mau Arland tanyain ke papi," kata cowok itu membuka obrolan.

"Soal apa?" tanya Tomi tampak antusias. Sebab jarang sekali putra tunggalnya mengajak bicara terlebih dahulu seperti ini.

"Apa papi kenal sama pengacara andal yang memenangkan setiap kasus?" Arland tampak ragu, tetapi tidak ingin berbasa-basi.

"Pengacara? Untuk apa?"

"Ada masalah yang sedang dialami teman Arland. Dan Arland cuma mau bantu dia," jawab Arland to the point.

"Teman kamu? Siapa? Cakra atau Gary?"

"Bukan mereka."

Tomi hanya mengerutkan keningnya heran sambil memperhatikan anaknya yang tampak salah tingkah.

"Seorang gadis?" tebak Tomi.

"Iya," jawab Arland cepat. "Tapi dia bukan siapa-siapa Arland. Cuma sekedar teman," tambahnya mengoreksi. Atau lebih tepatnya mewanti-wanti jika papinya akan berpikir yang macam-macam.

Tomi terkekeh pelan. Wajahnya berubah semringah dengan hal baik yang terjadi pada anaknya. Ini pertama kalinya semenjak kepergian Naya, ada sesuatu yang membuat Arland tertarik pada hal lain kecuali kamar dan kampusnya.

"Oke-oke, papi tidak akan mempertanyakan siapa gadis itu. Tapi kalau boleh tau, kasus apa yang dialami oleh teman kamu itu?"

Lihat selengkapnya